Mama keluar dari rumah sakit dua hari yang lalu, tapi dua hari ini juga rumah menjadi sangat ramai. Ada saja yang datang ke rumah untuk menjenguk Mama. Dapur tiba-tiba jadi penuh makanan karena setiap yang datang pasti membawa sesuatu. Untungnya di rumah ada Mbok Lastri yang membantu membuatkan minum untuk tamu.
Papa terlihat muncul di dapur, lewat pintu belakang. Setelah melepas boots dia duduk di sebelahku yang sedang membantu Mbok Lastri memotong wortel.
"Di lapangan deket balai desa lagi ada pasar malam. Banyak orang jualan," cerita Papa tiba-tiba.
Aku yang tidak tertarik hanya mengangguk.
Papa kemudian mengeluarkan dompet dari celananya, dia kemudian menyodorkan dua lembar seratus ribuan kepadaku. Aku menatapnya bertanya-tanya untuk apa uang itu dia berikan padaku.
"Papa udah bilang ke Dani buat nemenin kamu ke sana."
Dahiku berkerut. Daripada pergi ke pasar malam untuk mencari hiburan, lebih baik kembalikan ponsel atau laptopku saja karena aku lebih butuh hiburan dari dua benda tersebut.
Tapi... Ya boleh juga sih kan aku nggak ada hiburan di rumah.
"Papa bilang ke Dani jam berapa?" tanyaku sok tidak peduli tanpa menatapnya.
"Jam tujuh," jawabnya. Kemudian dia menambahkan, "Itu buat jajan sama Dani."
Aku menahan tawa karena terlihat seperti anak kecil yang mau pergi main bersama temannya kemudian diberi uang saku.
Aku jadi teringat saat aku masih sekolah, yang selalu memberi uang saku itu Mama. Papa tidak pernah memberiku uang saku karena memang hal itu sudah dipasrahkan ke Mama. Mamaku bukan orang pelit, uang sakuku pada jaman sekolah selalu diberi lebih, bahkan kalau ada rencana pergi bersama teman pun pasti diberi lagi double.
Setelah orangtuaku pindah ke Boyolali, barulah Papa yang setiap bulan memberiku uang bulanan. Dan baru kali ini Papa memberiku uang jajan secara langsung seperti ini. Biasanya ini tugas Mama, kalau Papa dulu lebih sering membelikan aku barang atau sesuatu yang aku minta atau aku butuhkan, yang jelas bentuknya bukan uang.
Mungkin Papa tahu kalau aku sedang tidak punya uang, tapi diam karena biasanya tugas memberi uang itu milik Mama. Sekarang kan Mama dan aku hubungan masih kaku.
Bertengkar dengan Mama memang seperti ini, butuh waktu yang cukup lama untuk kembali seperti semula. Berbeda dengan Papa yang kalau hari ini marah, besoknya dia sudah lupa. Tapi kami bertiga punya kesamaan kalau sedang marahan, tidak ada yang akan meminta maaf, kalau baikan ya baikan saja. Tiba-tiba jadi berbicara dengan satu sama lain, seolah-olah kemarin tidak bertengkar. Selalu seperti itu.
Dan sampai hari ini juga masih seperti itu.
Ya... mungkin itu juga yang membuat aku jadi orang yang tidak punya ampun ke orang-orang yang bermasalah denganku.
***
Dani menjemputku sekitar setengah delapan malam. Sampai lapangan balai desa, deretan motor-motor terparkir di jalan pinggir lapangan. Aku pikir tidak terlalu ramai, ternyata ramai sekali. Musik yang berbeda dari setiap tenda bercampur menjadi satu membuat suasana semakin ramai.
Yang aku lihat pertama kali dari pasar malam itu adalah bianglala menurutku tidak besar. Aku dulu pernah naik yang lebih besar waktu di Jakarta.
"Rame juga ya?" gumamku kepada Dani yang sedang membayar parkir.
"Aku juga baru pertama ke sini, Mbak. Padahal setiap tahun ada loh," cerita Dani.
Aku melangkah duluan ke lapangan, deretan stan penjual baju menyambutku. Dani berjalan di belakangku sambil memainkan ponselnya. Aku hanya berjalan sambil mengedarkan mata ke sekelilingku, mengamati sekilas ramainya pasar malam ini dengan orang-orang yang sibuk tawar menawar, anak-anak kecil berlarian, pasangan mudah yang sedang pacaran, dan aneka penjual di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Clumsy Sisi
RomanceMama bilang kalau menantu idamannya itu harus PNS. Kalau usaha peternakan yang diwariskan oleh orangtuaku bangkrut, paling tidak masih ada suami yang punya penghasilan tetap dan stabil. Dan Ayash adalah nama laki-laki pilihan orangtuaku. Katanya, Ay...