"Habis kelayapan kemana lagi kamu?"
Deru napas Fathur terhenti sejenak. Ia kira sudah cukup pelan suara yang timbul ketika membuka pintu. Tapi Arya memang memiliki indra pendengaran tajam. Gagal lagi usahanya diam-diam menelusup masuk, karena lelaki yang amat ia hindari baru saja berdiri menghadang dirinya di balik dinding pembatas ruang tamu dan ruang makan.
"Les." Balas Fathur seadanya.
"Bohong." Sangkal Arya.
"Siapa yang bohong, sih?!" nada bicara Fathur meninggi.
"Kamu, Baskara Fathur!" Arya ikut meninggikan nada bicaranya.
Fathur memutar bola matanya. Ia akui kalimat Arya benar. Karena Fathur memang tidak les, ia habis menemani Brita ke makam lalu berkeliling kota hingga senja tiba. Tetapi ia pulang di jam lesnya selesai, seharusnya Arya tidak mengetahui kebohongannya.
"Papa tau darimana aku ga les?" tantang Fathur.
Arya menggebrak meja di sebelahnya keras-keras. "Kamu gak sadar kamu udah kelas berapa? 12, Fathur, 12! Tapi kerjaan kamu main terus? Kamu kira saya bakal bangga sama kamu?! Nilai kamu aja gak seberapa!" kalimat yang terlontar bukanlah jawaban dari kalimat Fathur.
Fathur berdecak, membuang muka dari sang Ayah. Dia muak, sungguh-sungguh muak. Tidak ada angin maupun hujan, ini yang kesekian kali Arya membentaknya. Lagi-lagi apa? Nilai. Seperti tidak ada pembahasan lain jika melihat wajah putranya ini.
"Papa itu terlalu dimakan asumsi Papa sendiri. Apa manfaatnya aku bohong ke Papa kalau aku les?" nada bicara Fathur berusaha lebih rendah, mencoba sabar menghadapi Ayahanda.
"Kamu pikir saya gak tau kamu habis main sama Brita?"
Anjing. Batin Fathur menggigit bibir. Siapa yang cepu kepada Ayahnya? Tidak mungkin Bisma, apalagi Brita. Kalaupun Billa, apa untungnya wanita itu memberitahu? Ah, tidak. Ia lebih kesal memikirkan kenapa Arya terus-terusan tidak puas akan semua nilainya. Memangnya pria itu tidak tau sudah seberapa keras usah Fathur karena hal itu?
Daripada mendengar lebih banyak ocehan Arya, Fathur menghentakkan kaki penuh emosi, selanjutnya melangkah pergi meninggalkan pria paruh baya tersebut. Urusan siapa yang memberitahu Arya biarlah berlalu.
"Lihat, mana sopan santunmu, Fathur? Saya tidak pernah mengajarkan begitu ke kamu, ya!" seru Arya menyusul Fathur. Anak lelakinya tidak tinggal diam, dipercepat langkahnya menuju kamar.
"Papa emang gak pernah ngajarin aku sopan santun, karena yang Papa ajarin ke aku itu harus dapet nilai tinggi biar diakui sebagai anak Papa, kan?" balas Fathur tanpa menoleh sekalipun ke Arya tak jauh di belakangnya.
Tiba di hadapan pintu kayu khas kamarnya, Fathur membalikkan badannya. Mendapati Arya telah dua langkah di depan dirinya, ia tersenyum sinis. "Kenapa diem, Pa? Karena ucapanku bener?"
Arya menggeleng, "Karena saya pikir, meskipun kamu dan Frida dari rahim yang sama, tapi anak saya hanya Frida. Saya mana pernah punya anak bernama Fathur?"
Napas anak SMA kelas akhir itu memburu, tangannya mengepal menahan amarah ketika nama Frida mengenai gendang telinganya.
Blam!
Fathur membanting pintu sekencang mungkin. Punggungnya bersandar pada benda kayu tersebut, akan tetapi kakinya lemas hingga lamat-lamat dirinya terjatuh di lantai, tak mampu menerima emosi yang menerjang jiwa raganya.
Frida lagi Frida lagi. Selalu tercantum nama Frida dalam kalimat menyakitkan dari Papanya. Sesempurna itu kah perempuan bernama Frida sampai-sampai Fathur tidak dianggap anak oleh Arya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Tears of Adiore
Teen Fiction"Sungguhan deh, Ta. Kalau kamu temanku, kamu udah kujaga." "Dijaga? Gimana maksudnya, Mas?" "Yaa, dijaga biar gak ada yang dapet selain aku." Seharusnya Brita sadar, ini kesalahan fatal. Benar-benar fatal. Tetapi Brita membutakan matanya akan dampak...