Happy reading:)
Rumah milik Jeno kini semakin membaik dari bulan ke bulan. Awalnya rumah kecil dan jelek itu tak nyaman sekali tapi karena hasil upah kerja kerasnya, Jeno bisa membeli beberapa perabotan dan barang-barang yang ia perlukan.
Ruang depan tampak luas dan bersih. Di sudut kanan terdapat kasur dengan seprai berwarna cream bersama nakas di sampingnya. Satu meter dari pintu tersaji meja bundar yang dikelilingi oleh beberapa bantal duduk yang berwarna warni. Untuk lemari, Jeno tak membelinya, ia lebih memilih membeli kerangka lemari gantung karena pakaiannya tak terlalu banyak.
Di bagian belakang terdapat dapur dan kamar mandi. Rumah Jeno sekarang terasa nyaman dan hangat. Tetapi berbeda dengan penampilan luar rumahnya. Jeno tak ada niatan sama sekali untuk memperbaiki atau setidaknya merapikan atap dan dinding bagian luar rumahnya.
Ia pernah mendengar sebuah quotes.
'Jangan menilai sesuatu dari covernya'
Jeno menerapkan kalimat itu. Dari luar orang-orang mungkin menganggap remeh rumahnya dan tak ingin berkunjung sama sekali padahal si pemilik rumah merawat rumah itu agar terasa nyaman.
Hari ini ia kembali pulang dengan membawa beberapa gulungan wallpaper untuk menghiasi dinding rumahnya. Setelah membersihkan diri Jeno mulai menempelkan wallpaper bercorak daun-daun warna cokelat yang berguguran di dinding.
Butuh waktu yang lama untuk menyelesaikannya. Jeno menyeka keringat yang mengalir di dahi lalu memandang puas pada dinding yang sudah terlapisi wallpaper hingga kesan nyaman dan hangatnya semakin bertambah.
Sudah tiga tahun ia hidup di rumah ini. Walau rumah ini tidak sebesar rumah yang mengekangnya dulu, rumah ini mampu membuatnya merasa nyaman dan bebas.
Matahari datang terlalu cepat, mau tak mau Jeno membuka matanya. Perlahan ia terduduk untuk mengumpulkan nyawanya. Dilihatnya jam dinding yang menunjukkan angka delapan. Baginya itu cukup pagi untuk memulai aktivitas.
Karena tak mungkin Jeno kembali tidur, ia memutuskan membersihkan rumahnya sebelum mandi. Banyak hal yang ia lakukan agar tak bosan. Dilihatnya lagi jam dinding, masih tersisa satu jam sebelum ia berangkat bekerja.
Dengan topi yang melekat di kepala juga tangan yang memegang roti lapis buatannya, Jeno keluar dari rumahnya. Kemudian ia melewati trotoar yang menjadi pembatas antara jalan raya dengan hamparan pasir putih.
Suara deru ombak yang indah itu menggelitik telinganya. Senyumannya timbul bersama netra yang fokus memandang laut biru yang meninggalkan kesan indah sekaligus misterius.
Sinar matahari yang terik itu tak akan mengganggu fokusnya mengagumi alam yang menjadi pemandangannya sehari-hari karena topi hitam yang ia pakai.
Usai melahap habis roti lapisnya, Jeno kembali berjalan di atas pasir putih itu. Tak terasa kedai milik Irene berada di hadapannya. Lantas ia masuk dengan senyuman manisnya.
"Oh, Jeno, kau sudah datang?" Tanya Irene yang terlihat membawa satu bak penuh dengan kerang.
"Iya Nuna, aku akan membantumu." Setelah memakai apron miliknya, Jeno menghampiri Irene dan membantu wanita itu membersihkan kerang.
"Nanti kau akan mempunyai rekan kerja, ajari dia dengan baik." Ujar Irene.
Jeno hanya tersenyum lalu mengangguk.
*
*
*
*
*"Ahjumma! Aku datang!" Suara lengkingan seorang pemuda dengan wajah manisnya menyapa telinga semua orang di sana. Beruntung hanya ada empat pelanggan yang nampak tak terganggu.
"Sudah berapa kali ku bilang, panggil aku Nuna Haechan! Aku kakak sepupumu bukan bibimu!" Irene mengomel atas panggilan yang dilontarkan oleh adik sepupunya itu.
Dengan raut mengejek pemuda manis bernama Haechan itu menyahut, "tapi kau sudah menikah, sudah seharusnya kau dipanggil Ahjumma."
Irene merengut kesal lalu bertolak pinggang. "Kalau begitu, kau pulang sana! Aku tak menerima dirimu bekerja di sini."
Lantas Haechan menyatukan kedua tangannya memohon. "Ah tidak, aku bercanda Nuna, kau tau, aku hampir gila karena membutuhkan uang."
"Hanya untuk membeli koleksi tak berguna mu itu?"
"Hey, Nuna tak tau jika itu sedang trend di kalangan anak muda."
"Aish, sudahlah. Sekarang kau bisa mulai bekerja dan sapalah teman rekan kerja mu ini." Usai mengucapkan itu Irene pergi ke dapur.
Atensi Haechan terarah pada Jeno yang berdiri memperhatikan sejak tadi di balik meja pemesanan. Lantas kakinya mendekati pemuda itu.
"Halo, aku Lee Haechan." Ucapnya sambil mengulurkan tangan.
Tangannya disambut bersama senyuman manis milik Jeno.
"Aku Lee Jeno, salam kenal."
Sejenak Haechan terpana dengan Jeno. Senyumannya yang manis sangat sempurna dipadukan dengan wajahnya yang tampan.
"Kau sangat tampan Jeno, aku merasa tersaingi." Haechan mengucapkannya dengan nada iri tapi Jeno tau itu hanya bercanda.
"Kau harus tingkatkan lagi kepercayaan dirimu jika benar-benar merasa tampan." Balas Jeno.
"Baiklah, anggap saja ini pujian satu sama lain untuk memulai pertemanan."
"Kita berteman?" Tanya Jeno memastikan.
"Tentu saja, kau tau? Banyak sekali yang ingin berteman denganku tapi tak semuanya bisa menjadi temanku."
"Ah, aku harus merasa beruntung, bukan?"
Haechan mengangguk dan hendak membalas tapi teriakan Irene membuatnya kembali kesal.
"Haechan! Kenapa kau malah asik mengobrol dengan Jeno?!"
"Kau sangat menyebalkan Nuna." Gumam Haechan yang masih didengar Jeno.
Jeno tertawa kecil, "baiklah, dari pada menggerutu seperti itu kau bisa membantu Nuna di belakang lalu mengantarkan makanan ke pelanggan." Kemudian Jeno menyodorkan sebuah apron baru kepada Haechan.
"Ah baiklah." Haechan pun memakainya sembari melangkah masuk ke dapur.
- His Smile -
KAMU SEDANG MEMBACA
His Smile | NCT Dream ✓
FanfictionMereka datang untuk menceritakan masalah mereka kepada Jeno. Jeno tidak pintar tapi pikirannya yang terbuka mampu memberikan solusi. Lantas mereka berterima kasih dan berteman dengan Jeno. Tapi kenapa tak ada satu pun dari mereka yang menanyakan apa...