•••
HANI POV
Kami mulai berjalan perlahan, merayap seperti semut di tengah kegelapan. Jalanan berupa jalan cor yang cenderung melandai selepas gapura pendakian tidak terlalu membuat kami terburu-buru.
Kalau kata Bang Bagas, kami akan bertemu pos 1 dengan estimasi perjalanan 50menit - 1 jam. Biar aku jelaskan bagaimana urutan kami berjalan.
Jalan dipimpin oleh Bang Bagas, di ikuti oleh Bang Mahen, lalu Aku, terakhir Bang Adit di belakangku.
Jalanan yang turun dan naik sepanjang hampir 600 meter membuat kaki kami cukup tegang, malam yang dingin bukan berarti membuat kami tidak mengucurkan peluh. Untung fisik kami sudah terlatih selama 3 hari sebelum berangkat.Untuk mengusir kantuk yang menyerang, kami berbincang satu sama lain. Tak sadar bahwa kami yang semula berjalan berurutan menjadi bersampingan.
"Masih lama Bang?" tanya Bang Mahen. Sejak sore tadi raut wajahnya seperti orang ketakutan, aku memakluminya karena aku pun sama takutnya. Kalian bayangkan saja siapa yang tidak takut berjalan di antah-berantah hanya dengan tiga orang yang sama takutnya dengan kalian.
Aku menyahut "Yaelah Bang, baru juga jalan."
"Ya. Gue make sure aja"
"Santai aja, Hen. Btw, kalo cape kalian bilang ya. Satu capek, semua berhenti" Kata Bang Bagas.
Lima belas menit berjalan, rasanya seperti satu jam. Entah mengapa malam ini jam bergerak sangat lamban. Mungkin kami semua sedang kelelahan. Rasanya kami tidak bergerak maju karena masih terus saja terhimpit oleh perkebunan milik warga.
Kami menghibur diri dengan sambung lagu, tak lama Bang Adit dari belakangku berteriak meminta istirahat.
"Kenapa Dit?'' tanya Bang Bagas.
Bang Adit menggeleng pelan, "Gakpapa, kaki gue rasanya mau keram."
"Lurusin aja Bang," Ujar bang Mahen.
Perjalanan dilanjutkan, Kaki Bang adit yang sebetulnya bukan hendak kram otot. Namun, sesuatu tengah menempel pada kakinya, seorang anak kecil terlihat mencengkeram betis Bang Adit.
Berisik sekali, di antara ratusan atau bahkan ribuan suara yang riuh di kepala. Aku menjumpai dengan samar suara Mendhut. Sosok yang diutus Eyang Kakung untuk menjaga kami, setidaknya itulah yang kupikirkan.
Suaranya halus seperti hembusan angin, mengatakan bahwa petaka sudah dimulai. Aku mengerjapkan mataku berusaha menghilangkan kantuk. Suara Mendhut kian membesar di kepalaku, lalu hening.
'Ah! Gue gak suka keheningan ini!' Batinku berteriak.
Seolah dari segala penjuru arah sedang melihat kami, mengintai dan haus darah. Tapi hanya sejenak karena detik berikutnya suara bising kembali memenuhi ruang kepalaku.
Bang Mahen mensejajarkan kakinya dengan kakiku, seperti meminta penjelasan. Aku hanya menggeleng tanda tak perlu khawatir, aku masih bisa menahannya toh seperti ini sudah menjadi hal yang biasa untukku.
"Han, sekarang jam?" Suara Bang Adit memecah keheningan.
"12 lebih 15'' Kataku. Berarti sudah satu jam lebih 10 menit kami berjalan.
Tak lama setelah itu kami tiba di Pos 1 Mbah Branti. Pos ini hanya berupa tanah datar yang mungkin luasnya seukuran tenda berkapasitas 3 orang, kami menjumpai gubuk sederhana dengan lima tiang kayu dan atap seng yang ala kadarnya. Entah mengapa pos ini dinamakan Mbah Branti, mungkin nanti kalau kami turun aku akan bertanya dengan Mas Hito, ah... Belum sehari saja aku sudah merindukan kopi pahit buatan Budhe.
Gemerlap lampu jalanan terlihat dari atas kaki kami berpijak, indah sekali.
Kami mendudukkan pantat sejenak sebelum tengah malam melanjutkan perjalanan, makan snack dan minum dengan pemandangan lampu jalanan di bawah sana. Senterku mengarah lurus pada satu pohon sedang yang ada di sebelah gubuk. Sepasang mata merah menongolkan bentuknya kepadaku.
Belum sempat aku berdiri untuk menghampirinya, suara Mendhut memenuhi kepalaku lagi. "Ojo.. Kui jebakan!" (Jangan.. Itu jebakan!) disusul oleh Bang Adit yang dengan santai nya bersandar di pundakku.
"Han, Gue boleh nanya gak?" Ujarnya lirih.
"Apaan bang?"
"Lo, bisa liat setan?" Tanyanya to the point, Ya Tuhan ingin tahu sekali manusia satu ini.
"Kenapa emangnya Bang?" Jawabku pura-pura.
"Gak papa, nanya doang"
"Bukan urusan elu kali Dit, udah Hani gausah lu gangguin" Bang Bagas menyerobot. Untung nya.
"Bang sepet nih mulut, nyebat boleh gak?" Tanya Mahen dihadiahi oleh anggukkan dari Bagas.
"Jir, naik gunung capek juga ya haha" Mahen menyeletuk.
"Capek-capek gitu nanti diatas terbayarkan kok sama lautan awan nya." kata Adit.
"Lo, belum kebiasa aja Hen."
"Gapapa capek, yang penting selamat" Hani spontan.
Hening.
Hening.
"Ehm guys, 5 menit lagi kita jalan ya. nanti bangun tenda di pos 2 aja. Tanahnya lebih luas dari pos 1 ini" Bayu bersuara.
HANI POV END
AUTHOR's POV
Mereka berempat melanjutkan perjalanan, menyusuri jalan setapak yang semi basah karena sudah memasuki musim penghujan.
Vegetasi yang rapat namun agak terbuka membuat mereka berempat harus memaksa mata mereka 'terbangun'.
Adit kembali meminta break ditengah perjalanan setelah melewati trek seperti anak tangga yang meliuk. Ia seperti dikejar kejar oleh sesuatu, padahal di sekitarnya hanya ada pohon-pohon dan 3 orang pria muda.
Napasnya ngos-ngosan, "Minum dulu Bang" Kata Hani.
Hani menyodorkan botol besar air mineral, segera Adit menerima dan meminumnya. Bagas keheranan melihat Adit yang sebentar-sebentar meminta istirahat, seolah Adit adalah pria tua yang sedang melakukan pendakian. Namun, Bagas simpan itu sendiri, tidak mau adik-adiknya khawatir.
Kompas yang sejak tadi ia pegang, dilempar kearah Mahen. "Lo baca kompasnya, gue dibelakang lo" Ujarnya.
"Yok!"
Mahen mendelik kearah mereka bertiga, yang bener aja. Ia mana bisa membaca kompas, boro-boro kompas. Membaca maps saja masih sering nyasar hadeh..
Hani merebut kompas itu dari tangan Mahen, mendecak lalu mendahului Mahen. "Ikuti saya" Banyolnya.
"Jiakh bisa aje pak" Kata Bagas.
Mereka mengikuti Hani, meninggalkan kemegahan lampu duniawi. Dengan kondisi Adit yang setiap seratus meter minta berhenti, mereka yakin tidak akan sampai di pos 2 dengan tepat waktu.
Benar dugaan Hani, setelah berjalan sekitar seratus lima puluh meter Adit meringis kelelahan. Benar-benar membuat Mahen dan Bagas bertanya-tanya.
"BREAK!!" Teriaknya dari belakang.
"Tolong.. Jangan.. Cepet-cepet.. Gue.. Sesek" Ujarnya.
Hani tak acuh, tangannya mengeluarkan botol minum untuk kesekian kalinya, membacakan doa yang diajarkan Kakung nya, lalu menyodorkan botol itu di depan Adit.
"Minum, Bang. Bismillah"
Adit minum dengan cepat, menyisakan setengah botol air. Rasanya tenggorokan miliknya seperti kering kerontang kehabisan air ludah. Ia juga keheranan, dari ratusan trek yang sudah ia lakukan mengapa ia lemah sekali disini.
'Koncomu iku golek molo, awakmu kabeh bakal ciloko hi hi hi hi hi' Suara tertawa Mendhut pekak di telinga Hani. Ia menutup telinganya rapat-rapat berharap agar suara sialan itu menghilang. Namun, bukannya makin menghilang suara itu makin kencang seolah siap untuk memecah gendang telinga miliknya.
"Meneng!!!!" (Diam!!!) Teriaknya memekak kegelapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BROKEN COMPASS [ ON GOING ]
Terror⚠️Disclaimer: Cerita ini hanya imajinasi author. ⚠️ Empat pemuda itu berhenti berlari, sekelilingnya sudah dikuasai oleh kegelapan. "Dimana sih ini sebenernya?" "Gue capek, Bang" "Kompas nya nyuruh kemana?" "Kesini" telunjuknya menunjuk kedalam gela...