SALAH BAPAK

135 12 2
                                    

WARNING!
MENGANDUNG UNSUR KEKERASAN, HARAP BIJAK DALAM MEMBACA.

Cerita hanya fiktif belaka, pure imajinasi Saya. Tidak berniat menyinggung pihak manapun, sudah Saya peringati di deskripsi cerita bahwa ini konten untuk 17 tahun ke atas. Memuat adegan kekerasan yang mungkin memicu trauma, sekali lagi mohon kebijakan dari anda-anda sekalian.


















Kamis, 22 Desember 2022

Gebruk....

Ruangan seluas empat puluh dua meter persegi—begitu kacau dan berantakan, pecahan kaca hingga sampah jajanan yang berserak menyelimuti lantai keramik—  dari putih bersih menjadi penuh noda bahkan tetesan darah segar terus bercecer. Gadis kurus yang masih lengkap mengenakan seragam sekolah, merangkak takut meski seluruh badannya gemetar hebat. Mencoba berdiri dengan tungkai lemas itu, ia memegang sudut lancip meja makan untuk kembali berdiri walaupun sejujurnya nanti dia akan kembali terjerembab keatas lantai.

"Masih kurang? Masih mau melawan?"

Suara erangan menahan sakit sekali lagi lolos dari bibir keringnya yang terdapat luka lebam, menatap begitu takut pada netra penuh kebencian pada lelaki biadab tak berperasaan—lagipula ia bisa apa selain menerima perlakuan keji ini?

Pukulan yang kesekian kalinya mendarat tepat di pipi kanan, sesuai dugaan ia pun terjatuh mencium lantai setelah perutnya terbentur sisi runcing meja. Raungan serta jeritan itu adalah suara yang paling banyak ia keluarkan apalagi ketika rambutnya ditarik paksa menuju kamar mandi, tepat berada di sebelah kanan dapur. Mana mungkin manusia tak berotak itu mau mendengar apalagi mengasihani setiap jeritan pedih yang mengalir deras dari sebalik bibir gemetar tersebut.

Sadis memang, lelaki berambut gondrong itu memukul, menerjang, menampar, menjambak tanpa henti bak memperlakukan benda tak bernyawa. Sama sekali tidak peduli apakah gadis tersebut bisa mati bahkan trauma berat atas setiap perlakuannya, apa mungkin dia ODGJ ataukah memang pasien Rumah Sakit Jiwa yang kabur?

Yang terakhir, raungan panjang sekali lagi lolos begitu sempurna setelah tubuh gadis itu terhempas keras menghantam dinding kemudian tendangan kuat terlayang mengenai perut kempesnya.

Brak

Pintu rumah dihempas keras.

Tujuh menit usai kepergian lelaki itu, gadis yang sedari tadi hanya terduduk mematung di lantai kamar mandi bergerak perlahan, jari kering tinggal tulang miliknya memutar kepala keran lalu mulai membersihkan sisa-sisa darah yang menempel di kening, telinga, wajah dan lututnya. Dengan tenaga yang ada ia berusaha untuk berdiri, lantas tatapan kosong itu bertabrakan dengan pantulan dirinya sendiri didalam cermin. Mata panda yang cekung, bibir kering yang setiap sudut dihinggapi luka serta lebam dimana-mana. Pantas saja jika setiap hari ia selalu mendapat tatapan beragam dari penghuni Rusun dan teman-temannya di sekolah. Setiap ada yang bertanya ia hanya mampu diam seribu bahasa walaupun itu wali kelasnya sendiri.

Seketika ingatannya berputar cepat, tidakkah ada sesuatu yang ia abaikan terlalu lama? Buru-buru kaki kurusnya menyibak lautan sampah menuju sebuah kamar di belakang televisi, lalu membuka pintu lemari olimpic berwarna putih tersebut hingga tampaklah seonggok tubuh kecil yang perlahan keluar dari sebalik gantungan baju.

"Kak Ayu."

Bocah enam tahun yang masih memakai seragam TK—menghambur kepelukan sang kakak, sedari tadi ia terus mendengar setiap raungan dari luar kamar dan ia sangat yakin itu adalah rintihan yang hampir menghiasi setiap sudut rumah.

OUTLINE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang