Extra | Cakra's Story 7

20 3 0
                                    

7

Ada beberapa hal yang bisa mereka simpulkan selama berminggu-minggu mengintai dan berusaha menyelinap untuk menemui Helios.

Pertama, bangunan tempat Helios disandera jaraknya tidak terlalu jauh dengan laut, akan tetapi, Helios ada di ruang bawah tanah tanpa cahaya. Kedua, anak buah Zavier selalu siap sedia menjaga bangunan tersebut selama 24 jam. Mereka terbagi dalam tiga rotasi. Lima belas orang di pagi hari, lima belas orang di siang hari, dan dua puluh tiga penjaga di malam hari. Ketiga, keadaan Helios semakin memburuk.

Satu-satunya celah di mana Cakra dan Shaidan bisa masuk adalah tepat pukul 3.40 pagi. Hanya selama lima menit. Karena pada jam itulah penjaga malam bersiap pergi dan penjaga bagian pagi hari datang.

"Tidak bisa, Cakra. Kalau kita datang tepat pukul tujuh malam dengan menyamar menjadi penjaga itu akan sia-sia. Mereka sudah saling mengenal. Mungkin, katamu benar, ada beberapa di antara mereka yang tidak menghafal wajah satu sama lain. Tapi mereka bisa saja mengenalimu. Apalagi aku." Shaidan berkata dengan frustasi.

Cakra tidak dapat menyangkalnya, "Lalu, apakah kau ada ide yang lebih baik? Waktu di mana bangunan itu kosong adalah pukul tiga lewat empat puluh pagi hari. Hanya lima menit. Dan kita tidak bisa menghabisi mereka semua hanya berdua."

"Dengar," Shaidan melemparkan satu catatan pada anak laki-laki di seberang. "Kalau kau berniat mengeluarkan Helios dari rumah sialan itu, kau harus menunggu situasi yang tepat."

"Dan kapan situasi itu tepat? Ini sudah hampir satu tahun! Kau tidak melihatnya semalam? Helios sekarat!"

Pembicaraan mereka terhenti. Keduanya sama-sama diam. Memang tidak ada jalan lain. Mau sekeras apapun mereka menyusun rencana pembebasan Helios, semuanya bagaikan jalan buntu.

Cakra akhirnya mendesah, tubuhnya terlentang dan satu tangannya menutup wajah dari sinar mentari yang masuk melalui celah jendela. Ia mengembuskan napas gusar, "Bagaimana keadaan Panji?"

Shaidan tersenyum mendengar nama saudara kembar Cakra. "Terakhir kali aku melihatnya, dia baik, kelihatan damai."

Cakra mengangguk.

Mungkin saat ini, Panji sudah tak lagi bernapas.

"Kau tahu adikku diracuni 'kan? Kakinya lumpuh." tanya Cakra pada Shaidan.

"Maaf."

"Tidak, bukan salahmu. Kuharap, di detik-detik terakhir hidupnya, dia bahagia."

Keadaan kembali lengang. Shaidan menggaruk-garuk pelipisnya yang sama sekali tidak gatal. Pemuda itu tidak tahu bagaimana caranya memecah keheningan. Ia juga merasa tiba-tiba suasananya menjadi sangat canggung.

"Aku turut menyesal mengenai Panji."

Cakra menggeleng, "Tidak apa-apa."

"Kau...?"

"Kau tahu di mana ia dimakamkan?" Cakra kembali bertanya.

Shaidan menggeleng pelan, "Dia tidak dimakamkan, Cakra." Pemuda itu bangkit, lalu ikut terbaring terlentang di samping kiri Cakrawala Corrado Tjahrir. "Dia dikremasi. Abunya sudah disebarkan di laut. Aku mendengarnya beberapa waktu yang lalu."

Ah, Cakra mengerti. Anak laki-laki itu lalu tersenyum, tulus.

Mulanya, Cakra larut dalam pikiran-pikirannya sendiri, mengenang Panji, menyesal tak dapat menemani Adiknya di saat-saat terakhirnya. Namun, percakapan barusan...membuatnya tersadar. Cakra bergegas bangkit, wajahnya merah merona karena bahagia.

Ia menemukan jawabannya.

"Laut?!"

Shaidan terkejut. "Kenapa? Ada apa?"

"Laut, Shaidan!" Cakra berdiri, mendekati meja kecil tempat mereka menggambar tata letak bangunan tempat Helios disekap. "Kau tidak mengerti? Ke sini!"

Shaidan mengekor, melihat peta yang tidak berubah.

"Bodoh!" Cakra menyikutnya. "Laut. Lihat, Zavier menyekap Helios di sini," Cakra menunjuk dengan jari telunjuknya pada satu gambar bangunan. "Kau lihat, ada jalan setapak di belakang bangunan itu, tempat kita biasanya datang dan menyelinap masuk. Tapi, lihat!"

Shaidan mencoba memahami.

"Jalan setapak ini bisa membawa kita ke hutan lebat. Di belakang sana, tidak akan ada yang bisa mengejar kita kalau kita bisa melewati hutan dan turun ke tepian laut."

Shaidan menimang-nimang. Ia mulai mengerti. Ia mulai melihat rencana brilian Cakra.

Satu detik setelahnya, Shaidan tersenyum lebar. "Kita bisa menyewa kapal. Bawa Helios pergi dari sana saat rotasi jaga, kita masuk ke hutan, dan naik kapal yang kita sewa."

Cakra terkekeh.

Dan Shaidan tersenyum bangga.

Rencana yang sempurna.

***

Rencana mereka memang terlihat sempurna. Tapi, tetap saja masalahnya ada pada transportasi. Beberapa hari yang lalu, Shaidan sudah pergi ke pelabuhan terdekat. Menyewa satu kapal feri yang bisa ditemukannya. Namun, mereka kekurangan uang. Tidak ada yang mau menyewakan kapal dengan bayaran yang sedikit.

"Bajingan!" Cakra menendang kursi. "Apa susahnya menyewakan hanya satu malam?!"

"Tenang. Aku akan mencari cara lain. Aku harus kembali ke pusat kota."

Cakra menarik alis, "Apa yang akan kau lakukan di sana?"

"Menjual rumahmu, tolol!" Shaidan mendengus. "Kita butuh uang. Kau tidak keberatan 'kan? Lagipula, saat Helios bebas kau tidak mungkin membawanya ke rumah reyot itu. Anak buah Zavier pasti tahu."

Cakra tertawa. Benar juga. Kenapa ia tidak memikirkan hal itu sebelumnya?

"Kau ternyata berguna juga," kata Cakra.

Shaidan melipir sembari menyiapkan ranselnya, "Jaga diri baik-baik."

Cakra mengangguk. "Bawalah ini," katanya, sembari menyerahkan dua roti dan satu botol air pada Shaidan Arjuan.

Pemuda yang berada di ambang pintu itu menangkapnya. Ia melirik tidak yakin, "Ini...bukan air kencing 'kan?"

***

Hampir satu tahun Helios disekap.

Dan selama itulah Cakra berusaha mati-matian mencoba menyelamatkannya. Ia tidak peduli lagi dengan hal lain, yang Cakra pikirkan adalah, bagaimana caranya sahabatnya itu bisa bebas. Akhirnya, sebentar lagi usahanya akan berbuah manis.

Penjaga-penjaga Zavier bukan orang yang begitu taat aturan. Di setiap malam, Cakra melihat mereka selalu membawa botol bir diam-diam. Tanpa sepengetahuan Zavier, mereka berpesta alkohol dan narkoba. Cakra tidak peduli pada hal itu, ia justru senang, karena hampir seminggu ini, penjagaan pada Helos sedikit kendur. Cakra bisa menyelinap masuk pada pukul satu dini hari. Penjaga yang mabuk memberikannya waktu maksimal tiga puluh menit di setiap tengah malamnya.

Cakra sangat bersyukur. Itu lebih dari cukup.

Malam itu, ia sendirian, menyelinap masuk lewat celah jendela saat para anak buah Zavier terkapar akibat mabuk, Ia menuruni anak tangga dengan pelan, agar tak menimbulkan suara.

Helios ada di sana. Didudukkan dengan tangan dan kaki yang teikat.

"Hai," Cakra menepuk pelan pipi sahabatnya. Membangunkan Helios. Cakra mengeluarkan satu roti dari sakunya. "Makan, Lios."

***

Selamat membaca🖤

Voler Haut | Haechan X RyujinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang