Chapter 2 - Rest Area

10 4 0
                                    

Faktanya, mereka gagal bangun pagi sesuai ucapan Abila. Begitu mereka terbangun, matahari tidak tanggung-tanggung menampakkan diri seutuhnya. Hanya gerutu saling menyalahkan yang bisa mereka lakukan pagi tadi. Pada akhirnya, Firdaus memutuskan pulang sesudah jam makan siang.

"Berhenti di rest area dulu, gak, nih?" tanya Firdaus memecah kesunyian seisi mobil.

Kini mereka dalam perjalanan menuju Jakarta, kota sumber kesuntukan lima anak bernama akhiran sama tersebut. Perubahan warna langit yang menggelap nampak dari kaca jendela sisi mana pun, menandakan malam tak lama lagi tiba. Brita rasa langit berubah sangat cepat, ketika berangkat langit masih biru terang dihiasi awan keabuan. Tidakkah ia lelah berganti secepat itu? Atau Brita yang terlalu acuh mengamati pergantiannya?

"Mas Daus capek, gak?" tanya Frisqi balik. Firdaus mengangkat bahu.

Kepala Adam menyembul dari kursi barisan paling belakang, berusaha mengamati tampang Firdaus di kursi kemudi, "Wajah Mas Daus kayak capek, mending berhenti dulu aja. Nanti mau aku gantiin?" tawarnya.

"Jangan, ah. Kalau kamu yang nyetir, kita bukannya nyampe rumah malah nyampe UGD." Frisqi yang membantah, sedangkan Firdaus terkekeh. Adam tidak keberatan untuk ikut tertawa.

"Berhenti aja, Mas. Kita sekalian makan, kalian pasti lapar kan?" ucapan Abila berhasil membelokkan stir kemudi ke lajur menuju rest area.

Brita setuju pilhan Abila. Ia butuh peregangan bagi tulangnya usai perjalanan yang cukup panjang. Satu-satunya kesialan hari ini ialah Adam lebih dulu meminta dirinya duduk di barisan paling belakang dan Brita malas beradu untuk memperbutkan hal itu. Lagipula Firdaus benar-benar gila, ia mengendarai mobil berkecepatan tinggi ini 4,5 jam sendirian tanpa henti. Brita takut saudaranya itu hilang konsentrasi karena kelelahan.

Secepat cheetah berlari, Mobil yang mereka naiki tiba-tiba saja sudah terparkir di rest area. Tidak sedikit orang-orang berlalu-lalang disini, syukurlah Firdaus handal mendapatkan tempat parkir strategis.

"Mau pada di mobil aja?" tanya Firdaus seusai mematikan mobil.

"Pake nanya. Jelas aku mau turun lah." tanpa basa-basi, Frisqi membuka pintu mobil di sisi kirinya. Badannya segera melesat meninggalkan mobil.

"Ada yang mau ikut ke kamar mandi?" ajak Abila. Brita mengangkat tangan.

Kelimanya segera menghilang dari kursi mobil masing-masing. Firdaus dan Frisqi sepakat mendudukkan bokongnya di suatu kafe mungil dekat mobil mereka terparkir. Sementara Adam menghilang entah kemana, barangkali ia sibuk memotret sudut-sudut lingkungan ini karena kamera ada di tangannya sebelum menghilang. Brita dan Abila sendiri ke toilet sesuai tujuan pertama mereka.

Brita mencermati sekelilingnya, rasanya ia pernah ke rest area ini beberapa kali. Tidak banyak yang berubah sejak Brita kesini pertama kalinya. Kelihatannya hanya masjid di ujung sana yang berubah, jelas sekali masjid itu diperbesar. Atau adanya tambahan warung kopi di dekat masjid. Meskipun berubah, rest area ini mampu membangkitkan ingatan Brita berkat aroma yang masih sama. Ia benci ketika otaknya, yang entah memang berkemampuan atau sekadar halusinasi, mampu mengingat aroma-aroma begitu jelasnya.

Gadis itu menghela napas panjang. Tak ingin membiarkan kilas balik yang melintas di benaknya menyelinap masuk, mulutnya mulai angkat bicara.

"Mbak Bila nanti mau ke Indomei gak?"

"Kamu pasti mau beli sosis kejunya kan?"

Beberapa saat ke depan, pikiran Brita mulai kondusif berkat Abila yang pintar menjawab dengan berbagai topik menyenangkan. Antrian toilet yang padat tidak memutuskan celotehan kakak beradik terpaut 7 tahun tersebut. Barangkali adzan maghrib yang berkumandang menjadi alasan mengapa tempat ini amatlah ramai.

Tears of AdioreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang