KESEPAKATAN

12 7 1
                                    

Selain bertempramen buruk, ternyata Nertaja adalah seorang yang menepati janji. Mengapa begitu? Semua terbukti setelah ia datang lalu tanpa aba-aba menampar amat keras bagian kiri kepala Rahayu sampai telinga gadis itu berdenging saking kuatnya pukulan itu.

Semua murid yang berlalu lalang melewati koridor guna mencapai kantin—terkejut ditempat, langkah mereka terhenti dibarengi pelongoan besar. Inti dari peristiwa barusan pasti tak lama lagi akan ada pertempuran baru.

Ini sakit, bahkan dikala Rahayu menjadikan dirinya manusia paling kuat dan paling kebal terhadapan kekerasan. Nyatanya jika sudah berurusan dengan pukulan dan apapun bentuk lain dari itu, mesti tak pernah jauh dari rasa sakit. Berkali-kali Rahayu memaklumi dan terus menerima segala macam kekerasan tersebut sambil terus meraung dan berharap hantu yang ada didalam diri Panji berbaik hati agar tak melanjutkannya lagi. Alih-alih kembali menerima dan mencoba memaklumi Rahayu merasa ubun-ubunnya mendidih hingga apa yang ia lihat menjadi tidak jelas.

Pandangannya yang semula tertunduk kini menatap dingin pada wajah congkak yang telah membuat telinganya memerah, netra hitam pekat itu seolah menghunus tajam pada sang lawan.

"Untuk seukuran alas kayak gue nggak boleh terlalu arogan? Sialan emang, sedangkan untuk orang miskin kayak lo harus apa? Jadi alas gue aja gimana?"

Derap langkahnya mendekat, menyisakan sejengkal orang dewasa maka kening Nertaja dan Rahayu akan bersentuhan. Tatapan mereka saling beradu, anggap saja komunikasi terjadi berkat telepati.

Sudut bibir Rahayu yang masih menyisakan lebam terangkat naik, sebelah alisnya pun seirama. Namun, siapa sangka ekspresi itu hanya permulaan dari amarah yang segera melepas ledakan.

Tanpa pikir panjang Rahayu mencekram rambut sang lawan dibagian belakang kepala, sejalan dengan keterkejutan penonton dan kekesalan Nertaja. Mata gadis itu sampai melotot besar takkala rambutnya dijambak.

"Kenapa? Lo merasa terancam ya sama keberadaan gue?" Pertanyaan itu terdengar seperti gertakan.

"Brengsek, jangan sentuh rambut gue!" Nertaja memberi perlawanan, tangannya terus beronta dan berusaha menjangkau kepala Rahayu. Itu gagal disaat rambutnya semakin ditarik kencang hingga apa yang ia lihat kini hanya penampakan deg sekolah, mata penuh amarah Nertaja memicing—ia merasakan betapa kuatnya genggaman Rahayu.

"Salahin orang yang udah bikin gue penasaran sama lo, brengsek? Harusnya lo bisa di ajak bicara baik-baik! Sialan!" Entah ada atau tidak, Rahayu merasa memang tak ada yang berniat melerai pertengkaran mereka.

"Mau lo apa anjing!"

"Mau gue? Gue mau lo ngaku!"

Wah, baru kali ini Nertaja mendapat lawan yang setimpal seperti ini, entah apa tujuan Rahayu satu yang pasti.

"Gila emang, ngaku lo bilang?"

Cukup sudah, Nertaja tak nyaman berada di posisi ini. Serasa rambutnya telah berpindah semua ketangan Rahayu, gadis itu mendorong tubuh Rahayu hingga punggungnya membentur dinding kelas, alhasil cengkraman tersebut lepas sebab rasa sakit itu mengalihkan Rahayu begitu cepat.

Nertaja berjalan mendekat, kemudian ia berujar setengah berbisik. "Sebenarnya ... lo siapa?"

————————

Sambaran petir itu menggelegar hebat, bahkan lantai yang Aksara pijak terasa bergetar. Kilatan serta gemuruh riuh terus berdatangan mengiringi derasnya hujan, pemadaman listrik secara menyeluruh membuat seisi rumah dihinggapi rona gelap gulita. Sesekali cahaya kilat masuk menembus kaca-kaca dan sela pentilasi, Aksara meneguk liur tanda bahwa ia sedang takut. Berbekal senter Handphone lelaki itu memberanikan diri keluar dari kamar, bagaimana bisa ia merasakan haus disaat-saat yang tidak tepat.

OUTLINE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang