Brita pernah bertanya-tanya, apakah langit tidak kelelahan miliaran kali mengubah warna dirinya demi penghuni yang ia naungi? Atau suatu waktu gadis itu bertanya, akankah udara tidak enggan mendekap raga yang tak bersisa ini demi memberitahu ia masih layak bertahan hidup?
"Ta? Kamu kok diam saja?"
Mobil sedan putih yang ditumpangi dua wanita muda terparkir manis di halaman rumah lawas bernuansa krem. Brita menyadari hal itu buru-buru mengembalikan fokus pikirannya begitu suara lembut Abila menyambar pendengarannya. Ah, benar, ia sudah tiba di tempat tujuan.
"Mbak?" keraguan terpancar dari sorot mata Brita.
Abila nampak mengerti, diusapnya surai panjang sang adik. Usai rasa yakin tersalur kepada gadis yang baru saja menginjak dewasa, keduanya turun dari mobil dengan langkah mantap. Angin malam bersenang hati menyambut kedatangan mereka, sukses membuat rambut berkilau Brita menari-nari hingga menghalau sedikit pandangannya.
Derap langkah beberapa orang dari kejauhan mulai terdengar mendekati mereka. Brita tidak peduli itu, ia berusaha menyibakkan rambut demi mengedarkan pandangan ke seantero halaman rumah kakek yang dipenuhi rumput jepang. Abila sudah melangkah jauh ke depan, meninggalkan adiknya di dekat mobil sendirian.
Rumah ini, halaman ini, rumput ini, udara ini, semua harumnya dapat Brita ingat betul meski keberadaannya sejauh ratusan kilometer. Brita memejamkan mata, berusaha mengusir sekelibat peristiwa yang mendobrak masuk pikirannya.
"Ta, yuk turunin barangnya. Biar dibantu mereka, nih."
Lagi-lagi suara lembut Abila selalu mampu mengusir segala hal buruk yang menghinggapi benak Brita, kembali terbuka mata Brita karenanya. Dia langsung disuguhi pemandangan kakak perempuannya berjalan mendekat didampingi dua lelaki yang sudah tidak asing wajahnya bagi Brita.
Langkah ketiga saudara itu berhenti tepat selangkah di hadapan Brita, lelaki yang paling kiri menyalaminya lebih dulu, "Kamu pasti capek, ya? Habis ini langsung tidur saja, kasur sudah pada siap."
Semerbak aroma mint menguasai indra penciuman Brita saat ia mendekap sejenak bahu lebar itu. Bahkan ketika dirinya bersalaman pula dengan lelaki yang satunya lagi, wangi segar bagai laut lepas yang sedikit menusuk itulah yang bergantian memasuki indra penciumannya.
Lantas aroma lembut woody yang tiba-tba menjenguk pernapasannya ini milik siapa?
Sekali lagi Brita bertanya, sopankah udara mendatangkan halusinasinya kembali melalui aroma yang tidak ingin lagi Brita hirup?
KAMU SEDANG MEMBACA
Tears of Adiore
Ficção Adolescente"Sungguhan deh, Ta. Kalau kamu temanku, kamu udah kujaga." "Dijaga? Gimana maksudnya, Mas?" "Yaa, dijaga biar gak ada yang dapet selain aku." Seharusnya Brita sadar, ini kesalahan fatal. Benar-benar fatal. Tetapi Brita membutakan matanya akan dampak...