"Saya nggak tau pasti itu pukul berapa, tapi yang jelas sudah lewat tengah malam. Karna, waktu itu terjadi pemadaman listrik saya nggak terlalu memperhatikan sekitar."
Hawa ruangan dengan dominasi warna gelap tersebut cukup panas, peluh sedikit menembus kulit Azela yang mana ia tengah duduk berhadapan dengan Iptu Awang. Ditemani lampu bohlam yang memancarkan warna orange, Azela menjawab semua introgasi dari pihak polisi.
"Posisi Anda waktu itu ada dimana dan bagaimana bisa ketahuan?"
"Saya mau keluar buat turun dan ambil minum, sekalian mau nyari lampu cas yang seingat saya ditaroh dilemari ruang tengah dekat perpustakaan. Posisi saya tepat ditengah tangga antara atas dan bawah, mereka berdua muncul dari bawah sambil nodongin pistol ke saya. Mereka giring saya buat naik lagi keatas, yang satunya berhasil megangin tangan saya kebelakang dan yang satunya nodongin pistol ke pelipis kiri saya, jatuhnya dari samping. Terus mereka giring sampai kekamar dan minta ditunjukin tempat saya nyimpan perhiasan," Azela menjeda. Ada keketiran pada raut wajahnya kala itu.
Lajunya keterangan dari Azela sama cepat dengan ketikan Iptu Awang pada laptop berlogo Apple tersebut.
"Sadar kalau posisi saya dalam bahaya, saya langsung nurut dan menyerahkan semua perhiasan yang saya punya. Tapi, salah satu dari mereka berniat tidak senonoh pada saya. Tentu saya melawan, tapi karna kesal dia nampar saya dan mendorong saya cukup kuat. Saya limbung dan akhirnya jatuh dengan posisi terungkup sebelum kening saya terbentur sisi ranjang yang runcing, pada saat itu saya sempat pusing dan nggak sadarkan diri. Cuma itu yang saya tau."
"Kenapa Anda tidak langsung menelpon Pihak berwajib ketika sadar dari pingsan, lalu dimana suami dan anak anda?"
"Waktu saya sadar, itu subuh. Suami saya masih belum pulang. Saya takut mau lapor dan berencana akan cerita sama suami saat anak saya sudah berangkat sekolah, atensi saya langsung tertuju pada anak jadi saya bergegas ke kamar Aksara, untungnya dia nggak papa dan baru saja selesai mandi. Nggak berapa lama suami saya pulang, di posisi takut dan khawatir saya sama sekali nggak kepikiran tentang Lukman, itu juga karna saya belum terbiasa dengan kehadiran anak itu jadi saya benar-benar lupa."
"Kira-kira waktu itu sudah turun hujan apa belum?"
"Saya bangun hujan sudah cukup deras, tapi seperti yang anda bilang kalau dirumah tidak ada jejak sepatu. Itu karna mereka melepasnya sebelum masuk."
"Sama seperti jendela dapur, jendela dikamar korban juga di bobol tapi alat yang digunakan untuk membobol jelas berbeda, yang satunya hanya meninggalkan bekas seperti linggis dan yang satunya seperti dibobol menggunakan obeng jadi bekasnya pun tidak terlalu besar."
"Sepenglihatan saya, mereka datang cuma bawa pistol. Mungkin linggisnya sengaja ditinggalkan diluar," Azela mencoba mengimbangi pola pikir Iptu Awang.
"Anehnya, kami tidak menemukan keberadaan linggis disekitar rumah."
"Berarti setelah membobol jendela dikamar Lukman, mereka langsung melompat?" Jika benar setidaknya akan ada luka lebam akibat benturan atau yang paling fatal patah tulang.
"Kira-kira dimana linggis yang mereka gunakan? Apa mungkin mereka sempat untuk mengambilnya? Dan seberapa bodoh perampok itu, hingga memilih pergi melalui jendela dilantai dua? kecuali mereka didesak oleh sesuatu."
"Anda mencurigai saya?"
——————————
Melewati Jalan Medan Merdeka Timur—Rahayu menempuh jarak yang cukup jauh apabila dibadingkan dengan SMA Taman Madya 1. Dalam kurun waktu sembilan belas menit angkot kota berhasil mencapai enam kilo meter perjalanan, Rahayu turun tepat disamping halte Bus. Dari sudut pandangnya saat ini ia dapat melihat beberapa siswa/siswi yang berjalan ditrotoar jalan, serta beberapa dari mereka yang datang mengendarai motor bahkan mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
OUTLINE
غموض / إثارة[HIATUS] MISTERI/THRILLER‐FIKSI UMUM-FIKSI REMAJA-TRAGEDI-DARKROMANCE [17+] Kehidupan mereka yang bertolak belakang. Ada Rahayu, yang selalu menjadi korban kekerasan Saudara laki-lakinya sendiri. Ada Nertaja, yang berubah menjadi pelampiasan bagi Ay...