(08) Pelanggan yang Butuh Teman

25 5 1
                                    

Happy reading:)










Seharusnya Jeno mendekam di rumahnya bersama selimut tebal yang akan menghangatkannya. Alih-alih begitu, saat ini ia sedang menyusuri hamparan pasir putih yang terlihat jingga akibat terpaan cahaya senja.

Berbekal mantel tebal warna abu-abu miliknya ia nekat memandangi laut yang menenggelamkan matahari di musim gugur yang dingin ini.

Lantas Jeno berjongkok untuk memperhatikan sebuah kerang putih yang cantik. Ia mengambilnya lalu kembali berdiri. Jeno hendak melempar kerang itu ke laut tapi tiba-tiba ada yang berbicara kepadanya.

"Permisi."

Pandangannya mendapati seorang laki-laki dengan postur tubuh yang pendek. Jeno mengira jika laki-laki di sampingnya ini adalah bocah yang ingin menanyakan keberadaan orang tuanya.

"Ada apa?"

Dengan tangan mungilnya laki-laki itu menunjuk sebuah rumah di ujung trotoar pantai.

"Apakah kau tau siapa pemilik rumah itu?"

Jeno memunculkan senyumnya. "Aku sendiri, kau sedang ada masalah?"

Laki-laki itu terdiam sejenak sebelum menjawab, "tidak ada, hanya saja..."

"Ayo masuk dulu ke rumahku, kau pasti kedinginan."

Keduanya pun melangkah bersama menuju rumah kecil Jeno. Dibukakannya pintu oleh si pemilik dan mempersilakan sang tamu untuk masuk. Segera Jeno menyiapkan teh hangat kemudian disajikan pada laki-laki pendek yang sudah duduk di kursi.

"Aku Lee Jeno, siapa namamu?" Ucapnya seraya mengulurkan tangan.

"Renjun." Jawabnya dengan menyambut tangan Jeno.

"Berapa usiamu? Maaf menanyakannya, aku merasa lebih tua darimu." Jeno bertanya seperti itu karena jika memang laki-laki di depannya itu lebih muda harusnya memanggil dirinya 'kakak'.

"Aku berada di kelas akhir, berarti usiaku 18 tahun."

Jeno sedikit tak percaya, laki-laki di depannya ini lebih mirip bocah SMP dengan postur tubuhnya yang pendek dan kecil itu.

Laki-laki bernama Renjun itu memicingkan matanya, "kau pasti mengira jika aku adalah seorang bocah, kan?"

Jeno tertawa kecil, "maaf, habisnya kau itu pendek, makanya minum susu yang banyak."

"Jika ditakdirkan menjadi pendek, mau minum susu sebanyak apapun, tak akan bisa tinggi." Balas Renjun kemudian meneguk teh buatan Jeno.

"Ya, itulah takdir, satu-satunya hal yang tak bisa diubah oleh manusia."

Rasa manis yang tak kentara membuat Renjun menyukainya hingga hampir tandas. Setelahnya ia menatap Jeno yang sedari tadi memperhatikannya.

Dengan alis terangkat Jeno bertanya, "jadi apa masalahmu Renjun?"

Renjun menghela napas, "sudah ku bilang tidak ada, hanya--"

"Hidup itu tentang masalah Jun, jika satu masalah sudah selesai maka masalah lain akan datang, dan terus seperti itu hingga akhirnya mati."

Ucapan Jeno membuatnya terdiam.

"Jika tak ada masalah, kau tak mungkin menghampiriku."

"Asal kau tau, aku belum selesai bicara tadi dan kau seenaknya memotong begitu saja!" Kesal Renjun. Belum menceritakan apapun tapi ia sudah diceramahi.

Jeno terkekeh karena Renjun yang sedang kesal itu lucu di matanya. "Maafkan aku, sekarang kau bisa cerita."

"Aku butuh teman. Dipikir-pikir hidupku memang sesepi itu. Aku tak ingat kapan terakhir kali ada yang berjalan bersamaku dengan tulus di tujuan yang sama."

"Memang tak ada yang berteman denganmu?" Tanya Jeno dengan mengangkat sebelah alisnya.

"Sebenarnya aku bisa sih mengajak berteman duluan tapi seluruh murid di kelasku mengidap introvert, mereka juga terlihat enggan berteman denganku."

"Kan kau bisa berteman dengan selain murid sekelasmu?"

Perlu diketahui jika Renjun ini termasuk orang yang mudah terpancing emosinya.

Dengan tatapan kesal ia menjawab, "aku juga introvert! Mana bisa aku sok asik begitu!"

Melihat pelanggannya itu emosi, Jeno jadi gelagapan. "Ah iya juga, jadi apa yang bisa ku bantu?"

Mendengarnya emosi Renjun semakin menjadi, "kau tak mendengarkan ya?! Kan aku tadi bilang aku butuh teman!"

Sambil meringis Jeno berucap, "iya aku minta maaf, jangan mengamuk hey!"

Renjun berusaha meredakan emosinya. Lantas ia meneguk kembali tehnya yang sudah dingin hingga tak tersisa. Setelahnya ia bertemu tatap dengan si pemilik rumah.

Jeno berdeham, "aku akan jadi temanmu, sekarang kita berteman."

"Oke, aku akan bersikap seperti kita sudah berteman lama."

Hanya anggukan yang Jeno berikan karena takut jika Renjun kembali mengamuk.

"Omong-omong kau sudah makan malam Jen?"

"Tentu saja belum Jun, kau tadi menghampiriku sebelum matahari benar-benar terbenam."

Lantas kedua mata Renjun berbinar, "kalau begitu ayo makan, aku menahan lapar dari tadi."

Jeno tertawa mendengarnya. "Aku curiga MBTI mu bukan introvert." Ujarnya seraya berdiri untuk berjalan ke dapur.

"Aku juga tidak tau, aku hanya mengaku saja." Renjun membuntuti si pemilik rumah.

Lantas Jeno mengeluarkan bahan makanan yang ia punya untuk dimasak. Tanpa sepatah kata Renjun langsung turut membantu. Hati Jeno menghangat, ini pertama kalinya ia akan makan malam bersama orang baru -teman baru di rumah kecilnya.

*
*
*
*
*

Sudah beberapa hari Renjun rajin menemuinya. Menceritakan banyak hal tentang kesehariannya. Dan khusus Renjun ia tak meminta imbalan apapun tapi kedatangan Renjun harus membawa sesuatu seperti makanan ringan.

Terkadang Jeno sengaja memancing emosi Renjun hingga akhirnya berdebat panjang. Mungkin bisa dibilang hobi Jeno adalah membuat orang kesal terhadapnya dan ia akan tertawa karena lucu. Pengecualian untuk Haechan, karena teman rekan kerjanya itu membalasnya dengan penganiayaan.

Sekarang jam menunjukkan pukul lima sore. Jeno baru saja menyelesaikan acara mandinya dan dilanjutkan memakai pakaian yang cukup tebal agar tubuhnya tetap hangat. Setelahnya ia mengeringkan surai hitamnya menggunakan handuk kecil.

Kemudian saat ia hendak duduk terdengar suara ketukan pintu. Dahi Jeno mengernyit, tumben Renjun mengetuk pintu dulu, biasanya bersikap seperti di rumah sendiri. Lantas ia membukakan pintu dan ternyata bukan sosok Renjun yang dilihatnya.

Seorang pemuda dengan postur tubuh yang tinggi dan kurus. Jeno berdeham karena raut wajah pemuda itu terlihat suram tak bergairah.

"Ada yang bisa ku bantu?" Tanya Jeno ramah.

"Kau mau membantuku?" Tanya pemuda itu balik dengan sorot mata tanpa binar yang menyiratkan sesuatu.











- His Smile -

His Smile | NCT Dream ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang