Dua hari berlalu dan Ali masih bersikeras membujuk Alicia agar mau mengajari dirinya. Namun, usaha itu tak mempan melawan keras kepalanya si gadis.
Alicia sama sekali tak mengindahkan kehadiran Ali yang duduk di seberang meja, menempati kursi siswa lain yang membolos ke kantin karena jam kosong.
Entah si siswa yang terlalu berani ambil resiko atau karena Alicia sudah menyiapkan hukuman lain, maka dari itu dibiarkan lolos begitu saja. Yah, hal ini memang ketetapan di kelas mereka. Menaati peraturan atau terima konsekuensi tanpa kompromi.
"Ayolah, Alicia. Sudah kujelaskan berkali-kali, aku terjebak."
"Apa salahnya kau menolongku?" tanya Ali retorik dengan raut muka frustrasi, hampir saja menyerah."Aku sibuk dengan pelajaran lain," jawab Alicia tanpa rasa peduli terus mencatat materi di buku.
"Pelajaran mana yang kau maksud? Setahuku yang ada PR hanya matematika peminatan." Ali menatap Alicia sangsi.
Aktivitas pun dihentikan, sang gadis mengangkat kepala untuk menatap lawan bicara. "Biologi," balasnya singkat, lalu kembali pada catatan.
"Oh, iya! Tugas mencatat!" Ali menegakkan badan sambil tangan kanannya memukulkan kepalan pada telapak tangan kiri dan detik berikutnya ia mengernyit begitu menyadari sesuatu. "Tapi—hei!"
Alicia sekilas melihat Ali.
"Mengajariku tidak memakan waktu yang lama," lanjut Ali, dibalas oleh gadis di depannya dengan embusan napas yang terkesan malas melayani.
"Bagaimana pun alasan-mu. Aku tetap tidak bisa. Aku satu kelompok dengan Mia." Alicia membantah dengan raut muka sangat jenuh.
"Aku hanya minta diajari, bukan minta satu kelompok denganmu."
"Alicia, aku ingin tukar kelompok."
"Apa?" Serentak Alicia dan Ali menyahut dan menengok dengan kaget ke asal suara, yang diketahui pemiliknya adalah Mia, berdiri di dekat keduanya.
"Ya ... aku ingin satu kelompok ... dengan ... Khai," ungkap Mia sedikit ragu.
"Khai?" Ali dan Alicia membeo dengan bingung.
"Iya, dia."
Spontan Ali dan Alicia pun menoleh ke arah Khai yang terkesiap, karena 'hampir' ketahuan mengawasi interaksi mereka dari jauh.
Kedua sejoli Double Al itu memasang wajah menuntut kejelasan, bahkan Ali sampai menajamkan tatapannya–tanpa disipitkan.
Sementara itu, si empu pemilik nama berusaha berpura-pura tak tahu-menahu tentang perkara yang disebutkan Mia barusan dan sayangnya, dia sama saja seperti Ali, tidak pandai berbohong. Walau begitu, ia tetap menggeleng yang justru membuat Ali facepalm.
Alicia yang dapat membaca gelagat si pemuda berkacamata, lantas memicingkan mata curiga. Ia pun segera menoleh pada Mia.
"Kenapa mendadak?" tanya Alicia dengan alis naik sebelah.
Mia melarikan pandangan ke atas seraya mulutnya menggumam huruf "m" begitu panjang seolah sedang berpikir, dan kenyataannya memang begitu, memikirkan alasan yang tepat.
"Apa karena Ali menyuruhmu?"
Refleks Ali melebarkan mata, raut mukanya tampak tak terima karena merasa dituduh sembarangan sekaligus disudutkan.
"Eh, bukan!" Buru-buru Mia meralat dengan perasaan sedikit panik.
"Enak saja menuduhku!" sungut Ali, dengan kekanak-kanakan bersedekap dan memandang tak suka ke arah Alicia, yang dibalas oleh si gadis dengan pandangan tak jauh berbeda.
Alicia kembali menghadap ke arah Mia. "Lalu?"
"Hmm. Karena ...."
Cukup lama Mia menggantung kalimat, sementara kedua temannya bersabar menunggu—ralat, lebih tepatnya bersabar menahan diri agar tidak mengamuk dan mengapa-apai gadis tersebut.
"... bosan?"
Ali dan Alicia tentu saja melongo dengan wajah bodoh mereka masing-masing. Sedangkan Khai yang belum kapok mengawasi, menepuk dahi sweatdrop. Ketiganya tak dapat menerima alasan Mia yang terbilang kurang masuk akal.
Memang salahnya Khai yang meminta 'bantuan' pada Mia.
"Yang benar saja?" ujar Ali masih dengan raut muka yang sama.
Alicia pun segera menyadarkan diri, sebelum ada seseorang menangkap basah ekspresi bodohnya—walau kenyataannya ia yakin Mia sudah melihat itu. Tetapi, setidaknya Ali tak melakukan atau si pemuda akan mengejeknya habis-habisan setelah ini.
"Apa kau yakin?" tanya Alicia, dari suaranya terdengar seolah gadis tersebut tidak terima. Karena ia merasa, secara tidak langsung Mia mengatakan bahwa dirinya membosankan.
Mia angkat bahu sebagai respons. "Aku sudah terlalu sering satu kelompok denganmu, bahkan sepertinya setiap ada tugas kelompok."
"Kau tahu ... aku ingin merasakan juga pengalaman berkelompok dengan yang lain. Boleh, ya?"
Alicia terdiam cukup lama sampai akhirnya ia menghela napas, kemudian mendatarkan wajahnya. "Terserah kau saja," ucapnya kembali menghadap ke depan.
"Lagipula aku tidak mengekangmu, sampai kau harus selalu satu kelompok denganku," gumam Alicia sedikit kesal. Karena pada dasarnya, Mia, lah, yang selalu ingin satu kelompok dengan dirinya, bukan sebaliknya. Ia lebih memilih melanjutkan aktivitas mencatatnya.
"Itu artinya kau mengizinkan?" tanya Mia berbinar-binar, sementara Alicia hanya bergumam dengan setengah hati.
"Benarkah?" Mia memastikan.
"Iyaa!" jawab Alicia penuh penekanan dan menaruh pulpen untuk kembali memandang temannya. "Bahkan bukan untuk hari ini saja."
Mia, Ali, dan Khai–yang masih setia mengawasi—mengernyit kebingungan dan sebelum ada pertanyaan melayang, Alicia kembali melanjutkan, "Kan, katanya bosan. Kenapa tidak sekalian saja selamanya jangan satu kelompok denganku lagi?" Di ujung kalimatnya gadis itu tersenyum sarkastis.
"Tunggu—apa?!" sahut Mia yang kemudian terdiam, bahkan Ali dan Khai pun sama. Ketiganya mengerjap beberapa kali, mencoba mencerna pernyataan Alicia.
"Alicia—"
Sayangnya, bel pelajaran berikutnya menginterupsi Mia yang hendak melontarkan penolakan. Seketika gadis itu menjadi panik, dan Ali pun sempat melirik ke arah Khai yang ternyata ikutan panik juga. Sementara Alicia masih kekal dengan senyuman sarkastis.
"Oh. Bel sudah berbunyi."
Dengan puas dan tanpa rasa bersalah, Alicia kembali menghadap ke depan dan mengganti buku pelajaran—bersikap acuh tak acuh. Dengan cepat senyumannya menghilang berganti ke setelan awal sang gadis.
Tanpa menoleh ke depan—karena Alicia masih merogoh tasnya mencari buku yang tepat, ia menyindir, "Kalian mau tetap di sana?"
Ali dan Mia yang ketika itu masih berdiam diri, kemudian saling berpandangan dengan ekspresi yang berbeda. Kecanggungan yang menimpa Ali dan tatapan tak percaya terlukis di wajah Mia. Jujur saja, Ali dan Khai jadi prihatin pada gadis tersebut.
Mia yang malang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buat Dia Jatuh Hati!
Fanfiction• Fanfic romance Ejen Ali • Shipping Ali x Alicia • Fanfic anak sekolahan AU Ejen Ali, bahasa Indonesia Permainan tetaplah permainan. Yang dilakukan tidaklah sungguh-sungguh. Namun, yang terjadi pada Ali bukan seperti itu. Sebuah permainan yang pemu...