"Gue mau nikah sama Lika."
"Fuck!" Nando hampir saja menumpah kopi yang hendak diminum, segera ia menatap sahabatnya yang duduk di seberang meja. "Lika hamil?"
Janu berdecak keras. "Nggaklah! Gila kali gue."
"Habisnya mendadak banget kayak tahu bulat." Nando mengambil tisu untuk menyeka bibir. Sekilas ia merasa lega dengan jawaban Janu. "Emang kapan rencananya?"
"Desember."
"Tahun depan?" tanya Nando.
"Tahun ini."
Satu umpatan nyaris keluar dari mulut Nando, tapi berhasil ia tahan. Terlalu banyak kejutan dari sahabatnya yang satu itu belakangan ini. Tiba-tiba pacaran sama model papan atas, tiba-tiba putus, tiba-tiba balikan, tiba-tiba mau menikah. Seakan penantian kosong Janu selama tujuh tahun lalu digantikan dengan jutaan kejutan dari Tuhan.
"Belum banyak yang tahu, termasuk Tasya. Cuma keluarga inti gue dan Lika, serta lo," ujar Janu.
Nando melirik ingin tahu. "Kenapa lo kasih tahu gue duluan?"
"Ya, biar lo nggak ngambek kayak waktu itulah," sahut Janu.
"Babi lo!" seru Nando. Geli sendiri rasanya mengingat momen tersebut. Sebenarnya dulu Nando bukan merajuk, melainkan terlalu terkejut saat tahu Janu berpacaran dengan sosok wanita yang sebelumnya sangat dihindari pria itu.
Janu terkekeh. "Habis gue nikah, terus lo, ya, Do. Biar Tasya berhenti main Tinder dan cari yang serius karena kita berdua udah nikah."
Nando reflek tersenyum, masam. Sampai saat ini, dia dan Tasya masih belum berani jujur pada Janu. Ada ketakutan dan rasa bersalah yang menghantui pria itu, membuat Nando semakin mengulur waktu untuk cerita pada Janu.
Sungguh Nando ikut berbahagia mendengar Janu akan menikah dengan sang pujaan hati. Namun, di sisi lain dia juga turut mengasihani diri sendiri karena ucapan Janu barusan terdengar sangat konyol dan barangkali nyaris mustahil.
"Sorry, sorry. Gue lupa lo juga jomblo," ujar Janu.
Nando berdecak. "Sialan lo!"
"Lagian kenapa muka lo tiba-tiba muram gitu, sih?"
"Nggak." Nando membenarkan posisi duduk. "Gue itu cuma kaget sekaligus senang dengarnya."
Janu tersenyum. "Thanks. Gue juga nggak nyangka bisa ada di titik sekarang setelah hopeless bertahun-tahun."
"Semoga masa hopeless gue bisa membuahkan hasil semanis lo," kata Nando, seakan bermonolog.
"Kenapa?" Janu memajukan kepala karena tak mendengar jelas ucapan Nando.
"Hah?" Nando seperti baru tersadar dari lamunan. "Nggak apa-apa. Terus gimana rencananya? Udah sampai mana?"
Janu langsung menghela napas panjang seraya bersandar di kursi kebanggaanya. "Sejujurnya gue pusing, Do. Kita baru prepare, tapi kepala gue udah penuh. Nggak nyangka sebanyak itu yang harus disiapkan."
Nando terkekeh. "Semua tradisi lo embat?"
"Udah pastilah," Janu memijat pelipis sekilas. "Nyokap gue pengin semua, Lika juga seneng-seneng aja. Gue kira cuma sangjit, pemberkatan, resepsi terus selesai. Ternyata masih ada tea pai, liauw tiaa, belum lagi resepsi di Singkawang, Lika juga pengin after party sampai subuh katanya."
Tawa Nando pecah. "By the way, liauw tiaa apaan?"
"Pesta bujang."
"Anjir!" Nando semakin terpingkal-pingkal. "Gue, sih, yakin Lika bakal menikmati semua rentetan acara itu, tapi lo? Kalau sampai pingsan, gue nggak bakal heran."
KAMU SEDANG MEMBACA
Chance For Us
Romance"Jadi, lo atau dia yang log out?" Itu adalah pertanyaan yang tak pernah mampu Nando dan Tasya jawab. Keduanya saling mencintai dan saling menginginkan. Namun, mereka tetap berbeda. Dinding tak kasatmata di antara mereka terlalu besar dan tinggi, sul...