Auxy telah sadar dari komanya, dan dipindahkan ke ruang rawat inap berukuran 6x5 cm. Riuh tangis dari Belinda dan keluarga inti Auxy yang baru sampai di Surabaya dini hari. Semua rasa membaur menjadi satu, antara lega, haru sekaligus penuh syukur atas rahmat yang Tuhan berikan."Jangan kayak gitu lagi," kata Belinda. Ia menyeka air mata di pipinya yang tak bisa berhenti menetes. "Bikin Mama jantungan... Mama khawatir banget. Mama takut... kalau sampai...," ungkapnya terisak tak sanggup melanjutkan ucapannya atas kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.
Belinda tidak mendramatisir keadaan, namun meluapkan kegundahan yang selama ini mengendap di dalam raganya.
Auxy telah dianggapnya seperti anaknya sendiri. Lalu ibu mana yang tega melihat anaknya berbaring tak sadarkan diri di atas ranjang pesakitan disertai selang yang dimasukkan melalui mulutnya untuk suplai makanan?!
Stress sekali Belinda memikirkan mengenai kondisi Auxy. Namun dipaksa kuat oleh keadaan. Sebab ada bayi mungil yang masih dalam perawatan intensif membutuhkan kehadirannya, sementara ibunya masih diambang hidup atau mati.
Beruntung masih ada suaminya, Ines dan Hito yang banyak membantunya di sini. Mereka semua di situ saling memberi support. Meski seringnya, Hito tampak ogah-ogahan, tapi berujung dilakukan juga.
Belinda diharuskan menjaga kewarasannya, sebelum orang tua Auxy datang untuk membagi kegilaan ini bersamanya.
"Ma— ka— sih, Ma," ucap Auxy lirih, hampir tak terdengar. Koma 8 hari membuat kerja tubuhnya menurun drastis. Badannya terasa lemas dan kerongkongannya terasa kering seperti ada yang mengganjal. Menyebabkan suara yang keluar dari mulutnya terdengar amat sangat lirih.
"Ba—yi a—ku ma—na, Ma?"
"Lagi di ruang perawatan, dia belum bisa dibawa ke sini. Nanti ya, kalau kamu udah baikan, kita ke sana lihat dia... kamu bisa gendong dia. Dia pasti juga rindu sama ibunya." Belinda tersenyum dalam tangis.
"Emang di—a kena—pa, Ma?" Auxy mendesah kesal atas ulah tubuhnya yang hanya bisa mengangkat sedikit tangannya, meskipun ia sudah berusaha menggerakkan tangannya sekuat tenaga. Sia-sia saja.
Belinda bukan ingin menutup-nutupi, lebih mengarah ke dirinya yang juga kebingungan bagaimana menjelaskan keadaan bayi Auxy yang lahir kurang sempurna. Ia takut Auxy kepikiran, dan membuat kondisinya kembali drop. Atau bahkan sampai tidak bisa menerima kekurangan bayinya.
Pun keluarga yang lain juga berpikir demikian. Sepakat memberi pengertian perlahan-lahan.
"Nggak apa-apa, Sayang." Belinda menangkup tangan Auxy yang terbebas dari infus. Membawa lembut masuk ke dalam genggaman. Menguatkan sekaligus menenangkan Auxy secara tersirat. "Dia anak yang kuat, sebentar lagi dia pasti bisa kumpul bareng kita, ya? Kamu yang semangat terapinya, dia pasti udah nunggu di jemput sama kamu, sama kita semua. Baby boy juga udah pengen ketemu mamanya, digendong mamanya. Nanti, ya? Sekarang kamu sabar dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Happier
Short StorySeason 2 dari Figh For Happiness Sebelumnya, Hito secara terus menerus mendekati Ines, mengajaknya perempuan itu balikan hingga menikah. Namun ketika mereka sepakat kembali berbaikan dan menjalin hubungan yang lebih serius dari sebelumnya, kenapa Hi...