Extra | Cakra's Story 3

21 2 0
                                    

3

Beberapa bulan telah berlalu sejak pengeboman di Alun-Alun Kota.

Semua masyarakat Pandawa bersiaga akan adanya demonstrasi lain. Bahkan, kini Pandawa tidak seramai biasanya. Banyak orang yang lebih memilih mengamankan diri di dalam rumah. Ancaman demonstrasi dan rumor penculikan dalang-dalang yang diduga pelaku pengeboman juga sangat meresahkan.

Cakra dan Panji juga mendengar rumor tersebut.

"Apakah kita tidak bisa membujuk Ayah untuk menghentikan semua ini?" tanya Panji pada suatu malam. "Dia pasti mendengarkan kita, 'kan?"

Cakra melirik saudaranya dengan tatapan tidak percaya, "Dan akan membunuh kita."

Jawaban Cakra lantas membungkam Panji.

Seiring berjalannya waktu, Ayah lebih memilih mendekam di rumah daripada pergi melakukan pidato-pidato singkat karena alasan keamanan. Meskipun sering berada di dalam rumah, Ayah tidak pernah berusaha menemui Cakra dan Panji. Ayah bahkan tidak pernah menanyakan kabar keduanya.

Berminggu-minggu kembali berlalu. Tidak ada demonstrasi dan tidak ada ancaman yang berarti. Sampai pada suatu siang, Cakra tiba-tiba dipanggil oleh sekretaris Ayahnya.

Panji panik. "Kenapa hanya kamu yang dipanggil?"

"Tenanglah. Kau diam di sini. Aku akan segera kembali," katanya. Ia lalu berjalan singkat ke ruang kerja Ayahnya. Saat itu, Pak Wisnu hanya menampilkan wajah datarnya dan mengangguk seraya membukakan pintu untuknya.

"Ayah," Cakra memanggil. Ayahnya mengenakan kemeja putih yang kusut dan tengah duduk membelakanginya sembari memperhatikan berkas-berkas yang ditumpuk di meja. Saat Cakra menyapa, Ayahnya diam tak berkutik. Mungkin tidak mendengar suaranya. Maka, Cakra memanggilnya sekali lagi.

Ayah menoleh. "Duduk," katanya datar.

Saat Cakra duduk di salah satu kursi di ruangan besar tersebut, saat itulah ia tahu alasan Ayah memanggilnya dengan mendadak. Di atas meja, ada banyak berkas berserakan, tapi tak satupun berkas itu menutupi lembaran foto. Foto itu...foto dirinya dan teman-temannya di Alun-Alun Kota.

"Apa kau dan manusia-manusia bodoh ini berniat menggulingkanku?" tanya Ayah. Suaranya pelan, tapi dalam.

Cakra menggeleng. "Teman-temanku hanya meliput. Kami bukan dalang pengeboman ini. Kami tidak berusaha menggulingkan posisimu, Ayah. Bisa apa kami? Kami hanya mahasiswa Pandawa yang datang sama seperti jurnalis dan wartawan lain. Apa itu salah? Kau mencurigai putramu sendiri?"

Lama sekali Ayahnya hanya diam. Ekspresinya tidak dapat terbaca. Cakra hendak melontarkan pertanyaan lain tapi tangan Ayahnya terangkat. Mengisyaratkan agar Cakra segera keluar. Jika sudah seperti ini, Cakra hanya bisa menurut. Ia tidak akan mengambil risiko tetap di dalam dan menjadi samsak kemarahan Ayahnya.

Namun, sebelum Cakra benar-benar pergi, suara Ayahnya terdengar kembali. Ayah berkata, "Ingat, apapun yang kamu lakukan, aku selalu tahu. Jika kau dan teman-temanmu mengambil jalan yang berlawanan denganku, aku tak segan-segan menyingkirkanmu."

***

Ucapan Ayahnya tak main-main.

Beberapa hari setelahnya, Cakra menyelinap masuk ke ruang kerja Ayahnya, dan ia melihat foto dirinya, Ruby Jinnie, dan Katherine Kharsa sebagai buronan.

Panji tak dapat berkata-kata.

"Sial!" Cakra menarik lengan saudaranya. "Kita harus memperingatkan Maerda. Teman-teman kita dalam bahaya."

"Ayah...tidak mungkin...kau putranya..." suara Panji terbata-bata.

"Mungkin! Dia akan menyalahkan Katherine dan kau tahu apa yang akan terjadi selanjutnya!" Cakra balas dengan berteriak. "Dia tak pernah menganggap kita anaknya!"

Akhirnya, Panji menurut. Mereka segera menemui Gabriel diam-diam di rumah laki-laki itu dan mengatakan segala informasi yang mereka ketahui. Dengan cepat, Maerda mengadakan rapat mendadak. Mereka berkumpul karena informasi yang diberikan Cakra juga sesuai dengan informasi yang diketahui Helios. Helios berkata bahwa, seluruh wajah anggota Komunitas Maerda akan terungkap dan mereka akan segera diburu.

Rapat itu tentu saja tidak begitu berarti karena beberapa hari setelahnya, terjadi satu hal yang sangat mengerikan.

Terjadi kerusuhan di Sekolah Keperawatan.

Kerusuhan itulah yang membawa semua nasib sial pada Komunitas Maerda. Mereka tak lagi bersama. Mereka berpencar. Anggota perempuan Maerda mulanya aman berada di rumah Gabriel. Namun, patroli Wali Kota ternyata sudah mengetahui semua informasi pribadi Komunitas Maerda termasuk di mana rumah Gabriel.

Pada akhirnya, mereka harus bersembunyi di rumah paman Helios, sebuah pondok terpencil di daerah puncak.

***

Malam itu, Cakra tengah berada di kamarnya seorang diri. Panji belum pulang. Anak laki-laki itu tengah membaca buku saat tiba-tiba, segerombolan orang berpakaian preman memasuki rumahnya. Cakra tidak tahu siapa mereka, tapi ia tahu bahwa mereka adalah anak buah Ayahnya.

Samar-samar, Cakra mendengar percakapan mereka. Dan Cakra tahu bahwa mereka akan memporak-porandakan Sekolah Keperawatan. Saat mendengar hal tersebut, seluruh tubuh Cakra menegang. Ia tak bisa tetap berada di rumah. Ia harus memperingatkan Maerda.

Karena itulah ia segera bertemu Gabriel.

Setelah mendiskusikan jalan yang paling aman untuk ditempuh, mereka segera bergerak ke Sekolah Keperawatan. Panji juga sudah bergabung dengan mereka. Cakra, Panji, Gabriel, Mark, Jaevano, dan Helios segera saja bergabung untuk membantu menenangkan massa. Mereka membantu mengevakuasi Sekolah Keperawatan.

Saat turun, keadaan sudah sangat porak-poranda. Beberapa bagian gedung terbakar.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" bisik Panji. Diam-diam, dia mendekati saudaranya.

Cakra menggeleng, menyuruhnya tutup mulut. "Anak buah Ayah. Kita harus menghentikan ini."

"Ayah...?"

"Kau harus percaya padaku. Aku mendengar rencana mereka diam-diam," bisik Cakra.

Gabriel akhirnya memaksa masuk melalui pintu belakang. Mereka akhirnya saling membantu mengamankan orang-orang. Mereka memberikan jalan keluar agar tak banyak korban berjatuhan.

Dari ujung mata, samar-samar Cakra melihat gerombolan mobil tentara mendekat. Mulanya, mereka senang karena kerusuhan ini akan segera berakhir. Tapi, alangkah sialnya, tentara itu justru melepaskan tembakan dengan brutal. Mereka tak membedakan perusuh dan rakyat sipil. Mereka mencoba membubarkan massa dengan membunuh mereka semua.

"Apa-apaan ini?!" Gabriel menjerit. "Segera selamatkan diri!" Mereka berlari. Bak hewan-hewan ternak yang dilepas dari kandangnya, mereka semua saling menyelamatkan diri. Ratusan orang bergerak menuju jalan keluar yang sama. Akibatnya, beberapa terjatuh dan terinjak-injak.

"Panji!" Cakra merasakan tubuhnya ditarik oleh seseorang. Ia tidak bisa melewati massa yang bergerak dengan panik. Mulanya ia menggenggam lengan saudaranya tapi terlepas. Panji berada jauh di belakang.

Sesak.

"Cakra!" Panji juga berteriak. Jarak mereka semakin menjauh.

Dan tentara mulai memasuki lorong tempat mereka berada.

Di sela-sela napasnya yang berat, Cakra memicingkan mata, melirik pada kerumunan tentara. Saat itu, detak jantungnya berhenti. Itu Pak Wisnu. Dan ia menyadari bahwa tentara-tentara ini bukanlah tentara Kepolisian Pandawa. Mereka anak buah Ayahnya.

Dan Ayah...menyatakan perang secara langsung terhadap Kota Pandawa.

Panji tidak terlihat.

Berengsek!

***

Semangat buat yang lagi menjalankan Ibadah Puasa🖤

Voler Haut | Haechan X RyujinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang