18

62 9 4
                                    

18

Helios seratus persen yakin ini hanyalah halusinasinya belaka.

Helios Romanov meyakini bahwa dirinya tengah bermimpi dan ia hanya tidak dapat membuka mata. Tetapi, ketika kedua tangan dan kakinya terlepas dari ikatan erat yang memenjarakannya selama berbulan-bulan ini, Helios tahu bahwa semua ini nyata. Semua ini benar-benar terjadi.

Ia bebas. Dibebaskan.

"Siapa?" dengan susah payah, Helios mencoba melihat, tapi tetap saja tidak bisa. Penglihatannya sangat buruk. Jarak pandangnya kini hanya kisaran satu meter akibat banyaknya tinju di area mata yang didapatnya dari Zavier dan anak buahnya.

Dua laki-laki, yang benar-benar melepaskan Helios hanya diam. Mereka memapahnya. Membantunya berjalan ke arah tangga. Helios bisa merasakan paru-parunya bekerja dengan lebih baik ketika ia telah meninggalkan ruangan pengap tersebut. Terus melangkah dan ia dapat merasakan kakinya berada di jalan setapak.

"Ssst. Diamlah," bisik suatu suara di telinga kanannya.

Sekujur tubuh Helios yang kaku mulai bisa beradaptasi. Ia akhirnya keluar.

Tapi tunggu, suara itu...Helios mengenalnya. "Cakra? Kau kah itu?"

Benar. "Iya, Helios. Kumohon bertahanlah sebentar lagi. Kita akan sampai di pelabuhan."

Helios bisa mendengar debur ombak. Ia merasakan angin malam menelusup ke kulitnya, membuat tubuh kurusnya menggigil kedinginan. Tapi Helios bisa menahannya.

"Maafkan aku." Tiba-tiba, suara lain menyahut. Helios tahu, tahu persis siapa si pemilik suara. Anak baru Universitas Pandawa, anggota baru Maerda, dan seseorang yang tengah diselidikinya. Shaidan Arjuan.

Helios menahan benaknya. Sebenarnya, ada jutaan pertanyaan tertahan di kerongkongannya. Kenapa Shaidan di sini? Apakah tidak bahaya bagi Cakra melakukan ini? Bagaimana dengan anak buah Zavier yang begitu banyak di sana? Mereka akan ke mana? Apakah semuanya aman?

Apakah Helios benar-benar bisa pulang?

Semua pertanyaan itu disimpannya. Nanti, pikir Helios, ia bisa menanyakannya pada mereka berdua. Untuk saat ini, ia akan fokus memaksa tubuhnya tetap sadar dan mencoba meringankan beban Cakra dan Shaidan yang memapahnya.

Mereka terus berjalan menjauhi bangunan yang menjadi tempat Helios disandera. Cakra dengan sabar dan begitu kuatnya membawa tubuh Helios berjalan hampir sejauh tiga kilometer. Mereka mulai menghilang dari jalan setapak, dan kini memasuki hutan.

Sunyi.

Mereka terus berjalan—memaksa berjalan hingga pada suatu waktu, ketika suara ombak sudah hampir mendekat, ketika bau pantai sudah hampir bisa dihidu, Shaidan tiba-tiba menghentikan langkah mereka. Tangannya terbuka lebar menginstruksikan agar mereka diam di tempat.

Suasana hening.

Namun, beberapa detik setelahnya, Helios bisa mendengar satu, dua, tiga, dan gerombolan suara langkah kaki mendekat. Helios yakin pendengarannya masih bisa berfungsi dan tidak mungkin salah. Itu suara langkah kaki berlari, mendekat ke arahnya, dari segala penjuru arah, disusul teriakan-teriakan ganas.

Sial.

Cakra segera menarik tangan Helios. Ia sudah tidak lagi memapahnya. Namun menariknya. Menyuruhnya berlari dengan kaki pincang dan tubuh sempoyongan. Tapi Helios mematuhi. Ia menggerakkan semua kemampuan dan kekuatan terakhirnya untuk berlari. Saat ini, adrenalin membanjiri benaknya. Helios tidak memikirkan apapun selain ingin hidup. Ia ingin bebas. Maka, Helios memaksa tubuhnya bekerja lebih keras.

Kumohon, sadikit lagi. Batinnya.

Namun debur ombak itu tak kunjung telihat. Seluruh tenaganya terkuras habis. Ia nyaris tidak makan makanan layak selama berbulan-bulan. Helios akhirnya tumbang. Ia terjatuh dan seluruh tubuhnya menghantam tanah.

Voler Haut | Haechan X RyujinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang