"Perban akan melindungi lukanya selama obatnya bekerja, jangan terlalu banyak bergerak agar tidak terlalu perih."
Rimba mengangguk dan membiarkan Gempa membereskan obat-obat yang tadi ia keluarkan dari tempatnya. Rimba memilih memperhatikan sang kakak. Halilintar tidak ada bersama mereka, sang sulung menghilang dari ruangan itu karena mengembalikan handuk kecil dan wadah berisi air ke tempat semula.
Kediamannya itu hilang ketika ia membuka mulutnya, "Kak Gem, maafkan Rimba...." membuat Gempa berhenti dari kegiatannya dan seluruh atensi Gempa tertuju kepada Rimba.
Rimba mendongakkan kepalanya yang sedari tadi menunduk, sisa air mata masih terlihat di sekitar wajahnya, ia bisa melihat dengan jelas rasa khawatir yang melanda Gempa.
"Tidak perlu seperti ini lagi, ya?" tanya Gempa tenang, matanya sayu karena tidak tega melihat kondisi Rimba.
Rimba kehilangan kata-kata, hatinya dilema seakan mengatakan ia tidak bisa berjanji untuk tidak akan melakukannya lagi, "tidak tahu...."
Gempa membangkitkan dirinya untuk duduk di sebelah Rimba, tangannya bertemu dengan tangan Rimba, "apa alasan Rimba untuk menyembunyikan semua ini? Kakak tidak akan marah jika Rimba memberitahu kakak," Gempa sengaja untuk tidak memegang dagu Rimba agar Rimba bisa melihatnya.
Rimba membungkam mulutnya selama sepuluh detik lalu membukanya kembali, "Rimba tidak ingin merepotkan yang lain."
"Tidak ada yang perlu direp — "
"Rimba sudah berada di tahap ketiga," sela Rimba cepat sembari menatapnya dalam, Gempa bisa melihat kesedihan yang memancar dari netra sehijau zamrud sang adik, "tidak mungkin jika Rimba harus bergantung kepada kalian."
"Namun, bukan berarti Rimba harus bersikap sendirian. Ada kami berenam," tegas Gempa tidak ingin kalah, ia siap beradu argumen dengan Rimba sekarang juga jika ingin, "memaksakan kehendak tanpa bantuan orang lain itu juga sama jahat kepada diri sendiri. Jika di rasa susah dan ingin meminta bantuan kepada kami, Rimba harus melakukannya."
Rimba tidak mengelak perkataan Gempa. Kakaknya itu benar, ia semestinya meminta pertolongan kepada yang lain. Namun, hatinya tetap berpendirian teguh. Bukankah ia sudah seharusnya untuk belajar berdiri di kaki sendiri?
"Rimba hanya membayar semua yang kalian lakukan untukku."
"Membayar untuk apa? Ini bukanlah sesuatu yang memerlukan timbal balik, Rimba."
Rimba menggeleng kasar, ia sedikit frustasi berusaha mengeluarkan isi hatinya, tetapi ia susah menemukan kalimat yang cocok, "bukan itu yang aku maksud, kak."
"Lalu, apa yang kau maksud? Kecewa dengan diri sendiri terus-menerus, huh? Terlalu larut di dalam badai bukanlah jalan keluar untuk berdamai dengan diri sendiri," tukas Halilintar dengan ekspresi matanya tegang dan tatapannya tajam. Alisnya terangkat sedikit, menunjukkan konsentrasi yang mendalam.
Keberanian Rimba sedikit menurun saat Halilintar tiba-tiba datang dan mengutarakan kalimatnya. Terlebih lagi, Halilintar jarang menyebut 'kau' sebagai pengganti namanya. Bukan jarang, tetapi tidak pernah sama sekali. Namun, Halilintar tampaknya pecah telur.
Gempa meneguk saliva-nya kasar, berdo'a di dalam hati agar Halilintar tidak mengeluarkan kalimat yang tidak ingin ia dengar.
"Terlalu mementingkan ego termasuk orang yang lemah."
Belum sempat menyelesaikan do'a-nya, harapan Gempa pupus seketika. Ia memalingkan pandangannya kepada Halilintar, matanya membulat menandakan ketakutan. Ini bukan waktu yang tepat untuk menimbulkan percikan api. Gempa tidak suka dengan keadaan sekarang. Ia merasa Halilintar lupa untuk tidak mengontrol emosinya.
"Kak, henti — "
"Lemah?" Rimba mendecih dan tertawa hambar, menyela ucapan Gempa lagi. Hatinya sedikit tidak menyangka jika sang kakak akan berbicara seperti itu kepadanya. Pandangannya tetap tertuju ke lantai kamarnya, tetapi ia beralih menatap Halilintar kembali, "namun, aku yang menyelamatkanmu waktu itu. Apa kau lupa, kak?"
Hati Halilintar serasa diguncang batu kerikil berulang kali. Ia tertohok tidak percaya. Tatapan dinginnya berubah melunak seakan menyesal dengan tindakannya. Seharusnya ia tidak mengatakan kalimat itu. Betapa bodohnya seorang Halilintar sekarang.
Rimba tersenyum kecut, pandangannya lurus melihat pintu kamarnya, "aku tidak mengira jika kau melupakannya, kak," deru napasnya tidak beraturan, ekspresi wajahnya mengeras. Gempa tidak dapat memastikan ekspresi itu menggambarkan rasa sedih atau kecewa. Kemungkinan besar keduanya.
"Aku hampir mengorbankan diriku sendiri untukmu, tetapi kau malah melupakannya," ucapnya yang membuat satu bulir air matanya turun dan menyapa pipi lembutnya.
"Aku tidak marah kepadamu, kak. Aku tidak marah kepada yang lain," bibirnya bergetar karena tidak sanggup melanjutkan kalimatnya, ia mengambil satu tarikan nafas untuk bersiap berbicara kembali, "justru aku marah dengan diriku sendiri karena sangat bodoh menyelakai diri sendiri dengan cara berkorban."
Jari-jarinya mengusap air matanya kasar agar tidak terus membasahi pipinya, "aku tahu jika aku memang dikenal sebagai anak yang polos, naif, dan kekanak-kanakan. Bahkan master pun mengakui hal itu."
Rimba tidak bisa membendung sedih yang sedari tadi tertahan. Tembok pertahanan dari bendungan yang penuh dengan bulir bening yang mengalir sudah pecah di detik ini. Seluk beluk dari kalimatnya memperlihatkan betapa kuatnya perasaan yang ia alami.
"Semenjak master mendapatkan kekuatan elemental untuk pertama kalinya, master tidak pernah hidup tenang seperti anak pada umumnya. Itulah mengapa, aku hadir sebagai elemental yang berusaha menyenangkan orang lain terutama untuk master dan keenam saudara-ku."
Kedua kakaknya yang masih berdiam di tempat tidak berani mengatakan sepatah apapun. Mulut Halilintar dan Gempa serasa dijahit oleh jarum jahitan yang terikat dengan benang tak terlihat. Mereka tidak pernah mendengar Daun ataupun Duri bahkan Rimba sekalipun berbicara hal yang menyedihkan.
Gempa terenyuh, ia tahu betul jika Rimba dan kedua tahap sebelumnya dari adiknya itu termasuk elemental yang mempunyai sifat murni kejujuran. Walaupun Blaze memang tidak bisa berbohong, ia masih berada di peringkat kedua setelah Rimba.
Tangisan Rimba semakin berderu di dalam ruangannya. Bunyi tangisan itu menyatu dengan gemuruh hujan di luar jendela — kebetulan siang ini sedang hujan dan langit sedikit gelap — menciptakan suara menyayat hati. Meskipun terasa menyakitkan, Rimba benar-benar tidak peduli dengan kalimat yang ia lontarkan tadi akan menyakiti hati Halilintar ataupun Gempa. Biarkan dirinya egois untuk kali ini saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Something Just Like This
FanfictionDi balik jam kekuatan elemental yang dimiliki oleh sang master, ada kehidupan normal dibaliknya. Layaknya kehidupan manusia di dunia pada umumnya, tujuh elemental hidup dalam satu rumah sebagai kakak adik. Kehidupan itu berlangsung dengan adanya ra...