Bab 2

872 72 2
                                    

Yoon Jeonghan rasanya sangat lelah hari ini. Semalam ia tidak tidur dengan tenang karena tiba-tiba pihak rumah sakit menghubungi kalau sang adik mengalami kejang. Jeonghan di buat panik, ia berlari kesetanan setelah menuruni taksi dan langsung menuju ruangan sang adik. Rupanya obat yang diresepkan pada adiknya tertukar dengan pasien lain. Efeknya terasa beberapa jam kemudian.

Tengah malam Jeonghan mengamuk, bagaimana jika sang adik meninggal dan sebagainya. Sang dokter menjelaskan dan meminta maaf untuk kelalaian staf mereka. Sang adik juga sudah dalam keadaan baik, tengah tertidur di ranjangnya. Seperti biasa.

Jeonghan tidak kembali pulang setelahnya, ia duduk di kursi menemani dan memandangi sang adik yang tengah tertidur dengan pulas. Tangannya beberapa kali mengelus tangan bahkan pipinya, berharap pemilik kulit yang ia sentuh itu cepat bangun. Jeonghan hampir lupa jika ponselnya tak berbunyi dan sang rekan kerja memberitahunya untuk cepat datang ke perusahaan untuk pemotretan.

Ada beberapa pemotretan yang harus Jeonghan lakukan, salah satunya adalah hari ini. Kata mereka —para model harus sudah bersiap di jam tujuh pagi. Tapi nyatanya setelah bersiap, pemotretan di undur dua jam. Jeonghan bisa menunggu, tak masalah. Namun kemudian setelah menunggu dua jam, tiga jam, empat jam, pemotretan tak kunjung di lakukan.

Model lain dan para staff rias sudah berbisik-bisik bergosip. Kebanyakan mengeluh karena sudah terlalu lama dan makeup yang mereka pakai akan luntur.

Tepat pukul satu kemudian, pemotretan dilakukan setelah, katanya dari yang Jeonghan dengar setelah rapat direksi bubar.

Jeonghan dapat menghitung, dua jam pemotretan mereka sudah selesai. Jeonghan akhirnya terbebas. Ia ingin segera pulang dan pergi ke rumah sakit. Dan sumber sakit kepalanya saat ini tiba-tiba datang tak terduga. Jeonghan di perintahkan untuk menghadap presdir saat hendak keluar dari pintu ruang ganti.

Tawaran kemarin yang ia tolak tiba-tiba ditawarkan lagi padanya. Membuat ia ingin sekali menerjang lelaki yang sedang duduk di depannya itu.

“Bukankah kemarin aku sudah menolak?” tanyanya jengkel.

“Aku tahu. Karena itulah aku menawarkannya lagi padamu, dengan mulutku sendiri,” kata Seungcheol. Ekspresi wajahnya tenang, menikmati ekspresi wajah sang lawan bicara yang mengerut dan memerah.

“Wah... Apakah benar kau adalah founder sekaligus CEO perusahaan ini?” Jeonghan tak habis pikir, ia melipat tangan di dada.

“Kau tidak percaya?”

Jeonghan tersenyum remeh, berdiri dari duduknya. “Tentu saja tidak. Aku tidak pernah menjumpai CEO yang tak tahu malu sepertimu.”

Rahang Seungcheol seolah turun dibuatnya. Ia menaikkan satu alis kemudian tersenyum miring begitu Jeonghan membanting pintu. Ia bersandari pada sandaran kursi, berputar pelan.

“Ya, ya. Akan aku tunjukkan bagaimana tak tahu malu itu.”

~~ ✿⁠ ~⁠~

Sehari kemudian, Seungcheol benar bersikap tak tahu malu. Setiap kali melihat Jeonghan, ia sengaja mendekatinya. Tangannya ada di mana-mana. Kadang merangkul pundak Jeonghan, menggandeng tangannya, atau mengelus pinggangnya. Semua itu ia lakukan dengan mulus, seolah mereka sudah dekat padahal kenyataannya Jeonghan selalu menepis dan langsung melengos pergi meninggalkannya.

Jeonghan dibuat malu bukan main. Semua orang menatapnya dengan pandangan menyelidik dan meremehkan. Sama seperti dua tahun yang lalu saat dirinya baru saja masuk di perusahaan. Tidak punya pengalaman, orang seperti dia mana bisa menjadi model, wajahnya tidak bereskpresi, tubuhnya terlalu pendek, wajahnya tidak cocok dengan image perusahaan. Semua bisikan itu dapat Jeonghan lalui sendirian, sampai akhirnya mereka semua memandangnya bersahabat.

Dua tahun sudah, dan Jeonghan kembali mendapat semua bisikan tak mengenakkan tentang dirinya. Dua minggu lamanya ia bertahan dengan semua itu, sampai akhirnya kemarahannya meledak begitu rekan sesama modelnya ketahuan menggunjingnya di toilet.

“Sepertinya Jeonghan memang tidur bersama dengan Presdir. Heh, berapa banyak uang yang bisa dia hasilkan dalam semalam?”

Mereka berdua tertawa kemudian. Jeonghan menahan untuk masuk ke dalam, ia mengepalkan tangan. Alih alih melabrak mereka, ia justru berbalik arah menuju ruangan Seungcheol. Ia tidak peduli berhadapan dengan siapa, ia tidak bisa berdiam diri mengetahui dirinya diusik seperti ini.

“Kau mau apa?” Jeonghan mengabaikan pertanyaan Jooheon di depan pintu ruangan Seungcheol. Ia menerobos masuk dengan kasar.

“Oh wow, apakah kau berubah pikiran sekarang?”

Jeonghan terus maju sampai ia berdiri di depan meja Seungcheol. Segelas air yang ada di sana ia ambil dan menyiramkan nya pada Seungcheol begitu saja.

Prang!

Tak cukup sampai di situ, Jeonghan melemparkan gelas ke belakang kepala Seungcheol. Membuat suara pecahan kaca yang riuh. Sementara pria dengan wajah yang basah itu tersenyum mengelap titik-titik air dengan lengan baju.

“Agresif,” kata Seungcheol. Ia berdiri dari duduknya, menghampiri Jeonghan dengan santai.

“Aku suka pria yang agresif. Apalagi dirimu. Kau terlihat semakin sexy kau tahu?”

Wajah Jeonghan semakin merah. “Hentikan.”

“Apa?”

“Hentikan semua yang kau lakukan padaku. Berhenti menyentuh tubuhku di setiap kau melewatiku. Hanya karena aku selalu diam, bukan berarti aku mengizinkan mu menyentuh sembarangan!”

“Oh benarkah? Aku kira kau menyukainya.”

“Choi Seungcheol!” Jeonghan mengangkat tangannya, hendak menampar sang atasan namun Seungcheol lebih dulu menangkapnya. Tangan Jeonghan dicengkeram dengan erat, kemudian Seungcheol melangkah maju membuat Jeonghan mundur sampai pinggulnya membentur meja.

Mata Seungcheol berlama-lama memperhatikan wajah Jeonghan yang menatapnya dengan amarah. Dalam hati ia mengutuk, betapa menariknya dia saat ini dan hatinya semakin menginginkan Jeonghan.

“Aku tidak akan berhenti sampai kau mengiyakan ajakan ku. Atau...” Seungcheol mengangkat tangan Jeonghan, mengecupnya tepat di urat nadi. Jeonghan langsung memberontak, “Kau bisa pergi dari perusahaan ku kalau kau mau.”

“Aku—” Jeonghan berhenti dengan cepat. Lidahnya seolah berhenti dengan sendirinya mengingat sang adik yang masih berbaring di rumah sakit. Gaji dari menjadi model di perusahaan ini lumayan besar, daripada menjadi penjaga toko. Jika Jeonghan keluar dari perusahaan... Tentu tidak, tidak boleh sampai terjadi.

“Lepaskan tanganku.” Jeonghan memutar tangannya, dengan maksud supaya terlepas. Alisnya menyatu begitu Seungcheol mengeratkan genggamannya, terhibur dengan ekspresi sakit di wajah Jeonghan.

Tak kehabisan akal, Jeonghan menggunakan tangan yang satu, meninju dada Seungcheol sambil berteriak, “Aku bilang lepas! Kau bodoh!”

Dan akhirnya terlepas. Seungcheol tak menyangka tinju yang Jeonghan layangkan di dadanya akan terasa sakit, jadi cengkraman nya lepas begitu saja.

Jeonghan tak mengatakan apa-apa lagi. Ia melenggang pergi dengan langkah kaki yang panjang. Ia menutup pintu sangat keras, namun di belakangnya Seungcheol memperhatikan dengan tenang. Ia tersenyum, tak sekalipun terusik dengan sikap Jeonghan yang kurang ajar.

Ia menatap tangan yang tadi menggenggam tangan Jeonghan, kemudian mengepalkan nya. “Aku akan mendapatkanmu,” gumam nya.

to be continued...

thanks for reading!

~ppai 🍎

Uncontrolled [JEONGCHEOL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang