[5] Komik

1K 120 2
                                    

"Kak Gempa."

"Hmm? Ada apa, Rimba?" Gempa yang sibuk menata bantal kecil di sofa menoleh ke arah Rimba yang datang kepadanya, "eh, kenapa rapi sekali pagi ini?" pasalnya Rimba memakai sweater dengan warna hijau muda, celana panjang berwarna putih, dan tas ransel yang berwarna campuran hijau tua dengan kuning — ukurannya tidak terlalu besar, tetapi tidak terlalu kecil.

Rimba tersenyum hangat, wajahnya terlihat sangat bahagia, "Rimba ingin ke toko buku, ada komik incaran Rimba yang baru saja rilis, bolehkah?"

Gempa sedikit berpikir, adiknya ini sangat mendadak untuk meminta izin kepadanya, "kenapa tidak memberitahu kakak dari kemarin?"

Rimba menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "komiknya baru saja rilis semalam...."

"Kalian membicarakan apa?" pemuda dengan netra berwarna merah tiba-tiba mendekati keduanya. Rimba sedikit tertegun, ia takut. Ia meminta izin kepada Gempa karena ia tahu jika kakaknya itu akan berpotensi untuk mengizinkannya, tetapi tidak dengan Halilintar.

"Oh, Kak Halilintar? Rimba ingin pergi ke toko buku, kak," balas Gempa.

Pandangan Halilintar bertemu dengan manik Rimba, "benarkah?" tanyanya dan Rimba menjawabnya dengan mengangguk patah-patah, ia tidak tahu harus menjawab seperti apa.

"Sendirian?"

"Iya, Kak Hali...."

Gempa mengkerutkan keningnya ketika mendengar Rimba pergi ke toko buku dengan hanya seorang diri, ia mengira jika Beliung akan mengantarkan Rimba, tetapi justru tidak. Gempa tidak ingin adiknya terjadi apa-apa, "haruskah sendirian? Kak Beliung bisa mengantarkan Rimba ke sana."

Rimba menggeleng cepat, sesungguhnya ia ingin menikmati momen bepergian sendirian ke toko buku — ia sudah menginginkan ini sejak ia masih menjadi tahap dua tahulu, "t-tidak perlu, Kak Gempa! Itu hanya merepotkan Kak Beliung...."

"Lebih baik ada seseorang yang menemani," Halilintar melihat sekitar, ia tidak mendapati seseorang yang ia cari, "Beliung! Kau di — "

"Ah, Rimba harus berangkat sekarang! Stok komiknya sangat terbatas alhasil Rimba harus cepat ke sana," ia berlari ke teras untuk memakai sepatu, tidak peduli dengan Halilintar dan Gempa yang berusaha memanggilnya, "Rimba pergi dahulu, Kak Hali, Kak Gempa! Assalamu'alaikum," kakinya mengajaknya berlari lalu menghilang dari balik pagar.

"Waalaikum...salam...." Gempa tidak tahu harus bereaksi seperti apa, ia heran dengan dirinya mengapa ia tidak menahan Rimba?

"Maafkan aku, kak... Aku lupa untuk menahannya," ujar Gempa sedih. Ia sangat khawatir dengan Rimba. Jika boleh jujur, ini baru pertama kalinya Rimba pergi ke kota dengan sendirian. Biasanya ia selalu ditemani Beliung atau Gempa.

Halilintar menatapnya hangat, kedua ujung bibirnya sedikit terangkat walaupun tidak sempurna, "aku tidak masalah dengan itu, Gempa, mungkin sudah saatnya kita tidak terlalu protektif kepada Rimba."

Kalimat yang diucapkan Halilintar membuat Gempa mengingat ucapan Solar kemarin, "ia membutuhkan privasi...." gumamnya sendirian, tetapi Halilintar bisa mendengarnya.

"Kau benar," Halilintar mendengus pelan, tiba-tiba benaknya teringat dengan tujuannya turun dari lantai dua untuk mencari seseorang, "ngomong-ngomong, Gem, kau melihat Ice?"

"Aku melihatnya terakhir kali dia berada di balkon atas."

"Aku sudah mencarinya di lantai dua, tetapi aku tidak menemukannya."

Gempa merenung dengan ingatannya, ia berusaha mengingat kembali. Sepengetahuan Gempa, ia hanya ingat jika Blaze bermain di luar pada jam delapan tadi, Solar berada di laboratorium yang terletak di basement rumah mereka, sedangkan Beliung dan Ice? Ah, ia tidak tahu mereka berdua ada di mana sekarang, "Kak Beliung juga tidak ada, kak."

"Aku yakin mereka berdua bermain bersama Blaze tanpa memberitahu ki — "

"KAK HALI, KAK GEMPA!!!! KAK BELIUNG DAN ABANG ICE MEMINUM EKSPERIMEN MILIKKUUUUU!!!!"

###

Mal adalah pusat perbelanjaan yang biasanya terletak di tengah kota. Di dalamnya banyak sekali toko-toko kecil hingga besar berjejeran, salah satunya adalah toko buku. Ratusan orang rela mengantri panjang untuk memasuki toko buku demi membeli komik populer yang baru saja rilis semalam — Rimba menjadi manusia diantara ratusan tersebut.

"Ramai sekali...." hatinya berdegup kencang, kedua tangannya saling meremat, mata sehijau zamrud-nya tidak bisa berbohong jika ia sangat pesimis, apakah dirinya bisa menjadi salah satu orang yang bisa membeli komik populer tersebut?

Rasa gugupnya pecah ketika gawai yang ia letakkan di tasnya berbunyi. Tangannya bergerak mengambil benda komunikasi tersebut dan ia melihat layarnya menunjukkan panggilan telepon dari Gempa. Jarinya menggeser untuk menekan tombol 'terima panggilan' agar bisa terhubung dengan Gempa.

"H-halo, Kak Gempa?"

"Ini sudah hampir jam satu siang, Rimba tidak pulang?"

Rimba bisa merasakan rasa khawatir Gempa di balik teleponnya. Hatinya berdegup kencang dua kali lipat.

"Maafkan Rimba, kak... Rimba masih mengantri untuk mendapatkan komik itu...."

"Antriannya sangat panjang?"

Rimba mengangguk ragu walaupun ia tahu jika Gempa tidak bisa melihatnya, "sangat panjang, mereka baru saja membuka antrian itu sekitar lima belas menit yang lalu...."

Gempa menghela napas di ujung sana, membuat Rimba gelisah akan Gempa marah kepadanya ketika ia sampai di rumah nanti, "beritahu Kak Gempa jika sudah selesai ya? Kak Halilintar akan menjemput Rimba di sana."

Kalimat Gempa sontak membuat Rimba gelagapan. Halilintar akan menjemputnya, Halilintar akan menemui dirinya. Tolong seseorang sadarkan Rimba jika ini hanya mimpi. Ia tidak membayangkan atmosfer seram dari sang sulung ketika pulang nanti.

"K-kak Hali? Tetapi Rimba bisa pulang sendirian, kak...."

"Kak Halilintar sendiri yang ingin menjemput Rimba. Sudah, jangan menolak. Toh, Rimba tidak perlu membuang energi untuk menunggu bis kota."

Rimba menghela napas pasrah, ia tidak bisa melawan Gempa ketika ia tahu keinginan Halilintar yang menjemputnya. Jika ia menolak, ia akan terlibat dalam masalah dengan Halilintar dan ia tidak ingin itu terjadi. Bayangan beradu argumentasi dengan Halilintar membuat bulu kuduk nya naik, "iya, nanti Rimba akan memberitahu Kak Gempa jika sudah selesai."

"Baiklah, Rimba tetap harus berhati-hati, belilah makanan atau minuman jika Rimba ingin."

"Iya, kakakku, Rimba sangat faham," ia tertawa geli karena mendengar Gempa terus berbicara. Gempa yang mendengarkannya pun ikut tertawa kecil, setidaknya Rimba tahu jika ia cemas dengan keberadaan Rimba di luar sana.

Setelah sambungan telepon keduanya terputus, Rimba kembali memfokuskan dengan tujuannya saat ini. Ia menyadari jika antrian itu semakin berkurang dan membuat dirinya hampir mendekati pintu toko buku. Dalam artian, Rimba bisa mendapatkan komik itu. Senyumannya mengembang, tetapi lima detik kemudian, senyuman itu menghilang karena mengingat Halilintar yang akan menjemputnya. Entah apa yang terjadi, Rimba berharap tidak akan ada hal buruk di antara dirinya dan sang kakak.

Something Just Like ThisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang