Prolog

726 108 12
                                    


Avi membuka mulutnya dan menguap lebar-lebar. Anak lidahnya sampai terlihat.

Lima, dia menghitung dalam hati. Ini sudah kuapku yang kelima dalam tiga puluh menit terakhir. Firasatnya mengatakan dia akan menguap lebih banyak lagi.

Seorang cowok tambun berkacamata melongokkan kepala melewati pembatas kubikel. "Udah ketemu, Vi?"

"Beberapa ada yang menarik. Tapi kebanyakan cerita mistis atau yang berhubungan dengan kejadian supranatural."

Cowok tambun itu berdecak dan bangkit berdiri. "Nggak perlu yang unik-unik banget. Cukup ambil satu yang bikin lumayan penasaran aja."

Tapi bukan ini yang kucari, Avi membatin. Dia mengucak-ngucak matanya sampai merah, mengeklik sebuah surel di kotak masuknya, dan membaca isinya.

"Penampakan gadis Belanda di hotel tua."

"Terlalu biasa," komentar si kacamata.

"Pola-pola misterius di ladang perkebunan warga."

"Ulang para pemuda iseng. Udah pernah diselidiki."

"Hewan aneh berkepala dua yang meneror suatu desa."

"Nah, kalau yang itu gimana?"

"Pasti cuma salah lihat," balas Avi. "Sebagian besar saksi mata berumur di atas tujuh puluh tahun. Nggak ada hewan aneh berkepala dua. Mereka cuma perlu kacamata, Wa."

"Tapi di situlah lo bermain, Vi!" Dewa merangkul bahu Avi dengan lengannya yang gempal dan berbulu. "Lo tambahin bumbu-bumbu drama supaya jadi artikel yang menarik!"

"Gue wartawan, bukan penulis novel!" Avi memukul kertas-kertas itu. "Gue butuh cerita yang betul-betul menarik, Wa. Bukan omong kosong kayak begini."

"Oke, pertama-tama, rubrik Kisah Pembaca ini bukan untuk cerita-cerita omong kosong," Dewa mengernyit, tampangnya tersinggung. "Kisah Pembaca membagikan cerita-cerita yang unik dari pembaca kita. Slogannya: dari pembaca, untuk pembaca. Setengah dari surat pembaca yang kita terima berasal dari orang-orang yang mengalami peristiwa-peristiwa aneh dan kepingin kita selidiki. Itu adalah rubrik terfavorit di situs kita."

Avi bersandar jauh di punggung kursinya. Situs gaya hidup tapi kok membahas hal-hal mistis nggak jelas macam ini?

"Kedua, sebagai jurnalis fresh graduate di divisi ini, lo seharusnya bersyukur dikasih kesempatan menulis untuk Kisah Pembaca," Dewa melanjutkan, menyangka Avi sedang mendengarkan dengan khidmat. "Ini bisa jadi ajang pembuktian skill jurnalistik elo, Vi."

"Waktu lo baru masuk, pertama kali lo disuruh pegang apa, Wa?"

"Sport. Isinya kebanyakan liputan pertandingan bola."

Setidaknya itu lebih baik daripada Kisah Pembaca. Avi merasa sedang dipermainkan, bukan diuji. "Menurut gue ini bukan rubrik yang tepat untuk mengasah skill gue, Wa."

"Pak Bos sendiri yang menempatkan lo di Kisah Pembaca," tukas Dewa sedikit tajam. "Itu sebuah kehormatan besar, Vi. Kalau gue jadi elo, gue nggak akan bersungut-sungut."

Kehormatan besar? Dia hanya tersenyum kecut pada Ben yang pergi ke pantry untuk membuat kopi. Ajang pembuktian keahlian jurnalistik, ya. Baiklah... Avi menutup mata, mengarahkan tetikus ke arah deretan surel dari pembaca itu, dan mengeklik asal saja.

Saya tahu cerita ini kedengaran tidak masuk akal.... Avi membaca isi surel itu. Tapi ini nyata. Saya mencubit lengan saya berkali-kali saat peristiwa itu terjadi. Kejadiannya dua minggu lalu, di bangku halte Jalan X....

Sekujur lengannya merinding.

"Wa! Ini, Wa!"

"Eeh, awas Vi, ini kopi panas lho!"

"Udah ketemu!" Avi menunjuk layar komputernya "Coba baca ini!"

Dewa menaruh gelas kopinya dan membungkuk di depan monitor Avi. Dia membaca cepat, matanya bergulir sistematis dari kiri ke kanan seperti mesin ketik. "Sudah lima tahun tidak bicara... menyesal hubungan kakak adik merenggang... berharap bisa bertemu kembali tapi terlambat, hmm..." Dewa menggaruk-garuk pipinya yang tembam. "Kita pernah beberapa kali dapat surat yang seperti ini."

"Terus kenapa nggak pernah diselidiki?"

Dewa mendengus. "Karena konyol."

"Ta-tapi..." Avi gelagapan membaca kembali isi surel itu. "Ibu Diana ini bilang, dia ketemu dengan kakaknya yang sudah meninggal."

"Di bangku halte," Dewa menyembur tertawa. "Yang itu baru salah lihat. Ibu itu yang perlu kacamata baru. Lagi pula, nggak ada seru-serunya sama sekali."

"Saya mengobrol dengan Delia selama sepuluh menit," Avi membaca isi surel itu keras-keras. "Meski tahu Delia sudah meninggal, tapi saya sama sekali tidak takut padanya. Dia kelihatan segar seperti waktu masih hidup, tidak pucat atau mengerikan seperti hantu. Saya ingin minta maaf karena sudah mengecewakan Delia, tetapi tidak pernah berani bicara padanya karena kami pernah bertengkar hebat sampai tidak bicara lima tahun lalu. Lalu Delia mengalami kecelakaan mobil..."

"Akhir tragis supaya emosional. Sinetron banget." Dewa mencibir. "Mana ketemunya di siang bolong lagi. Mungkin itu hantu yang lagi promosi produk tabir surya."

"Sore, sekitar jam enam," Avi mengoreksi. "Ibu Diana sedang menunggu bus untuk pergi ke rumah kerabatnya. Halte itu tampak seperti halte lainnya, begitu juga bangku—"

"Pemanggil arwah," potong Dewa tidak jelas. "Sejenis anak albino—"

"Indigo."

"Iya, itu maksud gue. Peramal tarot, pembaca aura, sejenis itu," cetus Dewa. "Kalau ceritanya diterbitkan di Kisah Pembaca, bisnis mistisnya bakal laris. Pasti itu tujuannya."

"Bu Diana bilang dia cuma ibu rumah tangga biasa."

Dewa memutar bola matanya dan terbahak lagi. "Udahlah, Vi. Nggak perlu buang-buang waktu sama cerita itu. Nih, ambil aja yang tentang hantu noni Belanda. Itu cukup aman."

Avi tidak setuju. Halte Penghubung Alam Baka—membayangkan judul itu saja sudah membuatnya merinding. Dia tahu ini akan jadi tulisan yang menarik untuk Kisah Pembaca.

"Wa, lo bilang ada surat-surat pembaca lain yang pernah menyebut soal halte ini?"

"Seingat gue ada tiga atau empat."

"Di mana surat-surat itu?"

Halte Alam Baka [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang