Berangkat.

7 0 0
                                    

-

Jam dinding menunjukkan angka empat lebih dua puluh lima, Hani bangun lebih dulu daripada Mahen. Dengkuran halus Mahen menjadi irama bernada yang menemani dirinya kembali merenungi tentang alam semesta.

Maklum tadi malam mereka tidur jam dua pagi, Hani rasanya gak tega membangunkan Mahen apalagi hari masih berkabut seperti ini. Sebenarnya ia juga masih terkantuk mengingat ia hanya tidur dua jam.

Ia beranjak menuju toilet yang memang ada di dalam kamarnya, mengambil air mengalir untuk wudhu. Lalu menjalankan ibadah sebagaimana kewajibannya sebagai seorang yang beragama.

"Udah bangun bang? Masih jam lima, tidur aja lagi nanti jam enam gue bangunin" Kata Hani sesaat setelah ia selesai berdoa, meminta perlindungan pada Tuhan untuk kelancaran perjalanan hari ini.

Mahen menggeleng perlahan lalu menguap, "Nanti bablas, lu kok gak bangunin gue buat shalat sih?"

"Lo pules banget bang gue kira lo butuh tidur banyak, yaudah sono mumpung masih jam lima"

Mahen mengangguk, melangkahkan kaki dengan sedikit terhuyung memasuki kamar mandi.

••

Pukul enam lebih lima belas pagi.

"Udah siap semua? Ada yang ketinggalan gak?" Tanya Bagas.

Mahen dan Hani menggeleng, "Aman! Pamitan sama ibu dulu ya? orangnya di dalam"

"Bu! Ini ada Mas Adit sama Bang Bagas!!" Hani berteriak.

Terlihat ibu mengusapkan tangannya pada kain daster berwarna ungu, khas ibu-ibu. Menggosokkan tangannya ke kain agar tangannya kering.

"Oh iya iya!! Hati-hati ya Le, Bagas, Adit, Mahen. Ndek sana banyak berdoa, jangan ngelamun. Permisi dulu tiap mau kencing, Ya?"

Mereka semua mengangguk, "Kalo gitu Bagas pamit dulu ya, Bu. Mohon restunya"

"Adit juga pamit ya tante, doain kami"

"Mahen berangkat dulu ya bu, nitip salam ke ayah"

Ibu mengangguk, menyalami dan memeluk mereka satu persatu.

"Doa ibu selalu sama kalian ya, pergi slamet pulang slamet ya, Le"

Mahen, Bagas dan Adit lebih dulu memasuki mobil, menunggu Hani berpamitan.

"Bu, Hani mohon restu ya. Hani berangkat dulu. Doain Hani terus ya Bu. Hani janji bakal baik-baik aja." Kata Hani.

Pelukan ibu seakan tidak mau ia lepaskan, jujur kali ini hatinya terombang ambing.

"Ibu kasih restu nak, ingat kata ibu ya. jangan lupa mampir ke rumah kakung, beliau menunggu."

Fortuner milik Adit berjalan pelan meninggalkan latar luas milik rumah Hani, meninggalkan Ibu yang tersenyum kearah mereka sambil melambaikan tangannya.

Hani terenyuh, "Gila, mau berangkat muncak aja kaya mau kemana anjing gue sedihnya"

Ketiganya mengulas senyum, mencemooh Hani bercanda.

••

Stasiun pasar senen pagi itu lumayan ramai, banyak pedagang yang duduk melipir di depan pintu masuk hingga pintu keluar.

Mereka sempat membeli nasi uduk dan beberapa jajan pasar untuk sarapan nanti di dalam kereta guna mengganjal perut, melihat perjalanan masih sangat jauh dan perut mereka yang mulai keroncongan karena tidak sempat sarapan tadi.

Hani menenteng tas berwarna coklat tua berisi beberapa snack dan air mineral untuk perjalanan di kereta dengan semangat, di belakangnya tertengger carrier yang cukup besar dibandingkan tubuhnya.

Mereka berdiri diantara banyaknya manusia yang menunggu kedatangan kereta, Sawunggalih. Kereta jurusan Pasar Senen-Karanganyar, tertulis di kertas tipis berwarna biru muda itu bahwa keberangkatan mereka pada jam tujuh lebih dua puluh.

Mahen menghisup udara stasiun dan menghembuskan napasnya lemah. Jujur, sekali lagi hatinya seakan ragu untuk melanjutkan misi pendakian ini. Adit yang melihatnya segera merangkul, "Nanti di kereta, lo bakal tau indahnya alam kita Hen"

Mahen tersenyum, tanpa pandangan mereka tau. Bagas ikut tersenyum, sangat tipis. Mengetikkan pesan singkat di ponselnya.

'Mah, Bagas keluar. Nanti kalo tidur di kunci aja, Bagas kabarin kalo Bagas mau pulang. Jaga diri jangan minum banyak-banyak'

Dari dalam speaker terdengar pengumuman kedatangan oleh petugas, tak lama setelah itu angin berhembus kencang didampingi oleh Sawunggalih yang menderu pelan untuk berhenti. Angin yang menyibakkan rambut mereka riuh, menunggu sampai Sawunggalih berhenti untuk pergi.
Mereka berempat menghembuskan napas pelan, menaiki gerbong dan mengucapkan selamat tinggal pada Pasar Senen yang masih hangat seakan tak ingin mereka pergi dan akhirnya kembali dingin.

"Ini kursi kita, 13 a,b dan 14 c,d. Carrier taro atas semua, yang dibawah yang kecil-kecil aja. Kalo mau cas silahkan, isi powerbank." Ujar Adit.

Hani mendudukkan pantatnya pada kursi yang lumayan dingin, mengeratkan jaketnya. Padahal matahari beranjak tinggi, namun udara seakan bertolak belakang. Dingin sekali. Yang lain melakukan hal yang sama, mengeratkan jaket mereka lalu menggosokkan kedua telapak tangan dan meniupnya.

"Gila sih, ini kereta adem bener" Celetuk Mahen.

"Berapa jam sih buat sampe ke karanganyar?"  Sambungnya.

"Mungkin tujuh sampai delapan jam kalo gak molor keretanya, paling lama ya sepuluh jam. Biasalah, ekonomi. Banyak crash nya" Hani menjawab, sedikit banyak tau tentang rute perjalanan karena ia sering menaiki Sawunggalih untuk pulang.

"Gila hampir setengah harian dong kita??" Mahen terkaget.

Adit terkekeh kecil, "Ya makanya nyantai aja nikmatin tuh, bagus kok nanti view nya. Lo bawa kamera kan?"

'Bugh.. Bugh'

Mahen menepuk tas kamera yang sejak tadi menggantung di pundaknya, "Aman bos"

Peluit panjang kembali terdengar, yang pasti suaranya sayup terdengar karena tertimbun oleh suara manusia, Sawunggalih melaju pelan, benar-benar meninggalkan riuhnya perkotaan. Perjalanan dimulai.

"Wanjir nasi uduk stasiun nih bener kaga ada yang ngalahin dah" Kata Adit, mengunyah dengan cepat seolah nasinya akan kabur meninggalkan mulutnya.

"Emang biasanya nasi uduk gimana bang?" Hani bertanya.

"Hmm, kadang ada yang gak sesuai sama lidah gue sih. nasinya gak kaya gini dah pokoknya."

Bagas memperhatikan ketiga sahabatnya, mengeluarkan ponsel lalu memotret nasi uduknya.

"Dih, tumben banget nge-pap" Kata mahen.

"Dokumentasi broo" Ujar Bagas.

"Gaya-gayaan lu" Kata Adit.

Sawunggalih semakin cepat, merapat dari satu stasiun ke stasiun yang lain. Ramai sekali di gerbong ini, ujar hati Hani.

Biar Hani jelaskan. Gerbong mereka terisi hampir penuh, menyisakan kursi di penghujung setiap pintu penghubung. Seperti tempat mereka duduk, hanya kursi samping mereka yang kosong.

Tapi Hani tidak merasa seperti itu, dalam penglihatannya kursi itu penuh.
Kursi kosong yang Bagas, Mahen dan Adit lihat terisi penuh oleh mereka yang menumpang pergi.

Mereka yang tanpa sadari menghabiskan energi Hani. Mereka menatap empat pria muda itu dan berusaha berkomunikasi saat mereka tau bahwa Hani dapat melihat mereka. Namun Hani acuh, gak lucu juga kalo tiba-tiba gue kesurupan disini, katanya dalam hati.

"Bang, bangunin gue setengah jam lagi yak. Gue ngantuk, mau tidur." Kata Hani menyenggol Mahen yang ada disebelahnya.
Dengan kepala yang tersender di bahu jendela kereta, ia terlelap.

BROKEN COMPASS [ ON GOING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang