Part 10. MEMORIES

12 4 3
                                    

Some memories never leave your bones. Like salt in the sea: they become part of you – and you carry them. (Unknown)


Suasana meja makan yang tidak kondosif, tanpa tawa dan canda seperti biasanya, memadamkan semangat kerja Kamila malam itu. Sebenar dia berniat melanjutkan pekerjaannya di ruang keluarga setelah makan malam selesai. Akan tetapi niat itu langsung sirna akibat perdebatan kedua kakaknya gegara respon negatifnya terhadap boneka hadiah dari Karina.

Kini kedua kaki Kamila melangkah menaiki tangga ke lantai dua. Begitu selesai makan tadi, dia pamit ke kamar dengan alasan membaca buku berkaitan dengan materi yang harus diterjemahkannya. Alasan yang dikarangnya supaya bisa langsung pergi ke kamar tanpa terkesan menghindari kedua kakaknya yang sering kali bersikap terlalu berlebihan bahkan terkadang over protektif terhadapnya.

Langkah kaki Kamila sampai di depan kamar Karina yang pintunya dibiarkan terbuka. Dengan sedikit ragu dia mendekati ambang pintu hingga pandangannya mampu menjangkau seluruh isi kamar. Tatapannya akhirnya berlabuh pada boneka yang tadi sore diletakkan oleh Karina dalam posisi duduk di sebuah kursi berlengan yang ada di kamar itu.

Perlahan Kamila menggerakkan kedua kakinya seolah ada yang menarik mendekati boneka cantik yang nampak tersenyum ke arahnya. Kamila tidak mampu mengalihkan tatapannya. Dia sangat merindukan senyum manis Vonny yang tidak dijumpainya hampir dua minggu belakangan ini. Yang ada di depanmu cuma boneka, benda mati. Bukan Vonny! Vonny sudah pergi. Tuhan sudah memanggilnya ke surga! Teguran dari hati kecilnya itu bagai batu yang menghantam kepala Kamila. Terasa sakit akan tetapi membuatnya langsung tersadar.

Kini dengan langkah tenang Kamila mendekati boneka yang dibuat dengan keterampilan dan bakat seni tinggi di hadapannya. Meski terlihat tenang tetapi sebenarnya hati perempuan itu sedikit berdebar. Dengan jarak yang semakin dekat, Kamila merasakan bulu kuduknya meremang. Namun perempuan itu tetap bergerak maju bahkan berlutut saat dia sudah ada di depan kursi.

Kamila memandangi boneka yang dibuat hampir seukuran dengan anak berusia lima tahun dengan posisi duduk di lantai berkarpet. Perempuan itu seakan-akan sedang duduk berhadapan dengan gadis kecilnya, Vonny. Seniman yang membuat boneka itu benar-benar mengerjakannya dengan sempurna. Alis matanya yang kehitaman juga bulu matanya yang lentik persis seperti milik Vonny. Apalagi matanya yang berwarna cokelat keemasan, sama seperti milik Kamila. Kak Karin pasti mengirimkan salah satu foto Vonny sebagai model. Pantas saja boneka buatan seniman itu mirip sekali dengan Vonny, batin Kamila.

Tangan Kamila kemudian bergerak membelai kepala boneka Vonny, lalu perlahan turun ke arah pipinya yang kemerahan. Dengan lembut dan penuh perasaan jemari Kamila mengelus pipi ranum itu seolah benar-benar milik Vonny yang masih hidup. Jemari perempuan itu merasakan kehangatan saat menyentuhnya. Dia sama sekali tidak merasakan permukaan bahan plastik atau porselen yang keras dan dingin. Kamila terdiam beberapa saat menikmati hangatnya permukaan kulit pipi anaknya. Kepedihan dan rasa kehilangan yang selama ini tidak terlalu dia pertontonkan, akhirnya sampai pada batasnya. Air mata pun memercik dari sepasang mata cokelat miliknya. Cairan itu deras mengalir dari kedua sudut matanya seperti bendungan jebol, tanpa suara isak tangis, atau lolongan yang memilukan hati.

Kenapa kamu tinggalkan Mama sendirian, Sayang? Hanya kamu belahan jiwa dan cinta Mama! Tuhan tidak adil! Kenapa harus Vonny yang pergi? Kenapa harus aku yang mengalami kepedihan ini? Pertanyaan tanpa jawaban itu terus berputar-putar seperti gasing dalam kepala Kamila hingga membuatnya pening. Kedua matanya merah terasa perih setelah menumpahkan air mata selama beberapa saat.

Perlahan Kamila bangkit dari lantai. Tubuhnya terhuyung akibat pusing di kepalanya, untung sebelah tangannya berpegangan pada lengan kursi hingga dia tidak tersungkur. Untuk sejenak perempuan itu berusaha menjaga keseimbagannya sebelum pandangan matanya kembali ke arah boneka Vonny. Bibir boneka itu terlihat agak melebar dan kedua sudutnya tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman. Kamila terpaku, tanpa sadar sepasang bibirnya turut tersenyum walau sesaat. Namun, pikiran segera tersadar. Dia sudah bertingkah konyol. Menangis tanpa suara lalu tersenyum sendiri seperti orang sinting pada boneka mainan tak bernyawa.

THE DOLLS MAKER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang