[12] Suffering

1.2K 131 10
                                    

"Kak Halilintar, ada apa?" tanya pengguna elemental tanah tahap kedua dengan kotak obat di tangan kanannya. Wajah Gempa terpancar dengan ekspresi kebingungan yang jelas. Alisnya terangkat tinggi, bibirnya sedikit terbuka, dan matanya memancarkan rasa tidak mengerti yang mendalam di saat Halilintar tidak menjawabnya.

Gempa lebih memilih mengikuti Halilintar yang masuk ke dalam kamar Rimba dan ia melihat Rimba yang menundukkan wajah sembari menghapus air mata di pipinya. Sontak rasa khawatirnya timbul, ia menekuk kedua lututnya agar bisa melihat sang adik dengan jelas, "Rimba? Hei, kenapa menangis?" tangannya beralih mengangkat dagu Rimba.

Halilintar menghela napas, ia mengambil tangan kanan Rimba dan menunjukkannya kepada Gempa, "kau harus melihat ini."

Mata Gempa melebar dan alisnya melonjak naik. Wajahnya yang terkejut terpancar dengan jelas, mengungkapkan reaksi yang tak terduga terhadap yang baru saja ia lihat, "Rimba! Kenapa bisa terjadi seperti ini?!"

"Kak Gempa... Maafkan Rimba...." isaknya dengan tangan kirinya mencengkram kaos Gempa. Rimba sangat takut sekarang, ia takut yang lain akan memarahinya.

Gempa seperti membeku sejenak, tak dapat mengendalikan ekspresi wajahnya yang tercengang saat melihat kulit yang terkelupas dan terbungkus dalam perih yang tak terperi. Ia mengusap pelan kulit di sekitar luka itu dan ia bisa mendengar Rimba sedikit meringis. Luka itu melintang di pergelangan tangan Rimba. Di sekitar luka bakar itu, terlihat juga bekas-bekas lepuh yang telah pecah. Area-area yang terkena luka bakar terlihat bengkak dan merah, mencerminkan inflamasi yang masih ada di dalamnya.

Gempa menggelengkan kepalanya lemah, ia mendongakkan kepalanya untuk menatap Rimba, "kenapa baru mengatakannya sekarang?"

"Aku yang mengetahuinya terlebih dahulu, Gem. Rimba berusaha menyembunyikannya dari kita," timpal Halilintar dengan suara yang dingin dan tanpa ekspresi, ia berbicara dengan tegas dan jelas tanpa melihat Rimba di sampingnya melainkan menusuk manik cokelat milik Gempa.

Merasa tidak ada bantahan dari pemuda di hadapannya, Gempa membuka mulutnya, "Rimba, benarkah apa yang diucapkan Kak Halilintar?"

Saat pertanyaan itu terlontar, Rimba memilih untuk tidak menjawab. Suasana di ruangan menjadi hening, dengan kebingungan yang terasa dalam udara. Tatapannya tetap terfokus, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya — Rimba terlalu takut.

"Rimba, lihat kakak," tegas Gempa sembari memegang dagu Rimba lagi agar netra sehijau zamrud itu menatapnya, "jujurlah kepada kita berdua, apakah Rimba sengaja untuk menyembunyikannya?" tanyanya dengan suaranya yang datar dan tanpa getaran menunjukkan ketegasan serta kejelasan pikirannya.

Ah, sepertinya Rimba tidak bisa keluar dari sini. Hawa menakutkan dari kedua kakaknya membuat bulu kuduknya naik. Gempa jarang sekali memperlihatkan sisi dinginnya seperti sekarang dan Rimba baru saja membuat sisi itu muncul kembali.

Pada akhirnya, Rimba harus memberitahu yang sebenarnya sekarang. Ia memutuskan untuk mengangguk pelan, "Rimba terlalu takut untuk mengatakannya...."

Dengan beban yang terasa berat, Gempa menghela napas panjang dan dalam. Napasnya terdengar berat dan terbebani, mencerminkan kegagalan sebagai seorang kakak, "diamlah di sini, kakak akan mengobatinya."

Gempa mengambil satu kursi di dekat pintu dan membawanya ke hadapan Rimba lalu duduk di kursi itu. Kemudian, ia membuka kotak obat yang ia bawa tadi, jari-jarinya sibuk mengambil kapas dan obat antiseptik — biasanya di sebut dengan betadine.

Namun, kegiatannya tersebut terhenti. Ia memalingkan pandangan untuk menatap pemuda dengan manik ruby yang berdiri di samping Rimba, "kak, aku meminta tolong untuk ambilkan air beserta handuk, boleh?"

Something Just Like ThisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang