15. Dira

141 57 0
                                    


"Roti cokelat kacangnya habis."

Inke masuk ke dapur sambil mengangkat setumpuk nampan kosong. Ditaruhnya nampan-nampan itu di meja. Dira yang sedang mengelap meja meletakkan kain lapnya.

"Yang benar? Ini kan baru jam dua siang."

"Buat apa aku bohong, Mas? Nih kamu lihat sendiri, nampan-nampannya kosong."

"Padahal hari ini kita udah bikin porsi ekstra, lho."

"Artinya besok kamu harus bikin lebih banyak lagi." Inke tersenyum. "Itu memang varian yang paling laris, kan? Para orangtua di kompleks suka borong buat anak-anaknya."

Bel di pintu berbunyi. Dari celah tembok, tampak sekumpulan siswa SMA bertampang lapar melangkah masuk. Inke menepuk pundak Dira untuk memberi semangat dan bergegas kembali ke meja kasir sambil mengucapkan selamat datang dengan ceria.

Tingkah antusias sang istri yang seperti remaja membuat Dira tertawa. Padahal waktu mereka baru pindah ke sini, Inke selalu cemberut dan bersungut-sungut. Namun rupanya toko roti ini telah membangkitkan semangat keluarganya. Dira mengambil nampan-nampan itu dan mencucinya sambil bersiul-siul. Ternyata nenek itu benar. Dia terkenang pertemuannya dengan si nenek misterius berjaket rajut dua bulan lalu. Toko roti ini sukses besar.

Sudah dua minggu Toko Roti Aneka buka, dan mereka selalu kebanjiran pelanggan. Banyak yang terang-terangan berterima kasih pada Dira karena sudah membuka toko itu, karena toko-toko makanan masih jarang di daerah situ. Lebih banyak lagi yang memuji-muji rasa roti dan kue di toko—hasil racikan resep-resep legendaris milik ibu Inke. Tak hanya membeli langsung di toko, banyak juga yang memesan untuk acara-acara seperti meeting kantor atau arisan. Dira dan Inke harus mulai bekerja dari subuh untuk memenuhi pesanan. Dan tampaknya mulai hari ini mereka harus bangun lebih pagi lagi.

Dira kelelahan, tetapi rak-rak yang kosong setiap jam tutup toko selalu membuatnya bersyukur. Meski awalnya ide membuka toko roti ini kedengaran sinting, namun ternyata niat itu amat dimudahkan. Harga sewa ruko ini lumayan murah—rupanya pemiliknya adalah orang kaya yang membeli properti hanya untuk investasi, tanpa ada niat untuk dijadikan bisnis sama sekali. Panggangan, rak-rak dan alat-alat toko lainnya mereka beli second dari kenalan Bu Tjokro yang pernah punya pabrik roti. Dira merasa seakan dia memang ditakdirkan untuk punya toko roti.

Setelah beres-beres di belakang, Dira bergabung pergi ke depan. Inke sedang melayani pelanggan lewat telepon. Lewat catatan kecil, dia memberitahu Dira bahwa mereka menerima tiga lusin pesanan roti abon untuk lusa. Anak-anak SMA itu sedang makan sandwich di meja dekat tangga sambil mengobrol.

Tiba-tiba terdengar alunan musik dari lantai atas. Lagu baru, batin Dira.

"Itu kan...." Gadis SMA berjaket merah dan duduk paling dekat tangga mendongak.

"All My Life," sahut cowok berambut belah tengah di sebelahnya. "K-Ci & Jojo."

"Tapi akustik." Temannya yang berkacamata menimpali. "Piano, lho."

"Itu dari CD ya, Om?" tanya gadis lain yang memakai bando pada Dira.

"Oh, bukan CD. Itu anak saya. Namanya Kai."

Keempat remaja itu ber-ooh paham.

"Anak Om pemusik?" lanjut si jaket merah.

"Yah, sejenis itu. Tapi Kai nggak pernah belajar musik."

Empat orang itu menatap Dira kebingungan. Si kacamata mengernyit. "Maksud Om?"

"Anak saya bisa mendengar suatu lagu, dan langsung memainkannya di piano. Dua tahun lalu, saya dan istri mengajaknya jalan-jalan ke mal. Di atriumnya ada pameran alat-alat musik. Tiba-tiba Kai mampir ke satu piano dan mulai memencet tuts-tutsnya. Awalnya kami pikir dia cuma penasaran, tapi tiba-tiba dia mulai memainkan Always Be My Baby—"

"Mariah Carey," sela si belah tengah yang disambut gumam setuju teman-temannya.

"Kai mendengar lagu itu di radio mobil, dalam perjalanan ke mal." Dira melepas celemeknya dan bergabung dengan anak-anak itu. "Saya dan istri juga kaget. Sejak saat itu saya membelikan Kai piano dan membiarkannya berlatih."

"Keren banget!" decak si gadis berbando. "Kenapa nggak dikasih kursus musik, Om?"

"Karena Kai nggak mau. Dia... tidak bisa diajari dengan cara seperti itu."

"Anak Om umurnya berapa? Sekolah di mana?"

"Dia seumuran kalian. Kai...." Dira terhenti. Seharusnya Kai seperti kalian, nongkrong sambil tertawa-tawa, menikmati masa muda. "Kai... homeschooling—sekolah di rumah."

"Kenapa?" tanya si kacamata. "Anak Om sakit?"

Dira merasakan tatapan Inke sedang mengebor tengkuknya. Dia melirik ke mesin kasir dan melihat istrinya sedang memelototinya, memberi peringatan. Jangan cerita apa-apa.

Perasaan Dira berkecamuk. Kai hampir selalu sendirian. Anak-anak ini membuatnya sadar betapa banyak hal yang dilewati Kai. Apalagi sejak kami membawanya pindah ke sini, Kai betul-betul tidak punya teman lagi. Tidak seperti Inke yang terlalu khawatir, Dira merasa sebetulnya Kai baik-baik saja. Hanya sedikit berbeda. Tapi setiap manusia memang berbeda?

"Om?" Si rambut belah tengah menegurnya.

"Tahun depan Kai sudah punya KTP, Mas."

Kata-kata Inke itu menamparnya. Suatu hari nanti, aku dan Inke akan pergi. Tanpa kami, apa yang akan terjadi pada Kai? Apa dia sanggup bertahan seorang diri? Bukankah sudah saatnya mengenalkan Kai pada orang lain selain kami?

Dira melirik empat remaja itu sekilas dan melakukan penilaian cepat. Seragam rapi, tak ada kemeja yang dikeluarkan atau rok yang kependekan. Yang cowok juga bawa tas, bukan hanya selembar buku yang disisipkan di belakang celana. Tampaknya anak-anak baik.

Mungkin mereka bisa menerima. "Kai autistik."

"Autistik?" Keempat remaja itu berseru berbarengan.

"Mas!" tukas Inke tajam, secara tersirat meminta Dira tutup mulut. "Di dapur—"

"Kalian." Dira mengeraskan suaranya untuk mengatasi Inke. "Mau naik ke atas dan bertemu dengan Kai? Om rasa Kai bakal senang kalau ada yang menonton permainannya."

Halte Alam Baka [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang