CHAPTER 14 | PAK SOLIKIN

8K 908 169
                                    

"Aku punya surat perjanjian buat kamu tandatangani," kataku saat aku dan Mas Laut berjalan di koridor SMA Garuda sepulang sekolah.

"Perjanjian apa?" Mas Laut mengenakan tas hanya disatu pundak, sedangkan tali tas satunya lagi ia biarkan menggantung begitu saja.

"Perjanjian jadi pacarku."

"Buat apa bikin gituan?" tanyanya seraya memandangku lekat.

"Biar kamu nggak nakal," kataku.

"Anaknya Pak Solikin nggak pernah nakal." Mas Laut mengeratkan pegangannya pada tali tasnya yang melorot.

Aku mengerutkan kening. "Solikin siapa?"

Mas Laut mendekatkan wajahnya padaku, "Calon mertuamu." Ia tersenyum.

Kemudian ia kembali berkata, "Solikin bapakku lah."

Aku mengekeh. Ada-ada saja tingkahnya.

"Aku udah bikin draft pasal-pasal perjanjiannya," kataku.

"Mana? liat."

Aku mengeluarkan sebuah kertas dari dalam tasku. "Ini," kutunjukan kertas itu pada Mas Laut.

Aku dan Mas Laut duduk di salah satu undakan tangga yang ada di area taman sekolah. Para murid sudah banyak yang pulang, jadinya taman saat ini sudah sepi. Hanya ada aku dan Mas Laut.

Mas Laut membaca detail pasal-pasal yang sudah aku tuliskan di kertas tersebut.

1. Nggak boleh ngomong kasar, apalagi ngomong kata as*, sekalipun itu di chat, karena ini tindakan yang nggak baik.

2. Nggak boleh males ngerjain tugas, nanti namamu aku coret dari daftar kelompok. Beban tau nggak?!

3. Nggak boleh turu di kelas, apalagi mangap kayak kudanil

4. .....

5. ....

6. ....

7. ....

8. ....

"Waduh dek," katanya.

"Apa? Nggak terima?"

"Sayangku, cantikku, pasal nomer tiga dicoret aja, nggih?" pintanya.

"Nggak boleh!"

Mas Laut cemberut.

"Kalau ada guru nerangin pelajaran itu didengerin, bukan turu," kataku.

"Turu is my passion," jawab Mas Laut seraya nyengir.

"Tanda tangani, cepet." Aku mendekatkan kertas berisi perjanjian itu kepada kekasihku.

"Sabar sayang."

Senyumanku mendadak terbit ketika mendengar panggilan sayang dari Mas Laut.

"Eh, kenapa senyam-senyum?" goda Mas Laut.

Aku mengekeh, "udah cepetan tanda tangan, ih."

Mas Laut mengubek-ngubek isi tasnya.

"Lama banget, cari apa, sih?" tanyaku.

"Pulpen."

"Emangnya kamu punya pulpen?" sindirku.

"Oiya, lupa. Aku nggak pernah punya pulpen."

"Biasanya kamu kalau di kelas juga tiap hari pinjem pulpennya Abdul," kataku.

"Ssst... jangan kenceng-kenceng. Malu."

Aku mengeluarkan kotak pensilku lalu kuberikan pulpenku pada Mas Laut. "Nih, aku pinjemin pulpen."

Mas Laut menyambut pulpenku, lalu membaca kembali pasal-pasal dalam kertas yang sudah aku tulis sebelum ia tanda tangani.

Buih di Lautan ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang