31. Setelah Halte Menghilang

191 54 0
                                    


Suara ombak yang menghantam karang bergema di kejauhan. Sekelompok muda-mudi sedang berenang di pantai; suara mereka bergabung dengan debur ombak. Beberapa orang sedang memotret, ada juga yang menggelar tikar dan piknik di pasir. Mereka sibuk menikmati kegiatan masing-masing. Tidak ada yang memerhatikan seorang nenek berkacamata hitam yang duduk di pondok bambu di bawah pepohonan kelapa.

Tessa melepas kacamata hitamnya dan memijat-mijat pangkal hidung. Ini daerah yang tenang dan orang-orangnya menyenangkan. Pantas saja Gama memilih tinggal di sini.

Meski baru sehari tinggal di sini, Tessa sudah melupakan kesibukannya. Dia bahkan tidak memusingkan persiapan kampanye yang akan dimulai. Sudah lama sekali dia merasakan ketenangan seperti ini sehingga sekarang dia tidak ingin cepat-cepat melepaskannya. Ada sisi dirinya yang ingin membeli tanah di daerah ini dan mendirikan resor—tempat peristirahatan bagi para politikus dengan banyak tekanan seperti dirinya. Pasti uangnya banyak. Tapi tidak, Tessa tidak mau merusak kedamaian tempat ini.

Seseorang mendekatinya sambil memegang tongkat. Butuh beberapa detik bagi Tessa untuk menyadari bahwa orang itu adalah kakaknya. Dia masih belum terbiasa melihat Gama yang tua dan bertongkat ini, meski Tessa sendiri sudah berumur. Mungkin tak lama lagi aku juga akan butuh tongkat, pikirnya, mengamati bagaimana Gama bertumpu pada benda itu. Dan sudah saatnya meninggalkan sepatu berhak dan menggantinya dengan sepatu ceper. Dia tidak begitu peduli sekarang. Tubuhnya memang sudah selalu nyeri di mana-mana.

Gama menyapanya. Tessa menuntunnya ke dalam dan mendudukkan Gama di kursi. Kedua kakak beradik itu kemudian diam, pandangan mereka terarah ke laut, telinga mereka menikmati suara-suara pantai.

"Kapan kamu balik, Tes?"

"Belum tahu."

"Tapi kampanyenya...."

"Apa aku boleh tinggal lebih lama? Kamu nggak keberatan kan, Gam?"

"Tidak sama sekali. Tinggal saja selama kamu mau."

Kakaknya tidak pernah pelit. Sedari mereka kecil, Gama tidak pernah memberi batasan jelas antara miliknya dan milik adiknya. Tessa sendiri selalu menganggap barang Gama adalah miliknya juga. Mungkin karena dia si sulung. Tessa tertawa dalam hati. Selalu dituntut berbagi.

"Rumah nomor enam belas itu... dijual, ya, Gam?"

"Ya. Pemiliknya pindah ke kota. Kenapa, kamu mau beli?"

"Mm-hmm. Jadi tempat berlibur. Aku suka tempat ini."

"Aku juga."

Keduanya terdiam lagi. Tessa menghitung: sudah sepuluh tahun dia tidak bicara dengan kakaknya. Tessa tidak terlalu suka reuni yang emosional, jadi dia bersikap biasa saja. Agaknya Gama juga menyukai ide itu.

"Jadi kita menemukan dia. Kasih...."

"Ya. Lebih tepatnya, dia yang muncul di sini."

"Setelah semua yang kulakukan untuk mencarinya..." Tessa tertawa geli. "Dia datang sendiri. Aku masih sulit percaya ini betul-betul terjadi."

"Aku yakin orang-orang akan menganggap gila kalau kita cerita soal apa yang kita lihat kemarin pagi," kata Gama. Tangannya yang keriput meremas-remas kepala tongkat.

"Terkadang aku masih sulit percaya Reno sudah meninggal. Saat menengok ke halaman dari ruang kerjaku, sekilas aku sering melihat Reno pulang naik motor."

Halte Alam Baka [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang