01 : Dengan Sejuta Harapan

4K 625 102
                                    

Nando tidak tahu mengapa sang ibu masih berada di kamarnya meski waktu sudah menunjuk tengah malam. Milka, ibunya, duduk di sofa kamar masih dengan mengenakan mukena setelah melaksanakan sholat tahajud. Namun, Nando tidak mengerti mengapa malam ini, Milka malah sholat di kamarnya.

"Siapa?" Milka bersuara sembari melipat kaus sang putra yang berserakan di sofa. Dia menoleh, menatap Nando yang duduk di tepi ranjang. "Siapa orangnya? Kok nggak bilang ke Mama kalau kamu punya pacar lagi?"

Nando terdiam sejenak. Sejak kapan Milka tahu soal statusnya yang sudah tidak lagi sendiri? Bahkan dia tidak pernah menyinggung pembahasan mengenai pasangan di depan sang ibu.

"Mama sedih, lho, kalau kamu nggak mau kasih tahu." Milka tersenyum tipis. "Mama juga pengin kenal sama perempuan yang udah bikin anak Mama senang."

"Mama tahu dari mana aku udah punya pacar?" tanya Nando, seraya bangkit dari tepi ranjang dan melangkah ke sofa.

"Feeling?" Milka tersenyum seraya mengusap bahu Nando yang kini telah ikut duduk di sofa. Dia membelai pipi putra semata wayangnya dengan lembut. "Siapa?"

Nando menatap wajah sang ibu cukup lama. Tentu saja keraguan mendominasi perasaan pria itu untuk menjawab, tapi raut lembut dan tenang dari wajah Milka membuat keraguan Nando terkikis.

"Tasya, Ma. Aku pacaran sama dia sekarang," sahut Nando, pelan. "Iya, Tasya yang Mama yang kenal, sepupunya Janu."

Usai mengatakan yang sejujurnya pada sang ibu, Nando dapat menyadari perubahan terjadi pada raut wajah Milka. Senyum wanita itu memudar perlahan, belaian lembut pada pipinya terlepas. Nando ingin memberikan penjelasan lebih lanjut, tapi urung kala dia melihat raut wajah sang ibu yang semakin lama semakin mengeras.

"Kamu mau menikah dengan Tasya?"

Nando menggeleng. "Belum, Ma. Kita baru—"

"Harus Tasya yang mualaf." Milka bersuara lagi dengan lebih tegas, membuat Nando sontak terdiam. "Atau kamu cari perempuan lain."

Nando termangu. Perkataan Milka langsung membuat seluruh tubuhnya mati rasa seketika. Nando ingin berbicara, tapi tiba-tiba mulutnya tak bisa bersuara. Dia ingin bergerak saat Milka beranjak dan melangkah untuk keluar dari kamar, tapi kaki dan tangannya kaku.

Jantung Nando berdebar cepat begitu kegelapan menyergap saat Milka menutup pintu. BAM! Nando menarik napas dalam-dalam, matanya langsung terbuka.

Mimpi? Nando mencoba menggerakan tangan dan semua normal. Matanya mengitari langit-langit dari tempatnya tidur. Dia masih di apartemen, bukan di rumah.

"Udah bangun?"

Nando sontak menoleh, dia menemukan Tasya duduk di sebelah kepalanya. Pria itu reflek mengelus dada yang terasa berdebar. Berarti kehadiran sang ibu benar-benar hanya mimpi, hanya sebuah bunga tidur. Sebab, Tasya masih berada di sampingnya, tengah memakan ramen sambil menonton TV.

"Kamu tidur pulas banget," kata Tasya, seraya menaruh mangkuk di meja.

"Iya, sampai mimpi," sahut Nando. Dia beranjak untuk merebahkan kepalanya di pangkuan Tasya sambil menghadap badan sofa. Satu tangannya melingkar di pinggang gadis itu.

Mimpi tadi terlampau nyata. Nando bahkan masih terbayang dan dapat mendengar perkataan sang ibu dengan jelas. Sulit untuk tidak mengakui kalau dirinya terganggu dengan mimpi barusan.

"10 menit lagi buka puasa tahu," kata Tasya.

"Tahu dari mana?" Nando mendongak.

"Itu pengetahuan umum kali!" seru Tasya, seraya mendorong bahu Nando. "Udah sana siap-siap."

Chance For UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang