TIGA: Om Mijn Vader te Ontmoeten

113 26 11
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Belum sempat Ranu bereaksi terhadap pengakuan tersebut, terdengar suara keributan dari luar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Belum sempat Ranu bereaksi terhadap pengakuan tersebut, terdengar suara keributan dari luar. Seorang pria paruh baya merangsek masuk ke dalam pesta tanpa diundang. Matanya nyalang mengitari seluruh penjuru ruangan sebelum akhirnya berhenti pada sesosok gadis yang mematung di tengah area pesta yang mendadak senyap, sebab musisi kuartet berhenti memainkan instrumen mereka. Semakin pria tersebut berjalan mendekat dalam langkah lebar, jelas wajahnya kian terlihat di pandangan Ranu.

Jantung Ranu mencelus.

Bapak.

Tentu saja laki-laki tersebut bukan bapaknya yang sekarat di rumah, tetapi raut wajah pria tersebut jika disunting dengan filter penuaan minimal sepuluh tahun ke depan, kumis tebal dan uban yang mencuat di sana-sini akan terlihat semakin identik dengan Bapak Ranu di rumah, Gusti Raden Tumenggung Hardjiman Suryadi Kartasasmita. Pria tersebut menghampiri saudara sepupu Ranu—bukan, Adiwilaga—menggengam rambut Ratnamanika yang tergerai kemudian menjambak kuat-kuat.

"Aakh, Romo!" jerit Ratnamanika kesakitan.

"Dasar anak nggak tahu diri!" teriakan menggelegar pria tersebut memecah keheningan yang telah tercipta sejak kedatangannya. "Pulang sekarang juga! Jangan bikin malu keluarga kita. Bikin malu Bapak!" Terdengar pekikan Ratnamanika yang kedua kali ketika topi yang menutupi kepalanya dicabut secara paksa oleh sang bapak. Kedua kaki Ranu refleks membawanya mendekat. Secara temperamen, beliau tidak ada bedanya dengan Bapak Ranu, sepanjang yang bisa diingatnya. Melihat kejadian ini di depan matanya, seolah mengingatkan Ranu kembali pada masa mudanya sebelum ia kabur dari rumah. Kali ini, Ranu tidak akan membiarkan pria tersebut melakukan kekerasan pada wanita. Terutama jika usianya mungkin belum genap delapan belas tahun dan gadis itu merupakan saudara sepupunya.

"Mohon maaf ... Gusti kalau saya tidak sopan, tetapi tolong berhenti." Ranu tidak tahu harus memanggil apa pada bapak Ratnamanika—jika informasi yang didapatnya dari Jansen benar, maka pria ini adalah calon mertuanya. Haruskah Ranu memanggilnya dengan sebutan yang lebih akrab, sebab mereka memiliki hubungan saudara? Namun, jika rencana pernikahan Adiwilaga dan Swastika ditentukan lewat perjodohan, bisa jadi mereka tidak benar-benar cukup akrab, mengingat relasi kekerabatan yang boleh dinikahkan satu sama lain tidak boleh berasal dari satu garis keturunan. Minimal harus melewati dua persepupuan, jika menilik aturan keraton pada era Ranu di masa depan. Mengingat ia terlempar pada era lebih dari 200 tahun ke belakang, peraturan tersebut belum tentu sama.

AfscheidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang