NB || 06

13 5 0
                                    

Aku berlari keluar lapangan, jalanan pun nampak lengang. Awan hitam menutupi langit mulai menurunkan rintik airnya.

Aku berlari tak tentu arah, berusaha menemukan satu sosok manusia.

"GRACY! GRACY!"

"TOLONG! ADA YANG MENDENGARKU?!"

"GRACY!!!"

Napasku terengah-engah, aku terduduk di tengah jalanan aspal yang sangat sepi. Aku menutup muka dengan kedua telapak tangan, menangisi keadaanku. Rasa takut dan bingung bercampur menjadi satu.

"Tutup matamu, tersenyum lah dalam lelapmu... Jangan kau buka mata sebelum pagi menjelang atau monster akan datang padamu..."

Deg!

Lagu itu, terdengar dari salah satu rumah.

Walau enggan dan takut, aku berusaha mencari sumber suara tersebut. Setidaknya ada 'seseorang' atau mungkin bukan orang.

Lututku sakit, keringat membasahi tubuh, kepalaku terasa kosong menerima kejadian yang baru pertama kali kualami dalam hidupku.

Mengapa? Apa karena aku tak lagi mau dinyanyikan Nina Bobo tersebut kemudian 'ibu palsu' ku marah? Kenapa ia mengganggu ku sedemikian rupa? Aku hanya ingin ibu asliku!

Suara itu... Berasal dari rumahku.

Atau mungkin rumah tiruan.

Ini adalah bentuk rumahku, namun versi kotor dan tak terawat.

Aku memanjat pagar temboknya, berusaha mengintip pada jendela kamarku. Karena lagu tersebut berasal dari sana.

Srek srek

Aku menoleh ke bawah, ke dalam halaman rumahku.

Itu dia, makhluk berwajah panjang kurus tanpa bola mata. Aku menjerit sekerasnya, tubuhku limbung dan jatuh. Kurasakan sakit teramat sangat di tulang punggungku, sepertinya aku terantuk batu.

****

"Hei, Yuna! Kamu masih mau melihat tim basket tidak sih?"

Hah... Hah.... Hah...

Ha ha ha

Si*l, apa itu nyata? Kenapa aku berdiri di depan cermin toilet umum? Kenapa Gracy menghampiriku ke toilet? Gila, kurasa aku sudah gila dengan masalah ini. Aku sudah berhalusinasi.

"Yuna! Kamu tidak apa-apa?! Kepalamu berdarah!"

Aku terkejut, aku tak menyadarinya. Gracy menuntunku keluar dari toilet. Ia membawaku ke ruang ganti.

"Permisi, bisakah kami mendapat kotak pertolongan pertama?"

Ah, nyata ya? Aku meraba tengkuk, cairan hangat dan kental mengalir disitu.

Barulah air mataku menetes.

Aku didudukkan pada kursi yang terletak di depan ruang ganti. Gracy menenangkanku sembari mengobati. Lukaku tidak terlalu parah, namun sebagian rambutku terpaksa di cukur dadakan.

Setelah selesai, Gracy mengajakku kembali ke lapangan.

"Hei, dengar. Kamu tidak harus bercerita apa yang sebenarnya terjadi. Namun kita harus pulang ke rumahku, sekarang."

Aku hanya mampu mengangguk. Gracy menelepon ayahnya, meminta dijemput. Aku hanya diam, batinku berteriak mengatakan yang sebenarnya. Tapi mulutku terkunci.

Ayah Gracy tiba, ia menatapku dengan kening berkerut. Namun ia tak mengatakan apa-apa.

Sepanjang perjalanan aku hanya diam. Begitu pula dengan pasangan ayah dan anak yang duduk di depanku.

Sesampainya di rumah mereka, aku disuruh membersihkan diri dan diberi makan siang. Kemudian Ibu Gracy menyuruhku untuk menunggu di kamar Gracy. Entah apa yang mereka bicarakan di balik pintu kamar tersebut.

Cklek.

Ibu Gracy membuka pintu, ia melirik kesana kemari seolah menghindari tatapan mataku.

"Uhm, jadi begini Nak. Sesuatu telah mengikutimu, kamu nampak sangat gelap tak seperti biasanya."

Aku hanya diam dan mendengarkan, Ibu Gracy menghela napas.

"Jadi, jika tak keberatan kami ingin kamu tinggal disini untuk beberapa waktu."

Aku mengangguk.

"Kami sudah memberi kabar pada ibumu, beliau sudah kami beri tahu apa yang terjadi. Yah, ibumu tak percaya pada kami sih. Tapi beliau memperbolehkanmu tinggal disini."

Aku menatap bola mata Ibu Gracy, ia masih tak mau menatapku seolah takut denganku.

NINA BOBOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang