TUJUH

66 4 0
                                    

Tujuh

Risha menuju ke ruang makan dengan tangan kanan yang memegang selembar kertas yang berisi rumus dari materi yang akan diujikan hari ini. Di bahunya tersampir tas berukuran kecil karena tidak ada buku yang harus dibawa, hanya beberapa lembar kertas, dua buah pena dan juga handphone.

"Tidur jam berapa lo?" tanya Rahagi setelah Risha duduk di sebelahnya.

"Kepo!" ejek Risha dengan sengaja, dia memang sengaja ingin memancing emosi Rahagi di pagi ini, belajar semalaman membuat Risha merasa jenuh dan butuh sedikit hiburan.

Wajah Rahagi langsung terlihat kesal, selalu saja seperti itu, jika Rahagi bertanya pada Risha, maka jawaban dari kakaknya itu pasti akan membuat kesal. Rahardian mengabaikan kedua saudaranya, dia melanjutkan sarapannya tanpa merasa terganggu karena sudah terbiasa.

"Jangan terlalu dipaksakan Risha, nanti kamu sakit," kata Ara menasehati. Tentu saja dia tidak mau jika Risha memaksakan dirinya sendiri tanpa memperhatikan kesehatannya sendiri.

"Dengerin, tuh, padahal lo pernah sakit karena maksain diri untuk belajar, masih aja nggak jera sampai sekarang," ucap Rahardian untuk mengingatkan Risha tentang apa yang terjadi beberapa tahun yang lalu, saat Risha memaksakan dirinya terus belajar karena akan ujian, justru berakhir di ranjang rumah sakit karena dehidrasi.

Kaki kanan Rahardian yang menjadi sasaran Risha karena jika hal itu sudah bahas, maka Fauzan dan Ara pasti akan memastikannya untuk tidur sebelum jam sepuluh malam.

"Enggak dipaksakan, Ma. Risha cuma baca-baca aja," elak Risha agar tidak diingatkan lagi.

Rahagi menggerakkan bibirnya seolah mengejek Risha karena tau apa yang dikatakan kakaknya itu adalah kebohongan, dia belajar dengan serius, bukannya hanya sekedar baca-baca saja.

Mendapat ejekan seperti itu membuat Risha langsung menjentik lengan Rahagi sehingga adiknya itu meringis seraya mengusap lengannya yang terasa panas.

"Kasar banget lo," desis Rahagi

Tangan remaja laki-laki itu sudah terangkat untuk membalas perbuatan kakaknya, tetapi teguran dari Ara membuat niatnya terurung.

"Kalian ini bisa nggak kalau makan jangan pakai ribut dulu? Pusing Mama ngeliat kalian ribut setiap hari," ujar Ara sambil menatap Risha dan Rahagi bergantian, Rahardian tidak ikut ditatap karena si bungsu itu tidak selalu terlibat dalam pertengkaran kedua saudaranya yang lain, hanya sesekali saja.

"Maaf, Ma," ucap Risha dan Rahagi serentak.

"Pagi minta maaf, malamnya diulangin lagi. Selalu seperti itu dari dulu, udah kenyang Mama sama permintaan maaf kalian," cibir Ara.

Rahardian menahan tawanya karena kedua saudaranya dicibir oleh Ara, lagipula apa yang dikatakan Ara itu memang benar adanya. Sering meminta maaf tetapi kesalahan yang sama selalu diulang, seolah kata maaf itu hanyalah sekedar kata-kata biasa tanpa makna.

Fauzan memilih diam karena tidak mau ikut campur dalam perbincangan antara istri dan kedua anaknya. Bukannya tidak peduli, tetapi Risha dan Rahagi memang perlu dinasehati lagi.

"Risha nggak akan ganggu kalau bukan Rahagi yang duluan, Ma. Dia tuh yang sering gangguin Risha, Mama liat sendiri kan tadi? Rahagi yang mancing-mancing emosi Risha," ucap Risha untuk membela diri.

Rahagi menatap Risha dengan sinis, padahal tadi itu dia bertanya kepada Risha secara baik-baik, kakaknya itu saja yang menjawabnya dengan ketus. Jadi, siapa yang sebenarnya memulai pertengkaran ini?

"Kak Risha yang duluan jentik Rahagi, Ma, Kak Risha itu main fisik," ucap Rahagi yang tak mau kalah. "Itu namanya kekerasan," lanjut Rahagi yang ditujukan pada Risha.

"Yang duluan ngejek siapa?" tanya Risha dengan nada menantang.

"Siapa yang duluan jawab pertanyaannya dengan ngeselin?" balas Rahagi.

"Lo yang duluan bikin kesel!"

"Lo!"

"Lo!"

Ara menghela nafas melihat pertengkaran baru di hadapannya, baru saja diomelin, tetapi langsung bertengkar lagi.

"Risha, Rahagi," tegur Fauzan. "Selesaikan sarapan kalian, nanti terlambat ke sekolah," titah Fauzan.

"Pa, Ma, Rahardian berangkat duluan, ya, malas nungguin Rahagi selesai, yang ada nanti terlambat ke sekolah," kata Rahardian lalu berdiri dan menyalami Fauzan dan Ara.

"Bentar lagi gue selesai, Ar," kata Rahagi. "Tunggu sebentar kenapa, sih?" Rahagi bukannya tidak mau berangkat sendiri, tetapi dia yang terlalu malas jika harus berangkat bersama Risha, yang ada nantinya mereka akan bertengkar di sepanjang perjalanan. Rahagi tidak punya masalah dengan hal itu, dia pun senang-senang saja jika bertengkar dengan Risha, tetapi karena kakaknya itu akan ujian, Rahagi lebih memilih untuk menghindari pertengkaran yang berlebihan.

Rahardian pun mengalah dan kembali duduk di kursinya untuk menunggu Rahagi selesai sarapan.

"Udah siap," lapor Rahagi pada Rahardian, status mereka yang merupakan saudara kembar terkadang membuat Rahagi bersikap seperti anak-anak pada Rahardian, apalagi jika ia sedang merepotkan Rahardian.

Rahardian kembali berdiri diikuti Rahagi.

"Semangat untuk ujiannya Kak Risha, nilai kakak pasti bagus, kak Risha kan pintar. Good luck."

Risha menahan senyumnya sampai Rahagi dan Rahardian keluar dari ruang makan, Ara menggelengkan kepalanya melihat sikap Risha yang seolah tidak peduli pada ucapan Rahardian, padahal aslinya Risha begitu senang.

"Risha, jangan maksain diri ya, Nak, Papa nggak mau Risha sakit lagi karena terlalu fokus belajar tetapi mengabaikan kesehatan," kata Fauzan setelah Risha menghabiskan segelas susu.

"Iya, Pa. Lagipula kemarin Risha nggak belajar keras," kata Risha untuk mengelak dari ucapan Fauzan.

"Papa lihat lampu kamar Risha masih hidup sampai tengah malam," balas Fauzan.

Risha langsung nyengir mendengar ucapan Fauzan, tidak ada lagi alasan yang bisa ia gunakan untuk mengelak dari hal tersebut.

"Ini yang terakhir Risha," ucap Ara dengan serius.

"Iya, Ma. Risha cuma takut kalau nggak bisa jawab soal-soal ujian nanti,makanya belajar sampai malam, sebelumnya kan Risha jarang belajar, sekarang jadi keteteran," keluh Risha.

Kemarin malam Risha menyesal karena sudah menghabiskan waktu dengan sia-sia, bukannya belajar, dia justru asyik bermain sehingga tidak memiliki persiapan yang cukup untuk ujian. Sehingga dia harus memperbaikinya semalaman suntuk agar mendapatkan hasil ujian yang memuaskan.

"Papa biarin Risha belajar sampai larut malam karena Papa mau Risha sadar kalau buang-buang waktu itu cuma hal yang sia-sia, kalau Risha main-main, suatu saat nanti Risha juga yang harus menanggung akibatnya."

Risha cemberut mendengar ucapan Fauzan, selama ini dia memang sering buang-buang waktu untuk hal yang tidak berguna. Namun sayang, penyesalan tidak akan membuat waktu bisa terulang kembali, yang bisa dilakukan adalah menjadikan hal tersebut sebagai pelajaran dan tidak akan mengulanginya lagi di kemudian hari.

"Nggak ulangi lagi, Papa."

"Iya, Papa tau Risha nggak akan ngulangin kesalahan yang sama."

Risha berdiri kemudian memeluk leher Fauzan. "Sayang Papa."

🐇🐇🐇

Jum'at, 21 April 2023

You are back?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang