"Kaivan tuh cowok red flag, Ya," kata Binar. Entah untuk yang keberapa kalinya. "Stop-stop, deh, lo ngejar tuh cowok. Liat lo ditolak mulu sama Kaivan bikin gue sakit hati tau." Binar berkata serius. Ia merasa prihatin dengan sahabat dari kecilnya tersebut.
"Gue enggak papa, Nar. Lo jangan khawatir dan stop pasang wajah kasian gitu, deh," ucap Kanaya, atau yang kerap di sapa Aya itu. "Lagian kenapa kalau Kaivan red flag? I'm Indonesian. Merah darahku," guyonnya. Kemudian tertawa pelan.
Binar melongo, kemudian geleng-geleng kepala. "Ihhh, bucin tolol, anjir. Gue sudah enggak bisa berkata-kata lagi. Semerdeka lo aja, deh, Ya." Binar mendegus.
Kanaya mengulum senyum. "Cowok seganteng Kaivan rugi kalau enggak pacaran sama gue, Nar. Gue, kan, cantik manjalita," bangganya. "Kaivan pasti sujud syukur."
"Halu banget lo, kuda!" Binar melempar sedotan ke arah Kanaya. "Dengar, ya, Ya, yang ada Kaivan bakalan sengsara kalau pacaran sama lo," paparnya. Tajam sekali. Tapi, Kanaya tidak peduli.
"Hala, sok tau lo!" Kanaya melipat kedua tangannya di atas dada. "Lo Iiat aja sendiri, Nar, gue akan buktiin ke lo kalau Kaivan bakal bucin sebucinnya ke gue."
"Serah lo, deh, Ya." Binar memilih untuk memakan cilornya. Meladeni Kanaya yang sedang halu tidak akan ada habisnya.
"Ucapan, kan, doa," gerutu Kanaya. "Apa salahnya kalau gue halu ngomong kayak gitu. Kali aja diaminin sama yang di atas." Pun Kanaya ikut memakan cilor miliknya. "Lo juga bantu aminin, kek. Sahabat masa enggak ada solid-solidnya," protes Kanaya.
"Bego lo, ah." Binar melotot. "Nih, makan cilor gue. Diem, deh, lo. Gue lagi mumet."
"Sensi banget, hamil lo?" tanya Kanaya. Tanpa beban, Mengabaikan tatapan leser Binar. "Lagian kenapa, sih, lo? Kok, tiba-tiba mumet. Perasaan tadi baik-baik aja." Kanaya mengambil tissue dan melap sudut bibirnya. Ia menatap Binar sekilas sebelum akhirnya memakan kebab. "Mood lo akhir-akhir ini kayak ayunan aja. Swing-swing cepat banget."
Binar menghela napas. "Gue diet, Ya. Lo enggak lupa, kan? Tapi, hari ini gue malah ikutan lo mukbang jajanan pinggir jalan. Teman sesat lo emang, Ya. Bisa-bisanya gue kehasut!" keluhnya. Kemudian mendorong makanannya ke hadapan Kanaya. "Tuh, habisin," titahnya.
Kanaya mengangguk. Kemudian mencomot cireng milik Binar dengan senang hati. "Maaf, maaf. Tapi, lo enggak usah diet, deh, Nar. Lo sudah cantik. Berat badan lo juga sudah ideal. Lo mau diet sampai kayak gimana, sih? Mau sampai dikira orang cosplay tiang listrik?"
"Ish, gue model kalau lo lupa, Kanaya," gereget Binar. "Karir gue bergantung sama tubuh ini. Jadi, kalau berat badan gue naik gue bakal diomelin manager," sungutnya.
"Naik sedikit enggak ngaruh, Nar. Lagian yang bikin gendut itu, ya, pikiran lo sendiri. Inget, lo itu tipe orang yang kalau makan banyak tapi enggak gendut-gendut," ungkap Kanaya.
"Enggak segampang itu, Ya," tutur Binar. "Itu sudah resiko gue sebagai model."
"Perusahaan lo toxic,"cibir Kanaya. "Cuman naik sedikit lo sudah diomelin, dihukum, dilarang post apapun sampai berat badan lo kembali normal. Sehat perusahaan kayak gitu?"
"Gue sudah tanda tangani kontrak. Berarti gue sudah siap nerima semua konsekuensinya."
"Goblog, sih." Kanaya manyun. Tidak tega dengan Binar. Ia bingung harus mengekspresikannya seperti apa. Tapi, sepertinya itu malah membuat Binar melototkan kedua mata.
"Apa? Lo ngatain gue goblog? Hello, coba uninstall dulu otak goblog lo itu karena rela nungguin balasan chatnya Kaivan, padahal dia bodoamat."
"Loh, loh, kok, kayak gitu." Kanaya tidak terima. "Mungkin aja, kan, chat gue kearsip Kaivan. Nanti juga pasti dibalas, kok."
"Iya, sekali dibalas cuman 'iy' doang. Cowok kayak gitu masih lo harapin? Goblog namanya."
Kanaya menelan sosis gorengnya. Ia menggeleng pelan. "Lo jangan salah paham lagi, Nar. Gue sudah berpikir keras, 'iy' itu sama dengan 'iya sayang'. Jadi, gimana menurut lo?" Kanaya menaik-turunkan alisnya. "So sweet, kan?"
"So sweet, pala lo gue genjreng!" Napas Binar memburu. Berbicara dengan bucin tolol seperti Kanaya ini memang sangat menguras tenaga dan bisa menyenggol mental.
"Sudah, ah. Malah goblog-goblogan. Kata Bunda enggak boleh berkata kasar." Kanaya tersenyum manis. "Nih, mending makan sempol gue aja."
"KANAYA?!" Binar melotot. "Asal lo tau, ya. Satu gorengan kayak gitu terdapat 140 kalori! Lo mau bikin berat badan gue tambah naik, hah!"
Kanaya tertawa keras.
"Gue kutuk jadi kuda lo, ya, Ya!"
"Jangan, dong. Kalau gue jadi kuda nanti lo temenan sama si--ASTAGA, KAIVAN!" sapa Kanaya. Tiba-tiba dengan heboh. Binar saja sampai kaget dibuatnya.
Kanaya sekarang melambai-lambaikan tangan dengan riang.
"Nar, gue mau nyamperin jodoh dulu, ya. Lo tunggu sebentar di sini." Cepat-cepat Kanaya beranjak dari kursinya dan berlari menghampiri Kaivan yang terus berjalan, yang bahkan tidak mau menoleh ke belakang.
"Kaivaannnn, lo apa kabar? Astaga senang banget gue bisa liat lo hari ini," aku Kanaya. Setelah ia berjalan di sisi kiri Kaivan dan menatap paras tampan cowok tersebut.
"By the way, lo ke mana aja hari ini? Kok, enggak sekolah. Kata Ardan lo lagi ada urusan. Emangnya benar, ya? Urusan apa, sih? Perasaan setiap hari kamis lo pasti absen," tutur Kanaya sambal melirik Kaivan. "Gue kangen tau. Chat gue enggak dibalas juga. Tega banget lo sama gue."
Kanaya menyenggol lengan Kaivan dengan pelan. "Jangan diam doang, dong. Ngomong sesuatu kek gitu." Lagi, ia melirik ke arah Kaivan. "Oh, iya, lo hari ini ganteng banget!" pujinya. Jujur.
Dengan balutan kemeja hitam dan celana hitam membuat pesona Kaivan naik berkali-kali lipat. Kanaya bahkan ingin sekali memotret cowok tersebut, tapi susah. Semoga saja Binar membantu memotonya dari belakang.
"Ya, lo ganteng setiap hari, sih. Tapi, sore ini lo ganteng pakai banget-banget. Gue jadi pangling. Jadi makin cinta. Hehehe."
Kanaya menyusul Langkah Kaivan, kemudian berjalan dengan mengahadap kepada cowok tersebut. Beruntung saat ini trotoar sedang sepi, jadi Kanaya tidak takut kalau menabrak atau menyenggol orang lain.
"Hari ini gimana? Lo sudah mau jadi pacar gue enggak?" tanya Kanaya. Pertanyaan yang sama, yang sudah ia lemparkan sejak dua tahun lalu.
"Kalau enggak bisa jadi pacar, ya, minimal jadi teman hidup, sih," ucapnya. "Jadi, lo pilih opsi yang mana Kaivan Dhanurendra?"
Kanaya Arisha, gadis dengan rambut sepunggung itu tersenyum manis. Mengabaikan fakta bahwa Kaivan yang tidak peduli dengan semua itu.
Jadi, inilah Kanaya dan perjalanan kisah cinta pertamanya.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Lakuna ; Ruang Kosong
Ficção AdolescenteKanaya tidak tau untuk apa ia bertahan sampai sejauh ini. Begitu dingin hari-hari yang ia lalui. Tanpa pegangan dan tanpa alas kaki. Hanya bisa tersenyum pura-pura, menganggap tidak ada dunia yang kejam untuk dirinya. "Kamu kalau mau pergi, silakan...