--
Sore sebelum mereka minta ijin ke orang rumah..
Mahen melangkahkan kaki ke kantin fakultas mereka, matanya menyipit mencari pria berbadan tegap dan memakai kacamata baca dengan laptop berbalut casing biru dongker didepannya.
Menelisik diantara kerumunan mahasiswa yang sedang menikmati waktu luang, ia menemukan Bagas duduk sendirian di antara puluhan mahasiswa.
"Bang" sapanya.
Bagas mendongak, mempersilahkan Mahen duduk di hadapannya. Ia melanjutkan research tentang pendakian mereka, lalu mengetikkan sesuatu di benda pipih keluaran terbaru miliknya.
Mahen menunggu, perasaan nya sudah bergejolak. Sumpah demi apapun, ia masih tak habis fikir dengan jawaban Bagas yang di berikan kepada Hani. Orang gila mana yang mengajak pendaki amatiran langsung tanpa aba-aba menaiki gunung dengan sejuta teka-teki itu, kalau bukan Bagas.
Tak lama setelahnya, Bagas menutup laptopnya. Mencopot kacamata baca yang sejak tadi bertengger di daun telinga juga hidungnya.
"Gimana, Hen?" Tanya Bagas, kepalanya ia miringkan kekanan dan kekiri guna mengusir pegal yang sejak tadi menyerang.
"Lu yakin Bang mau ngajakin kita ke Lawu?" Mahen membalikkan pertanyaan.
"Iya lah.. Kenapa? Lo takut?"
"Bukan masalah takut atau kaga nya Bang. Gue sama Hani ini nol pengalaman, yang bener aja lu" Mahen menggontok.
"Udah lo tenang aja, ada gue sama Adit."
Mahen mengeryit, hanya ber empat?
"Cuma ber empat? Kaga jadi serombongan?" Tanya Mahen, jujur ia sudah tidak tau lagi mau bertanya seperti apa.
"Kita berangkat dari sini ber empat, ntar nyampe sana banyak kok pendaki-pendaki laen. Gausah khawatir, lo tinggal nikmatin aja perjalanan ini. Seru dah pasti" jelas Bagas.
"Dulu gue malah cuma sama Adit doang ke Semeru. Bener-bener cuma ada tiga kelompok, empat sama gue. Aman-aman aja kok, lo tenang aja. Besok siang atau secepatmya kabar kalian gue tunggu. Karena tanggal empat belas sore udah kudu packing, nanti gue sama Adit bakal jemput lo dan Hani tanggal lima belas jam tujuh pagi. Semua transportasi udah gue urus, tinggal berangkat aja. Gimana?" Sambung Bagas.
"Yaudah kalo gitu, gue nunggu Bapak gue jawab. Kalo-kalo besok gue gak ngabarin berarti gue gak jadi ikut." Ujar Mahen.
"Lo usahain lah, Hen. Masa lo gak pengen muncak bareng-bareng sih? Semua transportasi udah aman nih, jangan nyia-nyia in kesempatan lah. Gue tunggu sampe besok siang, gue harap jawaban lo memuaskan, Hen. Kalo gitu gue duluan, mau ketemuan sama Adit" Sambung Bagas.
Bagas menepuk pundak milik Mahen, seakan menyadarkan Mahen bahwa ini kesempatan emas yang entah kapan lagi akan dia dapatkan.
'Han, lu dimane?'
'Lagi di jalan, kenapa Bang?'
'Ketemu gua di warung Mang Een yak. Ada yang mau gua omongin, soal Bang Bagas'
'Otw bang'
Setelah telpon singkat itu, Mahen melangkahkan kakinya jauh. Pergi kearah parkiran, mengendarai motornya menuju arah pulang, bertemu di titik tengah antara komplek rumahnya dan kampung rumah Hani. Warung Mang Een, warung yang kerap kali Hani dan Mahen datangi ketika mereka kelaparan ditengah malam hari. Dari mereka bertiga, hanya Bagas yang rumahnya berjarak lumayan jauh. Jika dijabarkan, jarak antara Mahen dan Hani hanya sepuluh menit perjalanan, sedangkan Bagas harus menempuh waktu sekitar empat puluh menit untuk sampai ke rumah mereka berdua.
"Bang nasgor ati satu ya" kata Hani. Mang Een hanya mengangguk, Hani melangkahkan kakinya kearah Mahen yang sudah lebih dulu menyantap nasi gorengnya.
"Makan"
Hani mengangguk, "Sok" katanya. Sambil menunggu nasi gorengnya matang, Hani mengambil kacang yang ada disamping dia. Mengunyahnya, rasa asin garam dan micin langsung memenuhi mulut kering dan mengisi sedikit dari bagian lambungnya.
Sepuluh menit berlalu, nasi goreng ati kesukaan Hani datang dengan masih mengepul panas. Ditambah dengan kerupuk udang yang membuat tampilan nasi goreng porsi kuli itu nampak sedap dipandang.
Mahen sudah selesai, ia meneguk es teh lalu fokusnya beralih pada Hani yang sedang menikmati makananya.
Di sepanjang kegiatan Hani, Mahen menceritakan senua yang ia bicarakan dengan Bagas saat tadi mereka bertemu di kantin Fakultas, tanpa terkecuali.
Mahen tak lupa membicarakan tentang rasa sungkan yang ia rasakan saat Bagas mengatakan bahwa Bagas ingin mendapat kabar baik dari mereka berdua, yaitu ikut dalam pendakian.
Hani hanya manggut-manggut, selera makan yang awalnya menggebu hilang tiba-tiba dan terganti dengan sensor lambungnya merasa cukup untuk makan. Kenyang. Mereka berdua tampak berpikir jauh, ragu tapi kesempatan memang tidak datang dua kali.
Membayangkan saat kelulusan nanti ia bisa dengan bangga bercerita kepada semua orang bahwa ia melakukan pendakian pertama nya menaklukan Gunung Lawu. Gunung tertinggi ketiga di tanah kelahiran Ayahnya, Jawa Tengah.
Namun tanpa Bagas, Mahen dan Hani sadari, di atas sana 'mereka' sedang haus menunggu waktu kedatangan untuk membuat manusia jatuh dalam tipu daya.
•••
Malam sudah larut, di dalam rumah komplek sederhana berwarna cream itu ada seorang pria dewasa dan pria muda sedang menyesap kopi dan seorang gadis yang tengah mengerjakan tugas kuliahnya. Berhadapan, di depan mereka ada gorengan yang Bapak beli untuk mereka bertiga.
"Lu jadi nanjak, Hen?" Tanya Bapak.
"Jadi, Pak. Lusa kali aye berangkat"
"Semua udah beres? Naik paan lu kesono?"
"Kereta api, Pak. Ama Bang Bagas sekalian, ada Hani juga." Jawab Mahen.
"Lah betiga doang betiga?"
"Kaga, ada lagi satu kaga kenal aye. Tapi, temen Bang Bagas juga."
"Kaga ramean? Gua kira satu rombongan" Bapak meneguk kopi yang semakin dingin.
Mahen menggeleng, "Kaga dapet orang Pak"
"Sekali lagi gua tanyain lu ye, lu beneran yakin mau nanjak Lawu? Itu gunung, kaga serebu dua rebu tingginye. Tiga rebu meter, badan se cuprit kaga pernah olah raga lu kaya gini. Yakin lu?"
"Yeuu, Bapak mah gitu. Aye nih meskipun kecil kecil gini, gendong Bapak juga kuat lagi. Pan, Bapak sendiri yang ngajarin aye kalo laki-laki kudu kuat. Carrier mah enteng" kata Mahen, jarinya saling berjentikkan.
Mereka berdua tergelak tertawa, Bapak mengangguk paham. Menyodorkan gorengan tahu isi kepada Mahen, "Yaudeh, kalo gitu Bapak redho dah. Lu kudu inget, lu disana orang asing dan pendatang. Jangan sompral, disana cuma maen trus juga kudu sopan. Jangan ambil apapun kecuali poto, paham kaga lu!?"
"Iya Pak, aye paham. Jangan ambil apapun kecuali poto, jangan sompral."
"Bagus, yaudeh lu abisin deh tu tahu isi tinggal satu. Bapak mau sholat dulu, lu juga. Doa sama Allah, menta petunjuk menta restu."
Bapak beranjak bangun, Mahen hanya mengangguk. Tangannya mengetikkan pesan singkat kepada kedua sahabatnya.
'Bang, lusa gua jadi. Kirimin list yang perlu gua siapin dan apa aja yang perlu gua bawa, thanks'
'Han, gue jadi ikut. Lu gimane? Fix kaga? Kalo fix kabarin yak.'
KAMU SEDANG MEMBACA
BROKEN COMPASS [ ON GOING ]
Korku⚠️Disclaimer: Cerita ini hanya imajinasi author. ⚠️ Empat pemuda itu berhenti berlari, sekelilingnya sudah dikuasai oleh kegelapan. "Dimana sih ini sebenernya?" "Gue capek, Bang" "Kompas nya nyuruh kemana?" "Kesini" telunjuknya menunjuk kedalam gela...