[11] Trueness

1.1K 123 9
                                    

Sudah satu minggu lebih semenjak Rimba bertemu Balakung, ia lebih bertindak sedikit tenang daripada biasanya. Ia memutuskan untuk banyak berbaur agar enam elemental lainnya tidak merasa curiga karena ia belum memberitahu yang sebenarnya kepada mereka.

Siang ini, Rimba menghabiskan banyak waktu untuk berkeliling di dalam kamarnya. Tujuannya adalah mencari komiknya yang hilang. Tangannya dari tadi tidak berhenti menggeledah satu persatu buku di setiap rak. Keringatnya sudah bercucuran dan membasahi kaos berlengan panjang yang berwarna kuning tua.

Suasana hatinya makin memburuk, dengusan nafasnya terdengar, "tidak mungkin aku harus membelinya lagi, kan..."

Komiknya yang hilang saat ini mempunyai judul yang sama dengan yang ia beli minggu lalu. Bedanya hanyalah komiknya yang hilang sekarang adalah bagian dari sebelumnya.

Rimba tadi sempat turun untuk bertanya kepada Beliung, Blaze, dan Ice karena mereka pernah meminjam komiknya. Sayangnya, mereka bertiga sama sekali tidak tahu keberadaan benda sejenis buku yang terdapat ilustrasi di dalamnya. Ia tidak berani bertanya kepada Halilintar, Gempa ataupun Ice.

Rimba menggelengkan pelan, matanya sudah sedikit sayu karena lelah mencari sana-sini. Ia memutuskan untuk menegakkan badannya untuk mencari komiknya sekali lagi. Jika ia tidak berhasil menemukannya, ia harus ikhlas melepaskan komik kesayangannya.

Kriet....

"Rimba."

Ia menoleh ke sumber suara, netranya menangkap sang sulung yang berdiri di depan pintu, "Kak Hali?"

"Sedang apa?" tanya Halilintar dengan wajah datarnya.

Rimba meringis kecil sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "oh... Hanya merapikan buku...."

"Untuk?"

"Buku Rimba ada yang hilang, jadi Rimba mencarinya sekalian merapikan," cicitnya sedih, kepalanya menunduk melihat tumpukan buku di lantainya. Dua detik kemudian, ia kembali melanjutkan kegiatan mencari komiknya.

Halilintar yang tetap berdiri di sana hanya melihat sang adik, ia memilih diam karena memikirkan sesuatu yang sudah lama ia bicarakan dengan dirinya sendiri dan membiarkan Rimba yang melanjutkan kegiatannya.

Dua menit kemudian, ia mengerjapkan matanya. Hatinya sudah mantap jika sekarang adalah waktu yang tepat. Dengan satu tarikan dan hembusan nafas, kakinya bergerak ke arah Rimba, "berikan tanganmu."

"Tangan?" Rimba mengernyitkan keningnya, ia bangkit dari duduknya lalu melempar tatapan bingung ke Halilintar.

Tidak peduli dengan kebingungan Rimba, Halilintar mengambil tangan kanan Rimba secara tiba-tiba dan membuat Rimba melototkan matanya. Ia terkejut dengan perilaku Halilintar.

"Kak Hali!" protesnya sembari berusaha melepaskan genggaman Halilintar di tangannya. Namun, sayangnya ia tidak bisa mencegah Halilintar yang sudah melipat baju pergelangan tangannya.

Alangkah terkejutnya Halilintar ketika ia melihat perban di tangan kanan Rimba. Pupilnya membesar tidak percaya dengan pandangan dihadapannya saat ini. Ia membiarkan Rimba yang berusaha keras untuk melepaskan genggamannya walaupun hasilnya nihil karena tenaga Halilintar lebih besar.

"Ini apa?" tanyanya seakan meminta penjelasan lebih, netranya masih melihat perban di tangan elemental alam tersebut.

"I-ini bukan apa-apa!" timpal Rimba sembari menggeleng keras, ia masih berusaha menyingkirkan tangan Halilintar. Secara tidak sadar, satu bulir air matanya berhasil turun dari persinggahannya.

Napas Halilintar dua kali lipat sama halnya dengan Rimba, ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres di balik perban itu. Mau tidak mau, ia langsung membuka perban itu secara cepat, genggaman tangannya yang erat membuat Rimba merintih kesakitan, "Kak Hali, tolong lepaskan...."

Dengan jantung berdebar, Halilintar tidak percaya dengan pandangannya saat ini. Sesuai dengan prasangkanya, Rimba tidak sedang baik-baik saja. Hati Halilintar terasa dicabik-cabik dengan luka bakar di tangan sang adik yang cukup lebar dan sukses membuatnya berdiam diri.

Sorot mata Halilintar terasa dingin saat ia menatap Rimba dengan ketidakpercayaan yang jelas terpancar di wajahnya. Tatapannya penuh dengan rasa marah dan sedih yang dalam, mengisyaratkan ia tidak mampu memproses semua apa yang ia lihat barusan, "sejak kapan?"

Rimba menggeleng lemah, suara isakan yang pilu memenuhi ruangan saat Rimba menangis dengan tersedu-sedu. Air mata mengalir deras, basah membasahi pipinya yang memerah, "maafkan Rimba, kak...."

Tangis Rimba menggema di kesunyian setelah Halilintar memutuskan untuk berdiam diri, ia menciptakan bayangan kesedihan yang melingkupi ruang di sekitarnya. Ia ingin menangis dengan keras, tetapi tidak ingin yang lain tahu kecuali dirinya dan sang sulung. Ia tidak menyangka jika hal yang ia sembunyikan selama ini bisa terungkap di detik ini juga.

Halilintar memutuskan untuk mengakhiri sentuhan kulitnya di tangan Rimba, ia mengusap wajah kasarnya kasar dengan dengusan pelan. Tangannya beralih mengambil kursi lalu menuntun tubuh Rimba untuk duduk di kursi itu, "duduklah di sini."

Netra sehijau zamrud-nya mengikuti Halilintar yang berjalan keluar kamar lalu berhenti di depan pintu, "Gempa, datanglah ke kamar Rimba dan bawa kotak obat!" teriakan Halilintar yang sedang memanggil Gempa membuat Rimba ingin memberontak, tetapi ia tahu jika ia tidak bisa melawan Halilintar. Ia tidak ingin berurusan dengan elemental pertama tersebut.

Ah, sepertinya hari ini menjadi hari yang buruk di hidupnya. Ia tahu hal ini akan terjadi, tetapi ia heran, mengapa terjadi begitu cepat tanpa adanya persiapan? Sepertinya hidup selalu seperti ini karena takdir memutuskan untuk membawanya kejutan yang tak terduga bahkan ke kejutan yang buruk. Namun, transformasinya dari tahap dua ke tahap tiga dan menyelamatkan Halilintar di waktu lalu juga menjadi kejutan di dalam hidup Rimba, kan?

Entah apapun yang terjadi setelah ini, Rimba berharap mereka tidak benci kepadanya.

###

Aku mutusin buat update pagi soalnya hari ini bakalan sibuk sampai malem jadinya aku minta maaf.

Ngomong-ngomong, Senin ini jadi hari pertama sekolah, ya? Semangat buat kalian yang masih sekolah, semoga kelas barunya terasa menyenangkan!

— Re.

Something Just Like ThisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang