Kala itu Brita berlari-larian, menggemakan tawa anak kecil ala kadarnya pada seisi halaman rumah Adi. Mentari dengan gagah menggantung di langit, angin bertiup cukup kencang, bunga-bunga di sekeliling halaman bermekaran sangat indah, dan tidak ada yang lebih menarik daripada berkibarnya helai-helai rambut gadis kecil diiringi langkah-langkah kecilnya. Semua yang disana tersenyum menatap gerak-gerik gadis bernama Bratari itu.
"Dik Taaa! Udah ah!" teriakan di belakang Brita tak gadis itu indahkan. Ia tetap berlari, meledek Kakaknya yang telah lelah mengejar.
"Ayoo tangkep aku, Mamaas!" seru Brita riang.
"Iih, Adik mah!"
Kedua anak kecil itu melanjutkan langkahnya, saling berlari. Yang satu berusaha menangkap sang adik, yang satunya lagi berusaha menghindari sang kakak.
"Britaa, udah yaa mainnya!"
Seruan lembut dari seorang pria tersebut mampu meghentikan derap langkah Brita. Ia meresapi suara yang memasuki saluran pendengaranya. Terasa asing, sekaligus familiar.
Tepukan di bahu Brita sontak mengarahkan badan kecilnya berputar ke belakang, mendapati sosok lelaki tinggi tersenyum manis disana. Kacamata kotak menghiasi paras rupawan lelaki itu, jangan lupakan lesung pipinya yang menambah kadar ketampanan di wajah tersebut.
Brita mengernyit, "A..yah..?"
Angga tersenyum, lantas ia menggendong samping putri bungsunya itu.
Brita tau, matanya melihat jelas bagaimana bibir Angga melisankan serangkaian kalimat. Namun ia tak mendengar sepatah kata pun dari Ayah, padahal kencangnya hembusan angin menerpa dedaunan di pohon dapat memasuki gendang telinga Brita.
"Ayah?" panggil Brita menggoyang-goyangkan bahu Angga.
Lelaki itu menolehkan wajah, nampak jelas bagaimana mata teduh itu menatap lurus putri manisnya. Angga tetap berucap, tetapi Brita tidak mampu mendengar.
"Ayah...Ayah ngomong apa?" tanya Brita bergetar.
Pandangannya mulai kabur akibat air mata yang mulai menggenang. Brita takut.
Ia melupakan suara Ayahnya. Bahkan dalam memori masa lalu yang melintas di kepalanya.
~!~
"Woi. Jadinya mau apa, Dik?"
Brita mengerjap-ngerjapkan mata. Sekejap ia melupakan mana dunia nyata dan imajinasinya. Yang kali ini ia lihat adalah wajah Bisma, bukan wajah Angga. Sial, lagi-lagi ia sempat terjerumus dalam ruang khayalnya.
"Bengong aja terus sampe kesambet," cibir Bisma, "jangan terlalu sering melamun, Brita. Tolong fokus dengan kehidupan sekarang, bukan dengan masa lalu yang ada di lamunanmu itu."
Gadis itu berdecih. Ucapan Bisma terasa menusuk tepat di inti hati Brita.
"Ayolah, jadinya mau apa? Nasi goreng atau kwetiau?" Bisma mengulangi pertanyaan pertamanya.
"Ah, nasi goreng aja deh Mas." jawab gadis tersebut pasrah.
"Yo wis, tunggu sini ya." pria berpakaian sekenanya itu segera meninggalkan ruang makan usai mendapat jawaban dari sang Adik. Langkahnya tidak selesai hingga tiba di garasi, lantas Bisma melajukan motornya menuju keberadaan tukang nasi goreng.
Sementara itu, senyapnya ruang makan mengakibatkan helaan napasnya sendiri dapat Brita dengar. Satu-satunya manusia yang menempati ruang itu menarik bangku, duduk manis di atasnya. Tadinya Brita ingin ikut ke tempat Bisma membeli nasi goreng, tetapi rasa mager lebih menguasai syaraf-syaraf tubuhnya. Alhasil ia tetap tinggal di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tears of Adiore
Fiksi Remaja"Sungguhan deh, Ta. Kalau kamu temanku, kamu udah kujaga." "Dijaga? Gimana maksudnya, Mas?" "Yaa, dijaga biar gak ada yang dapet selain aku." Seharusnya Brita sadar, ini kesalahan fatal. Benar-benar fatal. Tetapi Brita membutakan matanya akan dampak...