Every girl is a doll, either Barbie or Annabelle. It all depends on how you treat her.
Dering gawai di atas meja kerja membangunkan Barra yang tertidur di sebuah sofa yang ada di salah satu sudut bengkel kerjanya. Dia terdiam membiarkan gawainya terus berdering hingga berhenti. Kalau memang perlu si penelpon pasti menghubungi lagi, batin Barra. Lehernya terasa ngilu dan pegal akibat kepalanya salah posisi sewaktu tertidur. Matanya setengah terpejam karena kantuk. Namun sinar matahari yang masuk menerobos kaca jendela menerangi kamarnya dan membuatnya terpaksa membuka matanya. Banyak urusan yang harus dia selesaikan hari ini.
Semalam Barra mengirimkan foto boneka Vonny yang sudah selesai kepada sang pemesan. Dengan harapan si pemesan langsung merespon, dan prediksi Barra paling lambat hari ini. Kemudian laki-laki itu segera membereskan meja kerjanya supaya bila ada pesanan masuk dia bisa langsung mengerjakannya. Setelah membereskan meja, dia pun menyiapkan box untuk pengiriman dan beberapa bahan pengaman agar bonekanya tidak rusak ketika sampai di tangan pemesannya. Begitu box untuk pengirimannya siap, waktu sudah lewat tengah malam. Barra pun memutuskan untuk istirahat sejenak di sofa yang sengaja dia letakkan di ruang kerjanya. Laki-laki itu sudah enggan melangkahkan kakinya ke kamar tidur. Tidak sampai lima menit, dia sudah terlelap dengan tubuh miring dan kepalanya bersandar di lengan sofa.
Jam dinding di atas pintu ruangan itu menunjukkan pukul tujuh lewat. Barra masih duduk di sofa dengan leher pegal dan ngilu. Suara burung mencicit terdengar dari luar di antara bunyi kendaraan bermotor yang sesekali lewat di depan rumah. Sesaat kemudian pandangannya terpaku pada boneka Vonny yang berdiri di samping meja kerjanya. Kebetulan wajah boneka itu menghadap ke arahnya.
Matanya yang berwarna hazel itu menatap Barra dengan intens, seolah ingin mengajaknya bicara. Laki-laki itu merasakan sesuatu yang familiar ketika menatap boneka itu lebih lama. Raut wajahnya juga postur tubuhnya seakan tidak asing bagi Barra. Laki-laki itu memejamkan mata sejenak, mencoba menggali ingatannya tentang sosok yang pernah dijumpainya entah di mana yang mirip dengan boneka buatannya itu. Setelah beberapa saat usahanya tidak berhasil, Barra pun membuka matanya kembali. Lagi-lagi matanya bersirobok kembali dengan sepasang mata boneka Vonny.
Apa yang tertangkap pandangannya, membuat Barra tercengang. Kedua sudut bibir boneka Vonny itu tertarik ke atas, membentuk sebuah senyum. Seakan tak percaya, Barra pun mengerjabkan matanya. Akan tetapi senyuman itu masih bertengger di bibir mungil sang boneka. Barra yang masih tak percaya itu kini mengucek kedua matanya. Ah, ini mungkin cuma halusinasi akibat aku kurang tidur semalam. Gumam Barra dalam hati. Kemudian laki-laki itu membuka matanya kembali. Senyuman itu kini sudah lenyap dari bibir boneka Vonny.
Ada kelegaan yang dirasakan Barra, ternyata dia memang kurang tidur. Laki-laki itu akhirnya bangkit dari sofa dan mendekati boneka Vonny. Tangannya terulur dan membelai lembut kepala boneka itu seolah dia gadis kecil bernama Vonny yang benar-benar hidup dan berdiri di hadapan Barra. Tiba-tiba saja perasaan melankolis menyerbu hati laki-laki itu. Di usianya yang melewati kepala tiga, Barra sudah pantas menikah dan memiliki anak. Namun, ide pernikahan tak pernah singgah di kepalanya. Hal itu bisa dimaklumi, akibat contoh yang dia saksikan melalui pernikahan kedua orangtuanya yang tidak menjanjikan kebahagiaan bagi keduabelah pihak, terlebih bagi kedua anak mereka.
Bunyi ketukan di daun pintu ruang kerja menyadarkan Barra dari lamunan. Dia pun bangkit dari sofa berlengan yang membuat leher dan badannya tidak nyaman. Sepertinya aku butuh mandi air hangat lalu sarapan dan secangkir kopi hitam untuk memulai hari. Gumam Barra dalam hati mengabaikan rasa ngilu pada lehernya.
"Maaf, Mas Barra. Apa sisa barang-barang yang masih ada di teras belakang bisa saya masukkan ke gudang?" Ucapan Umar menyambut Barra begitu pintu ruangan terbuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DOLLS MAKER
Mystery / ThrillerKamila sangat berduka akibat kematian anak perempuan satu-satunya. Sebagai menghibur, keluarganya menyarankan untuk ganti suasana dengan menempati rumah lama keluarga yang dijadikan vila untuk berlibur. Kakak perempuannya, Karina, bahkan memberikan...