[15] Tumbang

1.7K 139 31
                                    

Nafasnya terengah-engah saat ia keluar dari angan-angan selama ia tertidur, detak jantungnya yang berpacu kencang. Tubuhnya berkeringat dingin, menciptakan sensasi kontras dengan udara sejuk di dalam ruangan. Namun, ruangan yang ia tempati bukanlah ruangan biasa. Hawa dari obat-obatan serta alat kesehatan memasuki aroma penciumannya. Ia berada di ruangan rawat inap rumah sakit.

Halilintar membangkitkan badannya untuk duduk dan membiarkan punggungnya bersandar di penyangga sofa. Kedua tangannya mengusap wajahnya kasar lalu mengambil gawai yang semula terletak di atas meja. Ia melihat pantulan wajahnya di layar dan ia mendengus pelan. Penampilannya sangat buruk. Mimpi sewaktu ia tertidur tadi membuat perasaan hatinya tidak karuan.

Tujuannya saat ini adalah melihat pesan yang ia dapatkan selama ia tidak membuka ponselnya. Ia mengira pasti salah satu adik-adiknya akan mengiriminya pesan dan ternyata benar. Kontak dengan nama ‘Gemgem’ berada di atas sendiri yang mengartikan adiknya itu sempat menghubunginya.

“Kak Halilintar, aku akan kembali ke rumah sakit nanti malam. Ingin aku bawakan apa?”

“Kak?”

“Kak Halilintar?”

“Kak, apa kau sedang tertidur?”

Ah, ternyata Gempa sempat meneleponnya juga selama lima kali, tetapi ia tidak menjawab.

“Mengapa aku tidak terbangun padahal nada dering-ku menyala?” gumamnya sendirian. Halilintar merasa bersalah karena membuat Gempa khawatir. Jarinya bergerak untuk memencet huruf agar membentuk suatu kalimat di ponselnya sebagai balasan dari pesan Gempa.

“Maaf, aku tertidur dan baru saja bangun.”

“Terserah kau saja, Gem, aku tidak akan memaksamu.”

“Aku hanya ingin Blaze tetap di sana saja, dia ada pertandingan basket yang diadakan lusa. Dia harus tetap berlatih.”

Sebenarnya Halilintar ingat jika Blaze akan bertanding basket dengan sekolah lain dikarenakan ia menjanjikan untuk membelikan tab baru kepada elemental api tahap kedua tersebut, tetapi dengan syarat Blaze bisa memenangkan pertandingan itu. Bahkan setiap pagi ketika Blaze bertemu dengan Halilintar, ia tidak pernah absen untuk mengingatkan kakak sulungnya agar tidak lupa dengan janjinya.

“Mengapa kau memandangiku seperti itu?”

“Eh? Apa aku tidak boleh memandangi kakakku sendiri?”

“Boleh saja, tetapi cara memandangmu sangat aneh. Apa yang kau inginkan?”

“Hehehe, jangan lupa dengan janjimu, kak.”

Halilintar hanya bisa mengangguk pasrah sebagai jawaban daripada Blaze terus berbicara. Ia juga menyesal karena menjanjikan sesuatu kepada Blaze, tetapi… tidak ada salahnya untuk menyenangkan adik sendiri, bukan?

Namun, di sisi lain hatinya tidak tenang. Halilintar memposisikan dirinya saat ini sebagai kakak yang baik dan juga buruk. Ia menjadi kakak yang baik karena bisa menyenangkan Blaze jika adiknya itu menang, tetapi ia menjadi kakak yang buruk karena mengecewakan Rimba.

Tangannya bergerak untuk menaruh ponselnya ke atas meja lalu memandangi sang adik yang terkapar lemah di atas ranjang rumah sakit. Rimba tertidur dengan keadaan tidak sadar, beberapa selang seperti infus dan alat kesehatan lainnya menempel di tubuh lemahnya. Luka bakar di tangan kanan Rimba sudah dilapisi dengan perban yang lebih bagus dari sebelumnya. Lebih buruknya lagi, Rimba menggunakan tabung oksigen sebagai alat bantu pernapasan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 16, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Something Just Like ThisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang