Chapter 7 - Drunk Call Dua Sulung

5 2 0
                                    

Bisma memijat-mijat keningnya. Beberapa kata ia ketik di laptop, tetapi tak lama dihapus. Kemudian diketiknya lagi, lantas dihapus lagi. Terus berulang hingga mungkin sudah puluhan kali. Matanya memang lurus menatao layar laptop, hanya saja pikirannya berlarian entah kemana. Sedari tadi ia tidak fokus mengerjakan tugas kuliahnya. Rasanya ia ingin dijemput Malaikat Izrail saja agar pikiran yang mengganggunya lenyap, selain itu ia tidak perlu mengerjakan semua tugas kuliahnya.

Duh, tapi kalau aku mati, Brita sama siapa. Batin Bisma kala pemikiran sesatnya melintas.

Merasa tidak sanggup mengerjakan tugas, Bisma menjauhi meja belajarnya. Ia melempar diri ke ranjang nan empuk yang senantiasa menunggu kedatangannya. Pada akhirnya Bisma sibuk scroll T*ktok, membiarkan tugasnya tertinggal. Lagipula masih ada hari esok, pikirnya.

Meskipun telinga dan matanya disuguhi video-video pendek dari aplikasi yang ia buka, pikirannya tidak berada disana. Seakan jika diusir menggunakan pengusiran cara manapun, apa yang mengganggunya tetap tidak hilang di kepala.

"Jancok, stres kulo, gusti." keluh Bisma berbicara sendiri. Bantal berbalut sprei abu-abu menjadi sasaran pembenaman kepalanya. Bisma harap apa yang ada di pikirannya tersalur ke dalam bantal, lalu tidak lagi hinggap di kepalanya.

Tidak berhasil. Bisma mengangkat kepalanya, mengambil napas panjang. Tangannya menjelajah ponsel, mencari nama-nama di kontak WhatsApp. Kira-kira siapa yang mau memedulikan ocehan mahasiswa jurusan bimbingan konseling pukul setengah dua belas malam begini?

Jarinya berhenti ketika menemui nama seseorang. Entahlah, feeling-nya mengatakan wanita itu saja yang mau menjawab Bisma mendekati tengah malam begini.

Naasnya jempol Bisma malah memencet tombol telepon. Lelaki itu panik bukan main. Hendak ditutupnya panggilan itu, tetapi terlambat. Telepon telah terangkat, dan suara wanita di seberang sana menyapa Bisma.

"Halo?"

Jancok malah diangkat pula, rutuk Bisma dalam hati. Sudah kejadian begini, lebih baik Bisma lanjutkan saja.

"Hehe." Bisma tidak bisa berkata apapun selain itu.

"Mabok kamu ya?" tawa renyah Laras menutup kalimat yang diucapnya.

Bisma ikut tertawa. Jam-jam segini memang rawan bertingkah aneh, karena biasanya yang menguasai diri Bisma bukanlah dia seutuhnya.

Jeda sebentar, Bisma lalu angkat bicara, "Kamu pernah stres gak, Ras?" Bisma tidak tau bibirnya menggiring topik pembicaraan kesana.

Belum ada suara lagi dari telepon. Semenit berlalu pun Laras tak kunjung menjawab. Bisma mengernyit, sepertinya pertanyaannya salah tadi.

"Ehng, maaf Ras, ak-"

"Mas Bisma lagi kenapa?" lirih Laras memotong omongan Bisma. "Stres sih pernah Mas. Kadang sampai mikir mau pergi yang jauh aja. Kabur dari rumah, ngekos gitu. Tapi kalau aku ngekos, nanti siapa yang bakal ada untuk Lingga di rumah? Siapa yang bakal masakin dia? Siapa yang bakal ngobatin dia kalau terluka? Siapa yang bisa bikin dia merasakan kenyamanan di rumah, Mas?"

Bisma membalikkan badan, memandang kosong langit-langit kamar, pikirannya berkelana berkat kalimat Laras. Dahulu ia sempat terpikir juga untuk ngekos, pergi jauh-jauh menghindari Billa. Namun Bisma ingat, ia punya Brita di rumah. Yang selalu tampil bahagia di depannya, yang selalu menjawab 'gapapa' jika Bisma tanya 'kenapa'. Walaupun Bisma tau Adik manisnya itu menyimpan seribu kesedihan selama jutaan purnama berlalu.

"Kenapa secapek itu ya jadi anak sulung?" suara Bisma terdengar parau.

"Hah... Aku bukan cuma anak sulung, Bisma." tawa getir Laras di penghujung kalimat terasa menyakitkan, "Aku juga anak-"

Tears of AdioreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang