KUNCI JAWABAN

8 5 0
                                    

Langkah Aksara terhenti tepat didekat tangga darurat, ia baru saja akan turun dari rofftop. Dikarenakan lift tiba-tiba eror ia terpaksa memilih jalur tangga, siapa sangka ada perdebatan antara sepasang kekasih disana.

"Kak, please jangan asal ngomong." Lelaki berambut klimis tersebut memelankan suara, raut wajah was-was menandakan jika ia tak ingin seseorang tau apa yang mereka perbincangkan saat ini. "Bayi apa?" Dan kali ini ia terpelotot besar pada gadis yang bahkan tak menunjukkan rasa khawatir sama sekali.

"Bukannya Lo yang dulu pernah bilang 'cinta mati' sama Gue? Kenapa sekarang malah menyangkal? Nggak mau Lo punya keturunan dari Gue!" Kalimat terakhir gadis itu setengah membentak.

Lelaki itu menghela nafas gusar, sesaat menatap tak percaya pada lawan bicaranya. "Kapan kak? Kita nggak pernah berbuat sejauh itu?" Mana mungkin ia berdalih sedangkan wajahnya nampak sangat meyakinkan. "Dan juga, kita belum pernah tidur bareng."

Suara seperti permen dikunyah terdengar dari dalam mulut gadis tersebut, ia menampilkan smirk kemudian mendorong kuat tubuh si Lelaki. "Bego, Gue pikir Lo cowok baik-baik. Dan bodohnya Gue, bisa yakin kalo Lo mau ngakuin anak sialan ini!" Ia memukul geram perut kempesnya.

"Cukup! Jaga ucapan Kamu, A-aku nggak pernah lakuin itu!" Dalam keadaan setengah menyesal, ia pergi dari sana. "Cih, segala jenis lelaki cuma beda dari luarnya aja ternyata."

Aksara keluar dari sebalik dinding, berjalan santai seolah tak mendengar apapun. Tentu, pihak sebelah merasa amat terkejut. Entah sejak kapan Aksara berada di sana, satu yang pasti. Ia sedang dalam masalah besar. "Lo-"

"Minggir, ngalangin jalan aja."

"Liftnya rusak?" Gadis itu bertanya guna memastikan. "Emang Gua bakal lewat tangga kalo liftnya bagus?" Jawaban yang santai bukan?

Mencoba tetap berpikiran fositif, Gadis itu langsung turun tanpa mempedulikan lagi Aksara yang ikut dibelakangnya. "Gue kira Lo mau naik," sialan. Kenapa bisa ia teledor, kalau begini Aksara akan semakin curiga. "Nggak jadi."

Keheningan tercipta dibarengi ritme jantung Gadis itu yang terus berdetak kencang, seakan-akan tatapan Aksara menembus isi kepalanya saat ini. Ia menghela nafas lega, setibanya dilantai empat. Suasana koridor dan ruang kelas masih sepi, area kantin menyedot habis penghuni sekolah yang kelaparan. Ia berencana akan mencoba menaiki lift sebelum suara Aksara kembali memecah keheningan.

"Kenapa Lo lepasin cowok brengsek itu? Bisa-bisanya nggak mengakui anak sendiri." Menyadari bahwa Gadis didepannya ingin berbalik, Aksara menghentikan langkah. "Ma-maksud Lo apa? Lo nguping!"

Langkah Aksara semakin mendekat. "Shuutt," ia menempelkan jari telunjuknya dibibir gadis itu bersama senyum mengintimidasi, membuat pihak perempuan ketakutan setengah mati. "Jangan teriak, nanti rahasia Lo kebongkar gimana?"

Gadis itu menyingkirkan jari Aksara dari bibirnya, lalu memundurkan tubuh disertai gestur was-was "mau Lo apa ha?"

"Wandira, Lo hamil anak haram."

Tubuh Wandira berguncang hebat, tamat riwayatnya jika Aksara membocorkan hal tersebut. Ingin menyangkalpun kini ia tak memiliki alibi sama sekali. "Gue mohon sama Lo, jangan bilang kesiapapun Aksara." Kali ini ia merendahkan diri, berlutut penuh ketakutan didekat kaki Aksara. Jika perlu, ia bisa mencium sepatu lelaki itu.

Itu sebatas gertakan, Aksara rasa ia hanya perlu berbicara demikian supaya Wandira tidak menyerah begitu saja, kecuali memang ada niat buruk terhadap bayi tak bersalah tersebut. Namun, baru beberapa langkah ia menjauh dari sana. Sensasi itu, perasaan itu dan gemetar itu. Datang bagaikan sambaran petir disiang hari yang cerah, Aksara menoleh dengan panik kesembarang arah. Ia menampar bahkan meninju dirinya sendiri, tidak puas setelah melabuhkan tinju ke dinding. Usai usaha yang panjang, Aksara masih belum menemukan kesadaran, gejala mati rasa tidak lagi membuatnya merasakan sakit.

OUTLINE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang