5. Merah

680 52 43
                                    

Ali menyilangkan kedua tangan di atas paha menyangga badannya. Sementara Khai mendudukkan diri di sebelah pemuda Ghazali, langsung meneguk air.

Memandang ke arah lapangan, Ali menyipit kala melihat ada seseorang di sana. Agak lama diperhatikan, ternyata Alicia yang sedang bermain basket di teriknya siang ini.

"Dia gila atau bagaimana?" Gumaman kesal keluar dari mulut si pemuda tanpa sadar. Walaupun perlu ia akui, Alicia lincah bermain dengan bola oren itu.

Mendengar ocehan sang teman, Khai menoleh ke sebelah kanan diikuti alis yang diangkat sebelah, ia mendapati Ali lurus memandang ke depan, segeralah ikut menengok ke arah sana.

"Ah, Alicia," batin Khai.

Beralih melirik Ali yang masih setia memperhatikan Alicia dari kejauhan, dan itupun dengan tatapan yang amat intens. Khai tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Khai, kalau kau ingin ganti baju sekarang, pergi duluan saja." Tanpa menoleh, Ali berucap.

Khai mendatarkan wajah. Benar. Ia memang punya bakat terpendam menjadi seorang cenayang. Karena selama ini kalau dia menebak tentang Ali, selalu saja benar terjadi, padahal tadinya hanya mengira-ngira. Dasar. Mungkin lain kali ia akan membuka job yang bersangkutan.

"Aku ada urusan," lanjut Ali tak lekang perhatiannya.

"Huh, urusan, konon," cibir Khai di dalam hatinya. "Baiklah." Mengerti maksud sang teman, ia lebih memilih 'menurut', berdiri dan meninggalkan Ali sendirian.

Beberapa menit setelah kepergian Khai yang tidak dipedulikan lagi, masih dengan mata yang fokus pada Alicia, Ali mengukir seringai tipis ketika ide 'cemerlang' muncul di otak.

***

"Aduh, duh!"

Ringis kesakitan terdengar dari mulut Ali apabila sebuah kantung dingin menempel di pipi kanannya yang memar kemerahan.

Tangan kiri meremas tepian matras UKS yang sedang diduduki, sementara satunya lagi sibuk mengusir tangan orang lain yang mencoba menempelkan kompres dingin itu.

"Tolong, pelan-pelan saja!" keluh Ali melirik wanita muda berambut sebahu yang notabene si tenaga medis sekolah.

Menjauhkan kompres, wanita bermata empat itu-dengan tag nama Jenny Woo di jas putihnya-menghela napas dan menatap Ali datar.

"Ini, kan, sudah pelan," jawab Jenny dengan intonasi yang selalu terdengar lemah lembut. Tanpa ada yang tahu, ia kesal karena pasien yang satu ini sangat keras kepala.

"Masih sakit," keluh Ali kekanak-kanakan.

"Nah. Ini bisa meredakan sakitnya." Jenny tersenyum mencoba sabar dan kembali mengulurkan kompres ke arah Ali. Beruntunglah si pemuda tidak memberontak lagi. Walaupun masih terdengar keluhan kecil.

"Lagipula, kenapa kau bisa jadi begini?" tanya Jenny melepas kompres membiarkan Ali memegangnya.

Sang laki-laki tampak agak terkejut. "Itu ...." Ia langsung mengalihkan pandangan ke arah lain, yang pastinya jauh dari Jenny.

Karena-demi apa pun, Ali tidak mau menceritakannya. Kejadian yang meninggalkan bekas warna cinta di pipinya. Sungguh memalukan.

***

Kursi berderit, membuyarkan fokus Khai tak jauh di sebelah, dari buku robotik yang sedang dibacanya. Refleks, menoleh pada sumber suara yang dikira dari tempat Ali.

"Oh. Ali!" sapa Khai sambil menutup buku.

Subjek yang disapa tampak terkesiap dan terdiam beberapa detik. Lantas menengok ke arah Khai dengan wajah ditutupi sebagian menggunakan kaus olahraga yang baru saja diganti. Hanya mata dan bagian atas yang terlihat.

Buat Dia Jatuh Hati!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang