15

55 9 2
                                    

15

"Bagaimana?" Mark bertanya dengan tidak sabaran. Mereka semua—Mark, Jaevano, Mire, Lia, Ruby, dan Gabriel telah berada di kantor Rhae semalaman. Mark mendapati kabar bahwa Rhae telah berhasil melacak motor pelempar botol api di rumah Jaevano.

Rhae mengangguk dengan yakin, "Maaf membuat kalian menunggu lama. Kami berhasil menemukan bahwa kendaraan yang tengah kita lacak ternyata adalah kendaraan yang sama yang muncul di malam penculikan Helios. Kendaraan itu berbelok ke arah utara Pandawa. Anggota kami akan segera mencarinya."

Jaevano mendengus, "Sampai kapan kalian akan terus mencari? Ini sudah hampir dua puluh hari!"

"Tenanglah. Kita semua juga telah berusaha dengan keras. Tapi siapapun yang merencanakan ini sangat cerdik. Dia berhasil mengelabui anggotaku."

"Cepat temukan Helios."

"Kumohon," sambung Ruby.

***

Hari apa?

Pukul berapa sekarang? Apakah sudah malam? Atau masih siang? Helios tidak tahu. Ia dipindahkan ke sebuah bangunan yang lebih gelap. Tempat yang berbeda seperti di hari pertama ia menyadari tengah disandera, dan tanpa cahaya matahari sedikit pun. Dalam perhitungannya yang ia sendiri tidak yakin, Helios merasa ia sudah dikurung selama hampir delapan belas hari.

"Kau di sana rupanya," sebuah suara berat yang sangat dikenalinya mendekat. Zavier membawakan sebuah nampan berisi satu roti dan satu air gelas. Jatah makannya. Dengan senyum girang, Zavier mendekati dan ketika jaraknya sudah sangat dekat dengan Helios, ia mendorong nampan itu hingga menyentuh dahi Helios yang masih digantung terbalik.

Helios membuang muka.

Dengan tatapan mengejek, Zavier lantas membuka penyumbat mulut Helios. "Kau beruntung. Aku memberimu jatah hari ini."

Mendengarnya membuat rahang Helios menegang. Itu adalah fakta. Selama ia dikurung, ia tidak mendapat makanan yang layak. Jika ia beruntung, Zavier akan memberikannya roti di pagi dan malam hari. Jika tidak, maka ia dipaksa kelaparan hingga keesokan harinya tanpa makan dan minum. Akibatnya, bobot badannya turun drastis. Tenaganya sudah mulai habis dan Helios merasa lumpuh. Badannya sangat kaku.

"Lepaskan aku."

Zavier terkekeh. "Aku belum cukup bersenang-senang denganmu. Aku seharusnya bermain-main denganmu dan Jaevano sialan itu. Sayang, dia sangat sulit dijebak."

"Apa maksudmu, bangsat!"

Terdengar suara pintu diketuk. Zavier memanggil anak buahnya. Mereka lalu datang dan melepaskan Helios dari posisi terbalik. Mereka mendudukkan Helios di sebuah kursi dengan tangan dan kaki yang tetap terikat kencang.

Kemudian, sepersekian detik setelahnya, Zavier kembali menghajarnya. Kali ini, Helios tidak merasakan sakit karena tubuhnya seperti mati rasa. Ia hanya terkejut dan wajahnya kembali datar, namun pandangannya penuh amarah.

"Kau sangat tolol. Telepon yang datang pada malam itu bukanlah dari Jaevano."

Helios tahu. Ia telah memikirkannya selama berhari-hari. Helios tahu bahwa malam itu, yang meneleponnya bukan Jaevano yang asli.

"Kami menggunakan teknologi pengubah suara. Suara Jaevano tidak sulit ditiru. Oh ditambah rekayasa nomor ponsel." Zavier menjelaskan sembari sesekali, tinjunya mengenai wajah lebam Helios.

"Kau berengsek!" jerit Helios.

Zavier tertawa mendengarnya. "Sebut saja aku sesukamu. Aku tidak peduli."

"Kau akan mati."

Sesaat, Zavier menghentikan tinjunya. Melirik ke wajah lemah Helios. "Tentu. Setelah aku membunuh—ah tidak, setelah aku bersenang-senang denganmu terlebih dahulu."

***

Malam itu, Ruby tetap tidak dapat tidur dengan tenang. Saat ia menutup mata, sekelebat ingatan tentang malam penculikan Helios seakan-akan menari di kepalanya. Ia tidak bisa beristirahat. Ia tidak bisa fokus. Ia tidak bisa makan dengan teratur. Semua kegiatan yang dilakukannya tetap tidak bisa membuatnya melupakan Helios.

Ruby sangat takut. Sangat kecewa pada dirinya. Sangat menyesal. Dan sangat merasa bersalah. Berhari-hari Ruby membayangkan jika saja ia tahu bahwa malam itu bukanlah telepon dari Jaevano, mungkin Helios masih ada di sini. Jika saja Ruby tidak mengantar Helios dan membuatnya istirahat saja di rumah Jaevano, mungkin tidak akan seperti ini.

Semuanya...membuat Ruby ingin menangis.

Malam itu, ia menarik selimut hingga menutupi semua wajahnya. Ruby berlindung dengan menenggelamkan dirinya pada kegelapan malam. Ia ingin berhenti berpikir. Akan tetapi, pikirannya terus bekerja dan enggan beristirahat. Ia terus memikirkan bagaimana keadaan Helios. Apakah anak laki-laki itu baik-baik saja? Akankah Helios merasa hangat? Apakah demamnya telah sembuh atau semakin parah? Apakah dia sudah makan? Bagaimana lukanya? Dan yang terpenting, apakah Helios masih hidup?

Pikiran-pikiran itu berkecamuk. Ruby akhirnya menangis. Lagi. Untuk yang kesekian kalinya, tangisnya membuat ia lelah dan akhirnya tertidur.

Ruby hanya bisa tidur jika ia menangis.

Ia kemudian terlelap.

Namun tak bertahan lama.

Ruby merasa pusing. Dan ia terjaga. Ia membuka pintu kamarnya berniat untuk pergi ke dapur mengambil apa saja yang bisa diminumnya untuk menenangkan diri, akan tetapi, Ruby menemukan sosok lain. Ibu ada di sana. Memeluknya singkat lalu menyuruhnya pergi ke taman belakang rumahnya.

Ruby akhirnya melangkah dengan pelan. Belum sepenuhnya sadar.

Alangkah terkejutnya ia saat mendapati sosok itu berdiri di sana. Dengan santai, mengenakan kaos hitam dan celana biru pemberiannya.

Helios Romanov.

"Hai," sapanya. Helios mendekat dan Ruby bisa merasakan tubuhnya didekap dengan erat. "Kau baik-baik saja? Kenapa masih terjaga?" tanya Helios dengan senyum kecil.

Mendadak, Ruby mematung. Wajah Helios...masih sama hanya saja banyak sekali luka lebam dan hidungnya patah. Akan tetapi, senyum anak laki-laki itu masih sama. Sangat menyejukkan dan menenangkan.

"H-Helios..."

"Kau tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja."

Helios memeluknya sekali lagi sembari mengusap puncak kepala gadis itu dengan lembut. Akan tetapi, ketika Ruby hendak membalas dekapannya, tiba-tiba tubuh Helios terasa sangat jauh. Wajah yang dihiasi senyum itu perlahan menghilang. Ruby hendak menggapainya namun yang ditangkapnya hanyalah berupa bayangan.

Ruby panik. Berusaha mengejar.

"Helios!" teriaknya. Dan Ruby terbangun dari bunga tidurnya. Pertemuannya dengan Helios hanyalah mimpi belaka. Deru napasnya begitu cepat. Ruby sangat panik. Keringat menetes. Sudah berapa lama ia tertidur, Ruby tidak tahu. Yang ia ingat, ia memimpikan Helios. Helios dengan wajahnya yang penuh luka.

Sesaat, Ruby menenggelamkan wajahnya. Mencoba menghapus mimpi buruknya.

Dan berusaha berharap Helios benar-benar ada di sana.

***

Helios mendengar suara pintu dan derap langkah kaki mendekatinya.

Anak laki-laki itu terbangun. Tidak, Helios bukannya tidur karena ia ingin tidur, tapi ia tertidur karena tubuhnya tidak mampu lagi berfungsi dengan normal. Ia sangat kelelahan. Tenaganya habis. Energinya seakan-akan nihil. Helios tidak tahu ini hari apa. Ia hanya bisa berasumsi bahwa saat ini masih malam.

Namun, siapa yang datang padanya?

Langkah itu semakin mendekat. Helios tidak dapat melihat wajahnya karena kedua matanya ditutupi oleh kain tebal. Ia juga tak bisa bersuara karena mulutnya disumpal.

"Kau harus hidup," bisik suara itu, samar. Sosok itu lalu menuangkan air ke dalam kerongkongannya yang kering. Siapapun dia, pasti ia tahu bahwa Helios tidak meneguk setetes air pun sejak kemarin pagi.

***

Sesekali update di malam hari. Selamat malam Minggu🖤

Sebentar lagi, kisah HELIOS ROMANOV usai. Jangan sampai kelewatan ya🖤

Voler Haut | Haechan X RyujinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang