[2] Kotak Obat

1.2K 132 0
                                    

"Di mana punyaku? Jangan kau makan semua, Blaze," sindir Ice dengan niat bercanda ketika baru saja sampai di dapur. Semua saudaranya berkumpul di sana, kecuali Rimba tentunya.

Sore ini, Gempa membuat mac n cheese untuk saudara-saudaranya. Sebenarnya ini sangat mendadak, karena Gempa melihat video orang membuat mac n cheese di internet tadi pagi. Ya, seperti orang pada umumnya, Gempa juga mempunyai sifat fear of missing out atau FOMO. Lagian ia juga belum pernah mencoba makanan asal Italia itu. Toh, tidak salah jika ia ingin membuatnya untuk pertama kalinya. Untungnya rasanya sangat enak karena objek pertama yang menjadi sasaran untuk mencicipi masakan Gempa tadi adalah Blaze, adik pertamanya itu berkata bahwa percobaannya kali ini berhasil. 

"Lebih baik kau jangan menuduhku sembarangan," balas Blaze tidak terima, ia tengah menikmati makanan berbahan dasar makaroni dengan keju leleh.

"Sudah, jangan memulai pertengkaran. Punyamu ada di sebelah kompor, Ice," ujar Gempa, pandangannya tidak melihat Ice karena ia masih berurusan dengan kegiatan memotong sayuran untuk makan malam. Ice yang mendengar itu hanya mengangguk faham lalu mengambil jatah makan miliknya.

Halilintar memandangi Ice dengan tatapan aneh, ia ingat jika Gempa menyuruhnya untuk memanggil seseorang, tetapi justru yang dipanggil tidak hadir di antara mereka, "di mana Rimba? Bukankah Kak Gempa menyuruhmu untuk memanggilnya?"

Ice hanya mengedikkan bahu, ia mengambil alih duduknya di sebelah Beliung, "dia tidak ingin turun, dia bilang jika tidak sedang ingin makan."

Kalimat Ice sontak membuat Solar berhenti dari kegiatan makannya, ia merasakan ada hal yang tidak beres, "tidak ingin makan? Itu bukan seperti seorang Rimba."

Gempa berhenti dari kegiatan memotong sayurnya lalu mendekati Ice, ia bisa merasakan keganjalan di sana, "kau tidak berbohong, Ice?"

"Tidak, kak, lagipula mengapa aku berbohong?"

"Benar kata Solar, dia bukan seperti Rimba yang sangat menyukai makanan... Ada apa dengannya?" kali ini Beliung mengikuti obrolan mereka dan membuat kelima saudaranya keheranan, "dia suka sekali dengan keju...."

"Apakah transformasi dari tahap dua ke tahap tiga menyebabkan dirinya tidak ingin makan berlebih?" tanya Blaze penasaran, pasalnya ia tahu jika sebelum Duri mendapatkan tahap ketiganya, Duri sangat menyukai makanan. Namun, kali ini sangat berbeda.

Pertanyaan Blaze membuat Halilintar menggeleng cepat, ia tidak sadar jika kegiatan makannya sudah berhenti sedari ia menanyakan keberadaan Rimba, "itu jelas tidak mungkin, Rimba mudah sekali kelaparan apalagi di saat dia menjalankan aktivitas. Aku merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan dari kita."

Gempa menghela napas, ia tidak ingin Rimba seperti ini, ia harus menghampiri Rimba yang berada di kamarnya, "aku akan ke kamarnya, kalian tetaplah makan di sini."

Tidak memperdulikan jawaban dari yang lain, langkah Gempa membawanya naik ke lantai dua melalui tangga. Ketika sudah sampai tepat di depan pintu kamar sang adik, ia mengetuknya, "Rimba?"

Lima detik, sepuluh detik, bahkan lima belas detik pun tidak ada jawaban dari penghuni di dalamnya. Gempa mengetuknya sekali lagi, "apakah Rimba ada di dalam?"

Sama seperti sebelumnya, hening, tidak ada jawaban, Gempa siap memutar kenop pintu untuk masuk ke dalam, "kakak izin masuk kamar ya?"

Betapa terkejutnya Gempa ketika melihat sang adik tertidur di jendela, ia melangkah menghampiri Rimba pelan-pelan agar insan di depannya tidak terbangun. Gempa memutuskan untuk duduk karena ada sedikit ruang di samping Rimba. Dilihatnya pemuda berambut hijau itu sedang terlelap pulas membuat Gempa tidak tega untuk membangunkannya. Netranya beralih menatap sekitar, kamar Rimba tidak terlalu ramai akan hiasan seperti kamar Solar, tetapi sangat nyaman karena di dominasi warna hijau.

Secara tidak sengaja, indra penglihatannya menangkap adanya perban dan perlengkapan obat-obatan lainnya di meja milik Rimba. Kakinya mengajak untuk mencari lebih tahu, tangan kanannya menggenggam perban, "Rimba menggunakan ini untuk apa?" keningnya mengkerut ketika ada kotak obat yang bersebelahan dengan lampu belajar.

Rasa penasarannya memuncak, ia membuka kotak obat itu dan memperlihatkan macam-macam jenis dan alat kesehatan termasuk stetoskop. Namun, ingatan di pikirannya tentang Rimba menjadi salah satu anggota palang merah remaja di sekolahnya tiba-tiba membuat Gempa tersadar. Ah, ia merasa bersalah karena hampir menuduh yang tidak-tidak kepada sang adik. 

Ia kembali mendekati Rimba, senyuman lembutnya terlihat, telapak tangan kanannya mengusap surai kehijauan itu, "tidur yang nyenyak, adikku," dua detik kemudian, ia menghilang dari balik pintu dan meninggalkan Rimba yang sedang menjelajah di khayalannya tanpa mengetahui ada rahasia di balik kecurigaannya.

Something Just Like ThisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang