04. Sebotol Wine dan Obrolan Dingin

125 22 5
                                    

Hazel dengan sepatu pantofel hitamnya itu menjajahkan kaki masuk ke dalam lift apartemen. Setelah menekan tombol angka 6 sebagai tujuannya, pria itu lantas menyandarkan diri pada badan lift sambil mengetuk-ngetuk kepala dengan jari.

Setiap hari memang melelahkan.

Berada di umur 29 tahun, Hazel sangat siap untuk menerima cemooh karena dikatai perjaka tua atau tidak laku atau apalah itu. Baginya, membangun hubungan tidak sekedar saling suka lalu menikah. Sesuatu yang bertahan lama harus beralaskan akan pondasi kuat--sama halnya dengan sebuah bangunan.

Kalau kata orang dulu, terlalu berpikir akan membuat rambut memutih. Namun untuk Hazel, tak apa selagi masih ada produk moderen bernama cat rambut.

Sekali lagi, Hazel tetap meneguhkan prinsip pada pernikahan sehidup semati.

Toh, yang menjalin hubungan sampai akhir hayat nanti adalah dirinya dan pasangan, bukannya para manusia pemberi kabar burung.

Pintu lift terbuka.

Sebuah meja kayu panjang menyambut kedatangan Hazel di depan pintu lift. Hampir saja badan itu beradu dengan kerasnya meja jikalau Hazel tidak mengambil langkah ke samping kiri.

Alisnya mengernyit. Bertanya-tanya tentang siapa yang meletakkan meja ini di depan pintu lift? Bukan saja membahayakan, namun juga menimbulkan keributan apabila ada kecelakaan tak disengaja karena harus bertubrukan dengan benda panjang ini.

Dia masih saja memandangi meja tersebut.

Dilihat dari pahatan dan bentuknya, Hazel bisa pastikan bahwa ini adalah pembelian dari toko furniture berkualitas.

"Oh, gosh! I'm so sorry for bothering you. Maaf mejanya agak berat jadi saya masih nunggu petugas untuk bantu bawa ke apartemen say--"

"Fira?"

Gadis yang mendatanginya sambil terus menunduk dan berujar maaf itu mendongakkan badan. Hazel tersenyum lembut pada sosok Fira yang sudah berdiri tegap dengan kedua tangan menutup mulut.

"Pak Hazel?"

"Kamu kok disini?"

"Anu itu, Pak....saya penghuni baru di Nomor A59."

Hazel mengangguk pelan. "Ow. Saya di Nomor A60. Berarti kamu yang menempati bilik kosong itu yah. Pantas saja ada meja di depan lift. Mau saya bantuin bawa mejanya ke dalam?"

Fira tersenyum kikuk.

Bagaimana ini? Apakah takdir semesta mempertemukan dia dan Hazel untuk tinggal di gedung yang sama juga berdampingan? Mengapa Fira tidak bertemu Hazel kala dia melakukan pengecekan dan pembayaran? Kalau tahu seperti ini, Fira pasti akan berpikir ulang untuk menyewa apartemen ini.

"Fira? Halo? Jangan melamun." Hazel mencondongkan tubuhnya pada Fira, sambil melambaikan satu tangan di hadapan gadis itu.

"Oh iya, Pak? Gimana?"

"Mau saya bantuin bawa mejanya ke dalam?" Hazel mengulangi tawarannya.

"Apa gak merepotkan, Pak? Kayaknya Pak Hazel baru pulang kantor deh. Saya jadi sungkan."

"Upahmu gak akan kepotong, Fira. Tenang saja."

Sesi canggung itu tak berlangsung lama.

Hazel jadi yang pertama menggerakkan meja, dibantu oleh Fira yang ikut mengangkat benda itu sedikit menjauh dari permukaan lantai--tentu agar tak menimbulkan bunyi bising yang akan menyayat telinga mereka. Tiba di depan apartemennya, Fira membuka pintu pun bersama Hazel mereka bawa meja itu ke dalam. Tak lupa pula Fira menginstruksikan beberapa kalimat agar memindahkan meja sampai pada lokasi yang cocok baginya.

BABIBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang