Chapter 4 - Ayahku Ubi, Thur

10 4 0
                                    

"Rei demam, Brit. Bunda gak punya waktu untuk nganter kamu. Emangnya kamu gak bisa berangkat sendiri? Pakai ojol aja sana."

Ucapan Billa tadi mengambrukkan semangat sekolah gadis berkacamata bulat yang sebelumnya tengah bergembira. Sepagian itu Brita hampir uring-uringan jika saja Bisma tidak buru-buru bangun, bersedia mengantar Adik manisnya ke sekolah. Syukurlah mood Brita dapat diperbaiki.

Bisma, masih duduk diatas motor yang terparkir di depan gapura gedung sekolah Brita, menepuk-nepuk bahu gadis berseragam putih abu-abu tersebut. "Jangan cemberut dong. Nanti kita belajar naik motor ya? Biar kamu bisa naik motor sendiri." hiburnya.

Brita tersenyum simpul. Mungkin Bisma tidak mengerti bukan perkara bisa naik motor atau tidak perkaranya. Tetapi gadis itu tetap mengangguk, mengiakan kalimat Bisma. Terkadang rasa malu terlintas di benaknya, anak SMA mana yang belum bisa mengendarai motor? Mungkin itu salah satu alasan Billa lebih menyayangi anak lain ketimbang dirinya.

Eh...masa iya begitu?

"Yaudah, ini mau sampai kapan di depan Mas terus? Jalanan mulai ramai, nanti Mas susah mutar balik motor." lamunan Brita dihancurkan teguran halus dari Kakaknya.

Tanpa berlama-lama, Brita masuk ke dalam area sekolah seusai mencium tangan lelaki bermotor hitam yang telah mengantarnya. Sia-sia saja ia mengharapkan Billa dapat mengantarnya ke sekolah, karena ternyata tetap Bisma yang senantiasa melakukan hal itu.

Gedung sekolah belum terlalu ramai ketika Brita memasukinya. Ini seminggu setelah MPLS selesai dan KBM mulai berjalan seperti biasa. Tandanya pulang sore juga satu-satunya opsi dalam keseharian. Belum lagi jika Brita mengikuti ekskul, akan lebih sore lagi waktu pulangnya.

"Wah, kamu dianter 'Mas Ganteng' lagi? Nanti pulang dijemput dia lagi gak?" rangkulan serta pertanyaan mendadak tentu mengejutkan gadis yang sedang berjalan santai di lorong sekolah. Sontak korban keterkejutan tersebut menoleh ke sumber suara.

Biar Brita beritahu. Dia memiliki satu teman setia, dan mereka satu sekolah sejak kelas 2 SD hingga kini 1 SMA. Itulah orang yang mengagetkan dirinya barusan. Ekspresi gadis berkacamata itu berubah 180 derajat saat mengetahui kedatangan Neva.

Brita menaik-turunkan alis sok genit, tersenyum menggoda. "Kalau mau jadi Kakak iparku mah ngomong aja, Vaa."

"Waduh, hehe. Pakai adat apa bagusnya, Ta?"

Gelak tawa pecah dari kedua bibir gadis di lorong sekolah tersebut. Lantas kalimat-kalimat lain terlontar, terangkai menjadi satu menciptakan suatu obrolan seru sampai-sampai keduanya tiba di ruang kelas.

"Ngomong-ngomong, kenapa aku gak bisa naik motor, ya, Va?" tanya Brita sembari menurunkan bangku.

"Kamu berapa kali belajar naik motor aja masih bisa dihitung tangan." Neva menjawab sambil melakukan kegiatan serupa dengan Brita di sebelahnya.

"Ya iya sih."  Brita nyengir, terduduk usai bangku telah berpijak diatas lantai, "Masa tadi Bunda nyuruh aku berangkat sendiri, padahal semalam dia janji mau nganterin aku." sambungnya.

Neva menatap mimik muka nanar Brita ikut duduk di sampingnya. Gadis itu tau betul apa yang terjadi pada Brita selama 7 tahun terakhir. Karena ia termasuk salah satu saksi kehidupan Brita.

Gadis berambut pendek itu mengacak-acak rambut Brita, berusaha menghibur dengan caranya sendiri. "Gini Ta. Ada yang bilang kalau berharap sama manusia itu taruhannya kecewa." Ucapnya sok bijak.

Brita tertawa miris, "Kayaknya aku emang salah berharap lagi ke Bunda." tuturnya lirih.

Dalam sepersekian detik sorot mata nanar milik Brita berganti lebih riang. "Kalau gitu kamu juga salah berharap jadi Kakak iparku. Emang kamu mau punya suami yang yatim tapi Bapaknya banyak?" canda Brita setengah tertawa.

Tears of AdioreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang