Jika senyuman diibaratkan sebagai bunga mawar putih, sudah dipastikan baunya sangat harum yang bisa membuat orang sekitarnya kewalahan untuk mencium aromanya.
Begitu pula Rimba, mawar putih tidak akan lepas darinya sekarang. Orang-orang yang melihatnya ikut tersenyum saat ia tidak ada hentinya mengembangkan kedua ujung bibirnya dan melihat komik incarannya sembari berjalan menuju pintu keluar mal. Rimba berhasil mendapatkan komik populer yang baru saja rilis semalam. Dari dua ratus komik yang tersedia, Rimba menjadi salah satu orang yang bisa mendapatkannya. Saking bahagianya, ia tidak percaya jika komik itu bisa sampai di tangannya. Ah, rasanya sangat riang.
Kakinya berhenti melangkah ketika mengingat titipan Beliung dan Blaze yang meminta tolong kepadanya untuk membelikan pancake. Ia berbalik arah dan tujuannya saat ini adalah food court. Rimba tahu jika Halilintar sedang berada di perjalanan untuk menjemputnya, tetapi ia juga tidak ingin mengecewakan Beliung dan Blaze.
"Satu pancake matcha, dua pancake blueberry, dua pancake cokelat, satu pancake madu, dan eum...." netranya melihat pilihan menu yang tersedia. Suasana hati Rimba tidak sedang ingin menikmati pancake, tetapi ia ingin membeli sesuatu yang manis selain kue gepeng asal Eropa itu.
Matanya berbinar saat melihat makanan manis yang cocok untuk ia makan sekarang, "satu waffle cokelat!" wanita yang bertugas di kedai itu hanya mengangguk dan tersenyum, tangannya mencatat pesanan milik Rimba lalu mulai bekerja. Beruntungnya kedai yang Rimba kunjungi saat ini menjual beberapa macam dessert alhasil ia bisa membeli makanan penutup selain pancake.
Ngomong-ngomong, Rimba memang sengaja membelikan untuk yang lain walaupun Beliung dan Blaze nitip untuk membelikannya. Rasanya tidak adil jika Rimba hanya menerima titipan Beliung dan Blaze, ia ingin ketiga saudaranya yang lain juga menikmati makanan yang ia belikan. Ya, walaupun Beliung dan Blaze harus mengganti uangnya karena mereka berdua meminta tolong dengan cara 'menitip untuk membelikan'.
Di saat menunggu pesanannya selesai, Rimba duduk di tepi kedai tersebut sembari melihat komiknya hingga lima belas menit berlalu pun senyumannya tetap mengembang, ia tidak sabar membukanya ketika sampai di rumah nanti.
Ia mengubah posisi tas ranselnya yang semula di punggungnya menjadi di depan dadanya. Tangannya merogoh saku tas untuk mengambil handphone-nya. Suatu kebetulan ternyata Halilintar menelepon dirinya.
"Halo, Kak Hali?"
"Kakak sudah sampai di parkiran, Rimba di mana?"
"Emm... Rimba masih di dalam untuk membeli titipan Kak Beliung serta Abang Blaze."
"Masih lama?"
"Rimba... tidak tahu... sepertinya lima menit lagi selesai. Kak Hali di dalam mobil saja, tidak perlu ke sini. Rimba akan menelpon Kak Hali jika sudah selesai."
"Baiklah, nanti kakak akan menjemput Rimba di lobby."
"Oke, Kak Hali."
Sambungan keduanya terputus, Rimba hanya bisa menunggu pesanannya selesai. Seluruh perhatiannya membuat netra hijaunya melihat tangan kanannya. Ada rasa nyeri yang datang tiba-tiba karena tangan kanannya selalu bergerak dari tadi. Tangan kirinya memasukkan komik ke dalam tas lalu beralih mencengkram tangan kanannya tepat di posisi luka tersebut. Ia meringis pelan, balutan perban di balik sweater-nya tidak akan bisa mengurangi rasa sakit yang ia rasakan, tetapi cukup membuatnya sedikit tenang.
Helaan napas kecil hanya terdengar di telinganya, entah sampai kapan ia bisa menyembunyikan rasa sakit yang ia alami saat ini. Rasa cemas dan sesak selalu menghampirinya ketika ia melihat dan merasakan luka itu. Jika ia bisa menangis sekarang, mungkin air matanya sudah membasahi pipinya. Namun, tidak mungkin ia menangis di tempat umum, kan?
Ia menggelengkan kepalanya saat petugas wanita di kedai tersebut memanggilnya karena pesanan miliknya sudah siap. Setelah memberi beberapa uang kertas, Rimba kembali melangkah dan mengambil gawainya untuk memberitahu sang sulung agar bisa menjemput dirinya di lobby.
Tepat sampai di pintu lobby, ia bisa melihat mobil yang tidak asing di matanya. Mobil yang biasa Halilintar pakai. Huh, entah mengapa atmosfer seram menyelimuti Rimba sekarang.
"Halo, Kak Hali," sapanya sembari membuka pintu mobil lalu menutupnya kembali ketika di rasa tubuhnya sudah masuk sepenuhnya.
"Hm," Halilintar melihat sang adik sekilas, kedua tangannya sibuk mengendalikan setiran mobil. Ia membawa kendaraan beroda empat itu keluar dari mal dan menuju ke rumah mereka.
Tidak ada lagi ucapan yang keluar dari mulut mereka setelah Halilintar membalas sapaan Rimba, hanya lagu dari radio menemani mereka sepanjang perjalanan. Rimba pun melihat sisi kiri jendela mobil dan melihat pemandangan kota. Tidak nyaman dengan suasana canggung, Halilintar membuka suara, "berhasil mendapatkan komiknya?"
Rimba reflek menoleh lalu mengangguk ragu, "iya, kak...."
"Sudah makan?"
"Belum, Kak Hali."
"Lalu, itu apa yang Rimba beli?" tanya Halilintar penasaran, matanya tidak sengaja melihat paperbag berukuran lumayan besar.
"Oh, ini?" tangan kiri Rimba mengangkat paperbag yang berisi pancake beserta waffle, "Rimba membeli pancake dan waffle titipan Kak Beliung dan Abang Blaze. Ah, tidak hanya untuk mereka berdua, tetapi untuk yang lain termasuk Kak Hali."
Halilintar menaikkan satu alisnya, pandangannya tetap tertuju ke depan, "benarkah? Rimba membelikan apa untuk kakak?"
"Pancake cokelat... Kak Hali menyukainya, kan? Jika tidak, Rimba ak — "
"Kakak suka, nanti kakak akan memakannya," sela Halilintar cepat. Toh, ia tidak berbohong sama sekali. Di antara mereka bertujuh, Halilintar tidak mempunyai kriteria khusus untuk makanan.
Rimba tertawa kecil mendengar balasan Halilintar, "baiklah, Rimba akan mem — Akh!" belum menyelesaikan kalimatnya, Rimba merasakan tangan kanannya nyeri seperti tertimpuk batu kerikil. Tangan kirinya reflek menekan lukanya agar nyeri itu menghilang.
Ringisan Rimba membuat Halilintar menoleh cepat, ia melihat sang adik dan kondisi jalanan secara wara-wiri, "Rimba? Ada apa? Tangan kan — "
"Ti-tidak ada apa-apa, Kak Hali... Rimba sempat terjepit saat berusaha masuk ke toko buku tadi," kebohongan pertama yang ia ucapkan di hari ini membuat Rimba harus merasakan tusukan kecil yang di hatinya.
Jawaban Rimba membuatnya mengernyit kebingungan, "tidak perlu berbohong kepada kakak, Rimba."
"Rimba tidak berbohong, kak. Ini hanya masalah kecil, Kak Hali tidak perlu khawatir," ucapnya menenangkan Halilintar agar si sulung tidak mengetahui jika kalimatnya dusta.
Perasaannya buncah karena Halilintar adalah orang yang tidak mudah dibohongi. Ia merutuki dirinya sendiri karena nyeri lukanya datang di waktu yang tidak tepat. Di dalam hatinya, ia sangat berharap dewi fortuna bisa berada di pihaknya kali ini. Sungguh, rasanya ia ingin menangis sekarang. Kecemasan mulai menyapanya saat ini, tetapi ia berusaha untuk tenang. Ia mengalihkan pandangannya ke sisi kiri jendela mobil agar Halilintar tidak melihat raut cemasnya. Namun, ada citra yang berbanding terbalik dari manusia di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Something Just Like This
FanfictionDi balik jam kekuatan elemental yang dimiliki oleh sang master, ada kehidupan normal dibaliknya. Layaknya kehidupan manusia di dunia pada umumnya, tujuh elemental hidup dalam satu rumah sebagai kakak adik. Kehidupan itu berlangsung dengan adanya ra...