Happy reading:)
Walau konyol Jeno tetap menuruti usulan Haechan tempo hari. Dengan berbahan papan kayu lusuh yang ditemukannya di dapur dan cat berwarna putih, Jeno menuliskan sebuah kalimat dalam bahasa Inggris menggunakan kuas kecil.
'When you have a problem, let come my home. Maybe i have a solution for you'
Setelah selesai ia memajang papan kayu itu tepat di atas pintunya lalu menyalakan lampu dengan cahayanya yang remang-remang agar ada orang yang bisa membaca tulisan itu kemudian tertarik untuk masuk.
Sudah dua hari papan itu terpajang tapi Jeno belum menerima pelanggan sama sekali. Seharusnya Jeno tau jika hal konyol yang dilakukannya itu sia-sia.
Hampir saja ia merutuki usulan teman rekan kerjanya tapi tiba-tiba pintu rumahnya terbuka. Seorang pemuda berdiri di ambang pintu dengan wajah gugup dan canggung.
Lantas ia tersenyum. Rasa gugup dan canggung pemuda tersebut hilang seketika, tergantikan oleh senyum tak kalah manisnya.
"Kau membawa uang kan?" Jeno menyiapkan kalimat tanya itu sebagai sambutan untuk pelanggannya.
Senyuman manis pemuda itu langsung hilang. Ia mendengus dengan hati yang merasa jengkel. Pertanyaan Jeno melukai harga dirinya.
"Kau bahkan tak bisa membayangkan ada berapa uang di kantongku." Ujar pemuda itu cukup sarkas.
Jeno yang masih tersenyum mengangguk-angguk. "Lalu apa alasanmu mendatangi rumah jelek ini?"
Mata pemuda itu menatapnya tajam, "kau jangan membuatku semakin jengkel."
Jeno tertawa puas karena berhasil mengerjai pelanggan pertamanya itu. "Ah baiklah, aku bercanda. Silakan duduk dulu, aku akan membawakan teh."
Sebagai usaha konyolnya ini Jeno menyiapkan dua buah kursi yang dibatasi oleh meja. Pemuda itu mendudukkan diri kemudian memperhatikan ruangan bernuansa musim gugur yang ditempatinya.
Tak lama Jeno datang dengan dua cangkir teh hangat di atas nampan. Diletakkannya teh itu dihadapan pelanggannya itu. Sesaat ia memperhatikan wajah polos itu yang kelihatan lebih muda darinya.
"Minumlah teh nya dulu." Ujarnya mempersilakan.
Perlahan pemuda itu meminumnya. Teh hangat dengan manis yang tak kentara sangat pas di lidahnya membuat tubuhnya menghangat.
"Aku Lee Jeno, siapa namamu?"
Sebelum menjawab, pemuda itu memperhatikan senyuman indah orang di hadapannya. "Chenle."
"Baiklah Chenle, ceritakan masalahmu."
"Sebelum itu-" Chenle sedikit memicingkan matanya sembari mengeluarkan sejumlah lembaran uang dengan nominal tinggi.
"Aku harus membayar berapa? Ucapanmu tadi membuat harga diriku terluka."
Lantas semua uang yang diambilnya ia hempaskan di meja.
Dengan tawa kecilnya Jeno membalas, "hey aku hanya bercanda, aku minta maaf tapi jangan lempar uangmu begitu, harga diriku terluka."
"Kalau begitu kita impas."
Pelanggan pertamanya itu menggemaskan sekali di mata Jeno. "Sekarang ceritakan masalahmu, lalu aku akan memberimu solusi dan menyimpan semua uang ini."
Chenle menghela napasnya kemudian mulai menceritakan masalahnya sembari menatap lurus mata Jeno.
"Aku ikut ekskul musik karena hobi memainkan piano, aku juga melatih vokalku agar seimbang dengan kemampuan bermain pianoku itu. Tapi orang tuaku malah mendaftarkan aku pada ajang kontes musik terkenal, itu membuatku kesal."
"Bukankah seharusnya itu menjadi kesempatan untukmu bersinar?" Tanya Jeno heran.
"Aku melakukan itu karena hobi. Hobi itu artinya bersenang-senang tapi karena orang tuaku itu aku harus memikul tanggung jawab agar tak mengecewakan mereka."
"Tanggung jawab itu bukan bersenang-senang." Chenle mengakhiri ceritanya. Tatapannya seolah menuntut Jeno untuk segera memberinya solusi.
Jeno jadi teringat Haechan. Anak muda zaman sekarang memang selalu ingin bersenang-senang tanpa dituntut apapun.
"Apa orang tuamu itu selalu memaksa kehendak mu?"
Chenle menggeleng, "tidak, tapi aku tak mungkin menolak, itu sudah didaftarkan."
"Apa orang tuamu selalu menuruti permintaanmu?"
"Tentu saja, aku anak tersayang."
Senyuman tipis Jeno perlihatkan. "Kau harus berusaha keras untuk menang agar orang tuamu bangga, kemudian kau pinta lah mereka untuk tidak menyuruhmu mengikuti hal seperti itu lagi, jelaskan jika kau bermain piano sebagai hobi."
Solusi dari Jeno itu membuat Chenle terdiam. Memikirkan solusi itu sebaik mungkin di otaknya. Setelahnya ia tersenyum kecil, uang di atas meja itu impas dengan solusi yang diberikan pemuda dihadapannya.
"Sekali lagi, kita impas." Ucap Chenle kemudian meminum kembali tehnya yang tak lagi hangat namun tetap terasa enak.
"Kalau begitu, aku ambil ini uangnya ya." Tangan Jeno mengumpulkan uang itu lalu menjadikannya satu tumpukan.
Tatapan Chenle mengarah ke Jeno. Memperhatikan wajah hingga pakaiannya. Lantas ia menanyakan sesuatu. "Untuk apa kau membuka usaha seperti ini?"
Jeno membalas tatapan Chenle, "karena kau pelanggan pertama maka aku akan menjawabnya. Sebenarnya ini karena temanku yang menyarankan agar aku bisa membeli ponsel."
"Jawaban yang tak ku duga, aku kira kau sedang ingin berbaik hati memberikan solusi pada masalah orang." Ucapan Chenle itu terasa mencibirnya.
"Tentu saja aku sedang ingin berbaik hati tapi dengan meminta sedikit imbalan tak akan membuat rugi bukan?" Senyuman manis Jeno terlihat sedikit menyebalkan di mata Chenle sekarang.
"Ah sepertinya aku harus pulang sekarang jika tak ingin kesal." Chenle berdiri lalu merapikan mantelnya sebentar.
Si pemilik rumah tentu mengantarkan pelanggan sekaligus tamunya itu sampai di ambang pintu. Sebelum Chenle melangkah pergi, ia kembali menatap Jeno.
"Terima kasih untuk teh dan solusinya."
"Datanglah lagi, aku selalu mempunyai stok teh." Ucapnya disertai senyuman manisnya.
Chenle balas tersenyum dan mengangguk. Lantas ia membalikkan badan lalu melangkah pergi menjauhi rumah Jeno.
Dengan senyum kecil Jeno bergumam, "sepertinya aku bisa langsung membeli ponsel."
- His Smile -
KAMU SEDANG MEMBACA
His Smile | NCT Dream ✓
FanficMereka datang untuk menceritakan masalah mereka kepada Jeno. Jeno tidak pintar tapi pikirannya yang terbuka mampu memberikan solusi. Lantas mereka berterima kasih dan berteman dengan Jeno. Tapi kenapa tak ada satu pun dari mereka yang menanyakan apa...