DUA BELAS

20 2 0
                                    

Dua belas

"Setelah ini kita ke mana lagi, Kak?" tanya Nala--adik bungsunya Sima--seraya mengaduk-aduk minumannya.

"Pulang lah, memangnya ada lagi yang mau dibeli?" tanya Sima.

Nala tidak menjawab, dia mengernyit lalu melirik beberapa paperbag yang terletak di bawah meja mereka. Cukup banyak yang sudah mereka beli, baik yang memang dibutuhkan seperti bantal leher baru, sampai barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan untuk liburan kali ini seperti cat air yang dibeli Rahagi.

"Gue mau beli jaket," kata Danesh--adik pertama Sima.

"Tadi udah ditawarin beli jaket, lo bilang nggak mau, sekarang malah pengen beli jaket. Gimana sih?" omel Rahagi.

Cowok itu sudah lelah mengelilingi mall, masa iya harus keliling lagi? Kakinya sudah sangat pegal.

"Tadi gue nggak pengen, sekarang pengen karena kalian semua beli jaket baru, cuma gue yang enggak," balas Danesh.

Risha serta kedua adiknya, Sima dan juga Nala kompak menggeram mendengar ucapan Danesh. Tidak hanya Rahagi yang capek, mereka semua juga.

"Lo pakai jaket yang lama aja, nggak usah gegayaan pakai jaket baru. Anggap aja sanksi karena lo nggak mau beli tadi," kata Sima.

Danesh merengut mendengar jawaban kakaknya, masa hanya dia yang tidak punya jaket baru.

"Kita ke salon yuk, Kak, aku mau potong rambut," ajak Nala pada Sima dan Risha.

"Eh eh, terus kami gimana?" tanya Rahardian.

Risha menatap adik bungsunya sekilas lalu mengangguk untuk menyetujui ajakan Nala. "Boleh, gue juga mau creambath."

"Kak, tapi kami gimana?" Rahagi yang bertanya karena pertanyaan Rahardian tidak dijawab.

Para cowok bingung karena tadi mereka berangkat bersama menggunakan mobil milik Risha, kakaknya itu pasti tidak akan mengizinkan jika mobilnya dibawa.

"Kalian boleh ikut, kami nggak larang," kata Sima.

"Tapi kalian pasti lama banget, bosan lah," keluh Danesh yang pernah menemani Sima dan Nala ke salon, berakhir dengan dia yang ketiduran di sofa.

"Kalian kan bisa keliling dulu, kalau kami udah siap nanti dihubungi. Jangan bikin repot lah," sahut Risha.

"Yaudah, kalian temani gue beli jaket."

Ucapan Danesh membuat Rahagi dan Rahardian kompak menghela napas lelah.

🐇🐇🐇

"Kita kan pakai dua mobil, satu mobil isinya yang udah tua, satu mobil lagi yang masih muda," kata Nala.

Juna, Abel, Fauzan dan juga Ara mendelik mendengar ucapan Nala.

"Nggak bisa, kalian nggak akan sanggup ngendarain mobil untuk jarak jauh," tolak Juna.

Risha dan Sima merengut mendengar penolakan itu, karena rencana ini disusun oleh kedua cewek remaja itu dan meminta Nala untuk menyampaikannya dengan iming-iming Nala akan diberikan kesempatan mengemudi, tetapi hanya sebentar.

"Bisa kok, Pa, nanti Risha sama Sima gantian bawanya," kata Risha dengan harapan ucapannya akan berhasil membujuk orang tua mereka. "Nanti kalau capek juga bisa berhenti sebentar," lanjutnya.

"Tetap nggak bisa Risha, Papa belum berani biarin kalian bawa mobil untuk perjalanan jauh," kekeh Juna.

"Tapi, Pa, kami pengen ngerasain liburan saama yang seumuran gitu loh, nggak ajak-ajak orang tua." Kali ini Rahagi yang bicara.

Memang di awal dia memilih untuk tidak ikut liburan, tetapi mendengar rencana Risha dan Sima, ia jadi ikut tertarik. Kapan lagi bisa liburan dengan teman sebaya? Jika bersama orang tua pasti akan banyak aturannya.

"Ini judulnya liburan keluarga, udah jelas ada orang tua sama anak," tutur Ara.

"Aaaa nggak asik," rengek Sima.

Tadinya Sima dan Risha sudah memikirkan bagaimana serunya liburan kali ini, tetapi rencana mereka tidak akan terwujud. Orang tua mereka tidak mengizinkan mereka mengendarai mobil sendiri.

"Kalian itu kenapa? Udah bagus disupirin, tapi malah minta nyetir sendiri, kalau udah kecapekan baru ngeluh ke orang tua," omel Fauzan. "Jangan pikir kalau Papa nggak tau rencana kalian, ya, Nala, Danesh, Rahagi sama Rahardian juga mau ikut nyetir, kan? Ingat, umur kalian belum cukup. Kalian juga belum terbiasa ngendarain mobil di tempat ramai, kalau lagi santai kalian memang bisa ngendaliin, tapi kalau udah capek?"

"Nggak akan bisa terbiasa kalau nggak dilatih, Pa," sahut Risha kemudian memasang wajah memelas.

"Tetap nggak boleh Risha," larang Ara. "Nanti kalian malah nyasar," lanjutnya.

Keenam itu saling melirik satu sama lain, wajah mereka pasrah karena tidak yakin keinginan mereka akan diwujudkan.

"Tapi bener loh kata Risha, mereka nggak akan terbiasa kalau nggak dibiasakan. Kalian jangan jadi strict parents, ya, keinginan anak-anak itu jangan ditolak selagi mereka nggak salah. Jangan terlalu khawatirkan sesuatu yang hanya ada di pikiran kalian," ucap Abel.

Senyum keenam anak itu terbit mendengar pembelaan dari Abel. Namun lain halnya dengan respon Juna, Fauzan dan Ara, mereka terlihat tidak suka dengan pembelaan Abel.

"Bukan bermaksud jadi strict parents, Bel, tapi mereka memang masih kecil, nanti juga ada saatnya mereka bisa nyetir lama, nggak akan aku larang."

Respon Juna membuat senyum yang tadinya muncul di wajah mereka mendadak sirna. Jika hanya Abel yang mendukung keinginan mereka, tidak akan terjadi juga.

"Mereka masih muda, wajar kalau punya keinginan kayak gitu, semakin dilarang nanti malah semakin menjadi. Udah, turutin aja," kata Abel.

"Enggak boleh Bel, nanti mereka capek jadi nggak bisa nikmati liburannya."

Fauzan kekeh dengan keputusan awalnya.

Keenam anak itu memasang wajah memohon kepada Abel agar wanita itu membela mereka sampai kemenangan di pihak mereka.

"Tetap nggak bisa."

Penolakan dari Juna membuat harapan serasa hilang.

Abel melirik anak-anak mereka, wajah memelas anak-anak membuat Abel merasa kasihan.

"Yaudah, gimana kalau biarin mereka nyetir sampai seperempat perjalanan aja, sisanya kalian berdua yang nyetir," saran Abel.

Seperempat perjalanan? Risha dan Sima tidak setuju, setidaknya setengah perjalanan saja.

Juna dan Fauzan saling pandang dan akhirnya keduanya mengangguk. "Tapi syaratnya yang boleh nyetir cuma Risha sama Sima," ucap Fauzan kemudian menatap anak-anak yang belum memiliki surat izin mengemudi. "Yang belum cukup umur nggak boleh ikutan nyetir."

"Boleh nggak tambahin jadi setengah perjalanan?" tawar Sima.

"Sima," tegur Juna.

"Ya kan Sima cuma tanya, Pa, boleh atau enggak," rajuk Sima karena Juna menegurnya.

"Jawabannya nggak boleh," kata Fauzan.

"Udah, masih mending diizinin, daripada enggak sama sekali" bisik Risha.

Sima mengangguk pasrah dan Nala mendengus, padahal Nala yang memberanikan diri untuk menanyakan hal itu, malah dia yang tidak mendapat giliran menyetir. Seperempat perjalanan, sudah pasti Risha dan Sima yang akan menguasai kemudi.

🐇🐇🐇

Senin, 24 Juli 2023

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 24, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

You are back?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang