Hilang, Lenyap, Habis, Tak Tersisa

1 0 0
                                    

Meski hari telah berlalu
Tapi hati masih menggebu
Haru aku mengenang mu
Hangat pelukmu ku rindu

Tangan yang aku genggam kini menjadi dendam
Cinta yang membara kini telah padam
Memantik mantra yang lama terpendam
Seolah bangun meluluh lantakkan mimpi
Menyulut api, membakar nurani
Menyisih sunyi dan sepi

Tepis semua ingatan
Rampas semua kenangan
Walau masih menyisakan angan
Tinggal menjadi tanggungan
Cinta dan pengorbanan

Tanyakan pada hati yang teguh
Tanyakan pada rasa yang teduh
Luapan emosi pun sudah sangat penuh
Tumpah segala kisruh dan riuh

Memekik pilu yang membisu
Kala teringat akan janji yang terikat, tekad yang bulat, namun hati berkhianat

Hingga tak terasa
Lebur semua luka
Hilang semua lara
Lenyap tak tersisa
Hangus terbakar murka

Terik matahari membasahi segala resah gelisah
Khawatir akan cinta yang tak terbalas
Siang itu aku menata rapi pikiran
Meski rasional masih saja menentang
Atas Idealisme yang menjadi panutan
Tapi aku rela melanggar, demi kau seorang

Keringat dingin mengalir bercucuran
Gugup aku dengan lamunan
Sangsi aku dengan khayalan
Takut tertimbun longsor kehilangan

Kaitan antara hasrat dan harapan
Terbelenggu dalam ikatan
Cinta yang menyalahi aturan
Moral yang selalu menjadi bayangan
Atas hati yang selalu dikesampingkan

Jantung yang berdegup kencang
Pipi merah merona
Ntah sejak kapan, menjadi bagian dari permasalahan

Tapi tiada yang bisa menyuruhku diam, berhenti, apalagi tertahan
Tatkala terbersit bayang wajah bersama senyuman
Kita adalah karsa yang tak berhak  diremehkan
Akan aku jaga, jadi tak usah lagi kau  hiraukan
Terlebih cacian, makian, hinaan sudah menjadi makanan

Jangan lahap mereka, nanti kau tertekan
Lihat, bahkan tak satupun sudi aku telan
Katamu, kita harus memilah apa yang terbaik untuk pencernaan?
Memang sulit untuk bertindak sesuai ucapan
Hingga akhirnya kau biarkan sampah mengotori pikiran

Salahkah untuk terus menantikan?
Meski sampai saat ini kau belum bisa tergantikan
Sampai hati telah kebal mendengar gunjingan
Disusul jiwa yang jenuh menerima segala terpaan
Tibalah aku diakhir penantian
Menghadang cinta yang terhalang

Namun, semua tampak asing
Tiba-tiba menjadi hening
Aku mematung tak percaya
Kala mata saling menatap
Mencari cerminan diri dalam harap
Kosong, seperti tak pernah terjadi apa-apa

Deburan ombak menampar keras alam bawah sadar
Tak bisa lagi aku sangkal,
Apa yang aku takutkan kini menjadi nyata
Buyar segala cita, sirna dalam asa
Salahkan firasat, yang bergumam dengan akal sehat
Sebab hanyut aku kedalam lautan cinta yang buta

Tak pernah aku kira kau sampai hati menyayat luka
Begitu dalam hingga berbuah duka
Teramat sakit hingga membekas tak terlupa

Aku hanya bisa pasrah
Diam meratapi figur yang telah musnah
Hanya bisa berdoa dan berserah
Tak bisa lagi aku usap beratnya belakang punggung penuh gelisah

Tiap kali ia terluka atas hidup sang ayah yang memaksanya untuk menyerah
Pada akhirnya aku ikhlas untuk mengalah

Pergi menggiring aku untuk menepi
Oh, gumam ku dalam hati
Tanpa belas kasih,
Tak sedikit pun kau berpaling
Tragis bahkan tanpa tangis

Seolah kau sedang bertamu lalu aku lah yang menjamu
Oh, jadi begini
Aku ini hanyalah basa-basi yang tak berarti
Datang, singgah lalu pergi

Isi puisi  : Definisi dari penantian panjang berbuah sia-sia. Tantangan dalam menghadapi cinta terlarang yang dipastikan akan berakhir dengan kepergiaan. Meski emosi berkecamuk tetap saja berharap bahwa kelak cinta akan menyatu.

Tentang Kata Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang