Kanaya tersenyum lebar. Hari ini ia berhasil duduk satu meja dengan Kaivan di kantin. Ia sudah tidak peduli apabila dicap gila karena terus menerus tersenyum. Oh, ayolah, ia begitu senang begitu mendapati kesempatan ini.
"Dan, lo emang teman terbaik gue. Hari ini makanan lo biar gue yang bayarin." Kanaya mengedipkan sebelah matanya. "Pesan aja sepuas lo."
Kemarin setelah Kanaya bertemu dengan Ardan dan curhat, cowok dengan tindik dua di telinga itu menawarkan bantuan hari ini. Ternyata bantuan Ardan sangat menguntungkan Kanaya. Kapan lagi bisa duduk semeja dengan Kaivan?
"Beneran, ya? Awas aja lo kabur."
"Enggak bakal."
Ardan dan Kanaya memang sudah cukup akrab sejak SMP. Hanya saja saat di SMA keduanya mulai kurang berinteraksi, itu dikarenakan mereka berbeda jurusan. Kanaya di IPS, sedangkan Ardan di IPA.
"Gara-gara lo gue bisa jadi duduk hadap-hadapan sama Kaivan," bisik Kanaya. "Thanks, ya, bestie."
"Iya. Yaudah gue mau pesan makanan dulu." Ardan berdiri.
"Gue ikut lo!" Kanaya ikut berdiri. Ia sedikit panik. "Ayo, kita pesan makanan."
Kanaya pun menarik tangan Ardan. Setelah cukup jauh dari meja, ia menarik dasi cowok tersebut untuk menunduk. "Lo jangan tinggalin gue sendirian dong. Gue enggak akrab sama yang lain. Mati keringat dingin gue kalau ditinggal di sana. Mana ada Atlas lagi. Ngeri banget."
"Santai aja kali, Ya. Atlas enggak semenyeramkan itu, kok."
"Pala lo gue pukul batu bata! Lo masih ingat, kan, hari pertama gue di sini. Sepeda motor gue di tendang sama dia! Padahal gue enggak tau apa-apa."
"Atlas enggak sengaja, Ya."
Kanaya mendengus. "Terserah lo, deh. Bela aja terus sahabat tercinta lo itu."
"Ya, emang enggak salah," papar Ardan. "Yaudah, lo mau pesan apa? Gue mau pesan bakso, nih."
"Ikuuuutttt," ucap Kanaya.
Sedangkan di sisi lain, Gilang, Aksa, Kaivan, dan Atlas, mereka berempat fokus pada kegiatan masing-masing. Atlas bermain ponsel, Kaivan membaca buku, serta Gilang dan Aksa yang terus saja berceloteh.
"Aya itu sebenarnya manis. Tapi, sayang kelepek-kelepeknya sama Kaivan doang," ucap Gilang.
"Ketimbang kelepek-kelepek sama lo, Lang. Lo mainin doang yang ada," pungkas Aksa. "Lo, kan, playboy. Mendingan sama Kaivan, lah, walaupun banyak makan hatinya."
"Kampret lo!"
"By the way, lo sama Aya gimana, Van? Kayaknya akhir-akhir ini dia jarang ngintilin lo, deh," tanya Aksa. "Atau sekarang dia sudah pindah haluan ke Ardan?" Aksa meletakkan jarinya di dagu--sok berpikir. "Kalau sama Ardan, ya, not bad, lah. Dia juga anak baik-baik, kan."
"Jangan! Gue tim keras Aya Kaivan, nih," komentar Gilang.
"Tuh, lo liat aja mereka berdua. Serasi, kan?" Aksa menunjuk ke arah Kanaya dan Ardan yang tengah berdebat kecil di antrian gerobak bakso. Keduanya tampak saling senggol-menyenggol. "Dilihat-lihat, kok, lucu, ya?"
"Enggak, ah," tolak Gilang. "Freak! Tapi, kalau sama Kaivan enggak."
Keduanya terus berdebat, hingga Kanaya dan Ardan selesai mengantri. Namun, belum sempat Kanaya mendekati meja, ia ditubruk oleh seseorang dari belakang, sehingga mangkok baksonya pecah ke lantai.
Keadaan kantin yang tadinya ricuh mendadak senyap. Semua mata tiba-tiba tertuju kepada sumber suara pecahan. Kanaya meneguk salivanya, sedikit cemas juga malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lakuna ; Ruang Kosong
Novela JuvenilKanaya tidak tau untuk apa ia bertahan sampai sejauh ini. Begitu dingin hari-hari yang ia lalui. Tanpa pegangan dan tanpa alas kaki. Hanya bisa tersenyum pura-pura, menganggap tidak ada dunia yang kejam untuk dirinya. "Kamu kalau mau pergi, silakan...