7. Trigonometri

480 38 55
                                    

Suara para murid pecah mengusir keheningan di kelas IPA 4 setelah kegiatan belajar-mengajar selesai. Tentu saja saat guru sudah di luar kelas, baru mereka berani melakukan kebisingan.

Gheeta selaku guru matematika peminatan yang baru saja mengajar, memberikan pekerjaan rumah pada mereka tentang materi trigonometri yang dibahas tadi. Tugas itu berupa soal-soal dasar yang harus dikerjakan secara berkelompok dua orang.

Berebutan ingin satu kelompok dengan seseorang yang sama. Di sisi lain ada yang tidak terpilih, walaupun pembentukan kelompoknya belum sepenuhnya sah. Ali termasuk orang itu. Tidak ada yang mau memilihnya.

Yah, sejujurnya Ali tak terlalu memikirkan. Ia merasa pasti Khai akan selalu satu kelompok dengan dirinya, seperti halnya Viktor dulu. Bedanya hanya pada keinginan Mia yang memaksa. Gadis itu sekarang lebih sering bersama Alicia. Tak terkecuali sekarang.

"Baguslah," pikir Ali.

Ia pun menengok ke arah Khai. Sang teman terlihat sedang santai mempelajari kembali materi tadi, mengabaikan suara berisik di sekitar, seolah angin lewat. Namun, begitu Ali memanggil namanya. Cepat tanggap Khai balas menengok.

"Biasa," ucap Ali, kemudian dibalas acungan jempol oleh Khai yang kembali fokus pada buku. Seperti dirinya sudah ditunggu pemuda itu untuk satu kelompok.

Sekarang jam istirahat pertama. Di kelas hanya ada Ali dan Khai yang lebih memilih menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas kelompok. Alih-alih agar terlihat berambisi, mereka sebenarnya malas ke kantin. Jet yang mendatangi mereka saja disuruh kembali.

"Jadi, bagaimana kemajuan-mu?" tanya Khai mengalihkan seluruh atensi pada Ali yang duduk di depannya, lebih tepatnya di seberang meja.

Tergemap sebentar selama otaknya mencerna pertanyaan Khai. Ali menatap sang teman tak mengerti dengan dahi mengerut ringan. Pertanyaan itu terdengar formal baginya, seolah mereka berada di pertemuan resmi. "Maksudnya?"

Ali menuntut jawaban, tetapi Khai justru balas menatapnya heran, membuat segalanya jadi terlihat membingungkan.

"Kita akan mengerjakan matematika, bukan?" Ali jeda sejenak. "Kemajuan apa yang kau maksud?"

Rupanya sang teman tak mengerti, Khai pun menghela napas pelan. "Tantangannya."

"Kau tidak mungkin lupa. Iya, kan?" Si pemuda berkacamata menaikkan sebelah alis.

Spontan Ali membuka mulut dan mengangkat tangan kanan yang sedetik kemudian diturunkan kembali bersamaan dengan mulut yang menutup. "Yang benar saja?" Ia menatap tak percaya pada Khai. "Apa hubungannya?"

"Kau sudah paham dengan persamaan trigonometri?"

"Ya ... hanya sedikit." Ali melarikan matanya ke atas. Gambaran ketidakyakinan akan jawabannya sendiri.

"Kau belum mempelajarinya lagi semenjak tantangan dariku diberikan?"

Setidaknya Khai dapat sedikit membaca tingkah Ali saat ini. Ia memandangi sang teman menunggu konfirmasi, yang justru tertawa cengengesan sambil mengusap-usap tengkuk, karena tebakannya memang benar.

"Hehe."

Si pemuda berkacamata pun mendatarkan wajah, mengetahui tidak ada yang bisa diharapkan dari temannya itu.

Menyadari reaksi Khai, Ali berhenti tertawa, lantas terheran-heran. "Kenapa memangnya?"

Untuk kesekian kalinya Khai menghela napas. Mencoba sabar agar ia bisa menjelaskan sesuatu yang sudah jelas kepada sang teman yang cara berpikirnya lambat.

"Bagaimana kita akan mengerjakan bersama, kalau kau saja masih belum paham persamaan trigonometri?"

"Tugasnya sekarang, kan, tentang materi itu." Khai menatap Ali sedikit frustrasi.

Buat Dia Jatuh Hati!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang