"Gusti, sebentar lagi kita tiba di tempat tujuan."
Tepukan pelan sebanyak dua kali di bahu Ranu sudah lebih dari cukup untuk membangunkannya. Sudah berapa lama Ranu tertidur? Rasanya baru sejenak ia terpejam. Ranu menggosok mata dengan punggung tangan agar kesadarannya kembali dengan cepat. Ia mengernyit saat keningnya bergesekan dengan kelim pakaian luar yang lembut, seperti terbuat dari beludru. Ranu tahu betul tekstur kain tersebut—bahkan tanpa melihat lebih dulu—dari ingatan masa kecilnya saat harus mengenakan beskap dan bersimpuh di hadapan sang raja selama beberapa jam saat upacara adat di Pendopo Adiluhung Karesidenan Magelang. Tekstur tersebut seolah membangkitkan kembali memori masa kecil Ranu yang menyenangkan, sebelum badai datang.
Tetapi, tunggu dulu!
Bukankah tadi pagi saat berangkat dari tempat indekos, ia mengenakan jaket parka?
Ranu lekas menegakkan punggung dan seketika mengaduh kesakitan karena puncak kepalanya membentur bagian atap kereta yang rendah. Ranu memandang sekelilingnya yang temaram karena ketiadaan sumber cahaya selepas senja. Hanya ada sebuah lampu minyak yang tergantung di luar kereta untuk menerangi jalan. Bukan, ini bukan kereta. Bukan pula gerbong restorasi kereta api Sancaka yang tadi ditumpanginya sebelum ketiduran.
Ranu berada di dalam delman yang ditarik manual dengan dua ekor kuda dan seorang sais. Di sampingnya, duduk seseorang memakai surjan lurik dengan corak kuno dan warna yang memudar, mengingatkannya akan pakaian yang selalu dikenakan oleh Pak Soemardjo ketika ia masih tinggal di rumah. Beliau terlihat panik melihat kejadian nahas tersebut dan dengan sigap mengeluarkan secarik sapu tangan dan digunakan untuk mengusap puncak kepala Ranu.
Dalam benak Ranu masih berkabut. Banyak hal ganjil dan tidak masuk akal yang menggantung di ujung lidahnya, menanti diutarakan. Dia di mana? Siapa pria di sampingnya? Mengapa tadi sayup-sayup ia mengingat panggilan 'Gusti' yang ditujukan padanya sebelum dia terbangun? Tiba-tiba kepala Ranu terasa pening. Ia membenamkan wajah ke balik telapak tangan, berharap ini cuma bermimpi.
Mimpi. Tentu saja! Ia pasti sedang bermimpi. Ranu mengangkat wajahnya lalu mengamati pakaian yang melekat di tubuhnya. Ia mengenakan bawahan kain bermotif parang curigo dengan atasan beskap sikepan warna hitam dan putih. Tidak boleh ada yang mengenakan batik parang dengan motif apa pun, selain raja, permaisuri, dan keturunan mereka. Kepala Ranu terasa berdenyut nyeri akibat benturan tadi. Ia menyadari jika kepalanya tidak mengenakan blangkon, sebab itu kepalanya langsung bertumbukan dengan atap berbahan kayu Jati Belanda yang keras.
Bukankah di dalam mimpi kita tidak bisa merasakan sakit?
Pandangan kosong Ranu terus tertuju pria paruh baya di sampingnya yang masih mengusap kepalanya dengan telaten. Beliau tampak heran dengan sikapnya barusan, seolah Ranu lah satu-satunya keanehan di sini. Ranu menghela napas berat. Jangan panik, jangan menimbulkan kegaduhan yang akan menarik perhatian orang-orang sekitar, rapalnya dalam hati. Tidak ada yang bisa melukainya di dalam mimpi, begitu yang pernah Pak Soemardjo katakan setiap kali Ranu mengalami mimpi buruk saat kecil dulu. Ini cuma sementara, jadi dia harus mengikuti alurnya hingga waktu terbangun nanti.
Pandangan Ranu melunak, berpura-pura menjadi ningrat bukanlah hal sulit baginya. Dari dulu, ia selalu membayangkan bagaimana rasanya menjadi putra raja seperti Kanjeng Gusti Pangeran Ganendra atau Harit, setiap kali mereka berpapasan di pendopo keraton Karesidenan Magelang. Mereka berdua mungkin tidak mengenal Ranu, sebab dia merupakan kerabat yang jauh sekali dan mereka hanya bertemu beberapa kali dalam setahun; yaitu pada saat kirab di malam pergantian tahun baru Jawa, malam sekaten untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, dan upacara Grebeg yang diselenggarakan tiga kali dalam setahun, yaitu pada bulan Sawal, Mulud, dan bulan Besar. Selain itu, tidak ada alasan lain yang bisa membuat Ranu bisa bertemu mereka kembali. Kini, setelah ia kabur dari rumah tujuh tahun lalu, peluangnya untuk bertemu para pangeran di keraton semakin mendekati nol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afscheid
Historical FictionDalam perjalanan pulang ke Magelang untuk menghadiri pemakaman ayahnya, almarhum GRT Hardjiman Suryadi Kartasasmita, BRM Ranu Bimantara Gandi Prabaswara tiba-tiba saja terlempar ke masa lalu pada era kolonialisme Belanda, di mana dia menjadi seseora...